info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Sepucuk Surat dari Negeri Oranje

Trisa Melati 22 September 2012

 

Aku melangkahkan kaki tidak sabar menuju sekolah. Di dalam tas putihku yang kumal sebuah amplop yang juga berwarna putih berukuran A5 tersimpan aman. Inilah alasanku begitu bersemangat pergi ke sekolah. Tidak sabar rasanya melihat ekspresi anak-anakku ketika kuperlihatkan surat ini.

Sekitar 2 bulan yang lalu aku mulai berkorepondensi dengan teman-temanku di PPI Leiden untuk mengutarakan ide untuk program sahabat pena antara mereka dengan anak-anakku di Air Guci. Syukurlah, ide itu langsung disambut baik. Yang mengoordinir teman-teman di Leiden adalah Weta. Setelah diskusi lebih lanjut mengenai teknis penulisan dan pengiriman, akhirnya Weta mengabarkan dia telah mengirimkan surat-surat tersebut pada awal bulan Agustus lalu. Kemarin aku kembali mengecek PO BOX ke ibukota kabupaten di Muara Enim. Ternyata kudapati amplop putih berukuran A5 dengan lambang universitasku di pojok kiri atasnya: Universiteit Leiden. Seperti biasanya, “perangko” (yang sebetulnya hanya label putih polos bertuliskan €2,85) dan label biru bertulilskan “priority” tertempel di sebelah kanan atas amplop.

Aku meraba-raba amplop itu untuk menebak isinya. Cukup tebal. Dan sepertinya isinya tidak hanya surat. Aku sengaja tidak membukanya dulu. Aku ingin anak-anakku saja yang mendapatkan kebanggaan itu. Surat pertama dari Belanda untuk mereka!

Pagi ini aku guru yang pertama datang. Seringnya memang demikian. Biasanya guru-guru lain baru datang sekitar pukul 8. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 7.23. Sudah hampir saatnya masuk, namun aku tak perlu repot-repot menggiring mereka masuk kelas. Murid-muridku sudah cukup disiplin untuk mengajak teman-temannya segera masuk kelas. (Seperti pernah kuceritakan sebelumnya, kondisi sekolahku yang “ajaib” menyebabkan aku harus menghadapi 5 kelas/rombongan belajar sekaligus setiap pagi). Aku berdiri di sekat tengah (kelas III dan IV) supaya kelas I, II, dan V bisa melihatku juga.

Aku memulai pagi itu dengan rutinitas: menanyakan kabar mereka, menanyakan apakah mereka sudah sarapan atau belum, kemudian menyanyikan Lagu Hari Selasa. Lalu tiba saatnya aku menunjukkan kedua amplop yang baru kuterima. Aku minta salah satu murid kelas IV membacakan alamat pengirim yang tertulis di amplop. Aku lupa mereka tidak mengenal Netherland. Akhirnya aku menjelaskan bahwa Netherland adalah bahasa Inggris untuk Belanda. Mereka berteriak kegirangan. Murid-murid kelas III, IV, dan V berebut ingin membukanya. Kelas 1 dan 2 belum mengerti surat-menyurat, jadi mereka asyik di tempat saja. Akhirnya aku berkata, yang bisa menunjukkan letak Belanda di peta boleh membuka amplop ini. Kelas IV dan V berhamburan ke belakang kelas, naik ke atas meja dan kursi untuk memperhatikan lebih jelas peta dunia yang tergantung di temboknya. Peta dunia satu-satunya yang kami miliki, yang sebetulnya sudah tidak berbentuk karena sudah koyak di sana-sini. Untungnya Belanda masih kelihatan di sana.

Tentu saja anak-anakku tidak tahu di mana letak Belanda, apalagi tulisan di peta itu kecil-kecil. Aku memberi petunjuk-petunjuk seperti  “Belanda terletak di Eropa”, “letaknya jauh dari Indonesia”, dan sebagainya. Akhirnya salah satu anak menemukannya, disusul teman-temannya yang ikut menunjuk dengan semangat. Lalu aku memberikan amplop itu kepada sekelompok lanang kelas IV dan V.

Amplop terbuka.                                                                            

Beberapa lembar surat keluar, sebagian diketik, sebagian ditulis tangan. Sebuah kartu pos bergambar windmollen, bunga tulip, dan langit biru cerah tampak mencolok warna-warninya di atas surat-surat putih itu. Namun yang membuat anak-anak sangat bersemangat adalah kantong plastik kecil bening berisi 4 keping uang logam berwarna tembaga.

“Ini uang Belanda ya Bu?” tanya mereka.

“Dollar ya Bu?” tanya yang lain.

Aku menjelaskan bahwa uang yang dipakai di Belanda dan sebagian Eropa disebut euro. Lalu aku kembali mengembalikan perhatian mereka pada surat-surat yang kami terima, dengan janji bahwa aku akan bercerita lebih banyak soal euro nantinya. Sambil menunggu guru kelas lainnya datang, aku mengajak kelas III, IV, dan V ke halaman untuk membaca dan membalas surat-surat itu. Ada 7 surat, dari Nuril, Weta, I Ngurah Suryawan, Fera, Upi, Donna. Aku membagi 1 surat untuk 3 hingga 4 anak.

