Duniaku yang Berkembang Perlahan

Trisa Melati 9 September 2012

 

Tepian Tanahair.

Begitulah yang tertulis di bagian depan buku besar yang tergeletak di atas meja. Pasti buku itu dibawa Bu Trisa. Bu Trisa adalah guru baru yang menggantikan Pak Dimas yang sudah pulang ke Bandung. Sejak Pak Dimas dan Bu Trisa mengajar di sini, di sekolah ini jadi banyak buku. Dan buku Tepian Tanahair ini sepertinya adalah yang terbaru.

Aku membaca baris di bawah judul tersebut, dalam ukuran huruf yang lebih kecil: 92 Pulau terdepan Indonesia - Indonesia Bagian Tengah.

Buku itu besar dan berat sekali untuk tanganku yang kecil dan kurus, tapi gambar depannya sungguh memikat hatiku. Itu gambar rimbun pepohonan dan hamparan pasir berwarna putih beserta laut berwarna biru yang bercorak yang indah sekali, belum pernah kulihat sebelumnya. Selain itu di bagian bawahnya ada foto seorang nenek melakukan aktivitas yang belum pernah aku lihat sebelumnya, seorang lelaki yang menggunakan baju lucu yang tidak pernah aku lihat, dan seekor hewan seperti kera (tapi bermata sangat besar sekali) yang sedang memeluk batang pohon.

“Gambar ape die ini Pak?” tanyaku pada Pak Efriansyah, guru kelasku yang kebetulan sedang ada di dekatku.

“Ini pulau, Doni. Pulau kecik.”

“Ini lautnye kenape die warnanye begini Pak?” aku menunjuk corak biru yang berbeda pada foto laut tersebut.

“Ini namanya terumbu karang.”

ape die Pak terumbu karang itu?”

Pak Ep menjelaskan bahwa terumbu karang adalah kumpulan karang yang menjadi tempat hidup ikan, udang, kerang, kepiting, bintang laut, dan makhluk lainnya di laut.

Oh, jadi ini yang dinamakan pulau. Iya, aku tahu pulau itu apa. Kata Pak Ep, pulau adalah daratan yang berada di tengah lautan. Ternyata memang ada pulau yang kecil-kecil. Aku pun tinggal di pulau. Tapi besak nian. Pulau Sumatera namanya. Pulau-pulau yang ditunjukkan di buku ini banyak yang kecil. Kata Pak Ep, untuk mengelillingi pulau itu bisa hanya sehari. Padahal di pulau Sumatera ini, 1 hari itu hanyalah berarti dari tempatku ke Bengkulu.

Aku bergegas ke gerobok [1]di kelas paling ujung. Untungnya kelas itu kosong karena semua murid lain sedang sibuk bertanam. Aku meraih rak kedua dari atas, kucari-cari buku favoritku: atlas.

Ya. Aku senang sekali melihat Atlas. Aku senang membaca peta, terutama setelah diajarkan oleh Pak Ep cara membaca legenda dan menghitung skala. Tapi peta itu hanyalah gambaran permukaan bumi secara dua dimensi. Hanya berisi bentuk-bentuk pulau beserta nama-namanya. Aku tidak tahu apa sebetulnya yang terdapat di daerah yang ditunjukkan di peta itu, seperti apa penampakannya.

Di peta Sumatera, misalnya.

Aku mengenal talang Air Guci seperti aku mengenal telapak tanganku sendiri.  Bahkan, aku tahu jalan menuju ke belok,  tempat perusahaanbernamaMEDCO berada. Aku mengenal jalan-jalan menembus hutan karet di belakang rumah hingga ke talang sebelah. Aku bisa menyusup ke bawah batang-batang yang terban dan membuka semak belukar untuk menemukan tempat memancing yang baik. Aku mengenal setiap kelok sungai air guci. Aku tahu di mana menemukan tempat mandi ketika sumur sudah kering pada musim kemarau. Aku bahkan tahu bahwa jalanan tanah di Air Guci ini berujung pada jalan keras abu-abu bernama jalan aspal, yang artinya sudah memasuki kawasan dusun. Lucunya, jalanan keras abu-abu itu tidak hancur ketika disiram hujan, dan bisa dengan mudah dilalui kendaraan. Berbeda