Aku pun ikut membaca surat-surat itu. Aku tersenyum-senyum sendiri membacanya. Aku terharu membaca kata-kata semangat dari teman-temanku di Leiden yang semuanya mengajak anak-anakku untuk bercita-cita tinggi dan bekerja keras untuk mencapainya. Kemudian aku mengajak kelas VI (yang kini bersekolah di kelas induk di kampung sebelah) untuk ikut membaca surat itu bersama-sama sepulang sekolah.

Beberapa surat aku bacakan keras-keras, misalnya surat Uji yang menceritakan pengalaman dia di Belanda. Oh, ekspresi mereka tak ternilai ketika aku membacakan tentang salju. Lalu ketika aku membacakan tentang musim semi, aku kembali menunjukkan kartu pos itu.

Salah satu surat, dari Fera, cukup menarik karena dia memberi kuis untuk anak-anak. Dari sana aku tahu apa fungsi sesungguhnya dari koin sen euro yang dikirimkan itu. Salah satu isinya,

Kakak punya permainan. Kakak akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan setiap jawaban yang benar akan mendapatkan satu “mainan” kalung. Koin euro ini tinggal kalian lubangi dan beri tali, lalu kalungkan di leher. Pejamkan mata erat-erat dan katakan dalam hatimu, “suatu saat nanti aku sendiri yang akan membawanya dari Belanda!” Lalu setelah itu tunjukkan pada orang tua dan teman-temanmu. Apa kalian sudah siap? Jawab pertanyaannya ke Ibu Trisa, ya.

Di sini, hal yang tidak habis-habisnya membuatku bahagia adalah anak-anak. Senyum mereka, binar di mata mereka, ceria mereka, keingintahuan mereka. Aku bahagia melihat mereka bersemangat menjawab kuis untuk mendapatkan koin sen euro yang tidak seberapa. Iya, koin sen euro ini tidak seberapa nilainya. Bahkan, kalau di Belanda tidak ada harganya, sehingga tidak pernah dipakai lagi (aku ingat waktu aku baru mulai berkerja di restoran di Belanda aku pernah mengembalikan uang 3 sen euro dan pembeli itu langsung marah padaku karena merasa terhina). Tapi tentu saja ini bukan masalah nilai nominalnya. Ketika Deri mendapatkannya karena dia berhasil menjawab pertanyaan pertama, dia langsung menempelkan koin itu di dahinya, memejamkan mata, sambil melafalkan doa-doa dan ucapan syukur. Lucu sekali anakku yang satu ini.

“Simpan baik-baik ya, suatu saat nanti kalian sendiri yang akan ke Belanda dan membawanya pulang” Aku berkata mengulangi isi surat dari Fera.

Lalu tersisa satu koin. Pertanyaan terakhir dari Fera memang sulit sekali: apa nama tim kesebelasan nasional Belanda? Di sini siaran TV sangat minim, jadi mereka tidak pernah menonton Liga Eropa, piala dunia, atau kejuaraan lainnya. Tapi anak-anak masih penasaran menginginkan koin yang tersisa itu, jadi aku memikirkan pertanyaan yang tidak terlalu sulit, namun berhubungan dengan Belanda.

Akhirnya aku bertanya, “Apa ibukota Belanda?”

Lalu muridku bengong.

Tak lama kemudian ada yang menjawab “Papua!”, dan aku jelaskan Papua masih bagian dari Indonesia. Lalu ada yang iseng menjawab, “Bandung!” aku tertawa, teman-temannya juga tertawa.

Lalu hening lagi. Tatapan mereka penuh rasa bingung karena tidak tahu jawabannya.

Salah satu muridku yang agak cerdik, Josef, akhirnya menjawab, “Leiden!”

Dengan sangat menyesal aku mengatakan jawabannya kurang tepat. Tapi aku memujinya karena dia menyadari Leiden adalah salah satu kota di Belanda.

Mungkin pertanyaan itu masih terlalu sulit, karena belum pernah ada yang mengajari mereka. Aku sudah siap menganulir pertanyaan itu ketika aku mendengar ada jawaban, “Masterdam!”

Tentu saja aku terkejut. Ternyata yang menjawab adalah si penggemar atlas, Doni Iskandar. Aku mengonfirmasi jawabannya, “Apa jawabannya, Doni?”

“Masterdam, Bu!” jawabnya lagi.

“Amsterdam! Betul Doni!” kataku sambil membetulkan pengucapannya.

Seorang anak talang Air Guci tahu ibukota Belanda, itu hal yang luar biasa. Aku mengujinya dengan bertanya lagi, apa ibukota Jerman, Australia, atau Amerika. Ternyata dia tidak tahu. Oh, rupanya dia hanya mencari tahu tentang Belanda karena aku, guru barunya, pernah bersekolah di sana. Padahal tidak ada yang menyuruh ataupun mengarahkannya. Sama seperti dia mencari tahu soal Bandung karena Pak Dimas berasal dari sana. Aku makin terharu. Interaksi personal ternyata memang bisa memicu keinginan belajar seseorang.

Terima kasih suratnya, kakak-kakak di Leiden. Hari ini anak-anakku belajar tentang salju, euro, dan tentang ibukota Belanda yang bukan Leiden atau Masterdam, melainkan Amsterdam. Dan yang utama, di hati mereka masing-masing sudah tertiup mimpi tinggi: “aku juga ingin sekolah yang tinggi dan melihat dunia seperti kakak-kakak ini!”


Cerita Lainnya

Lihat Semua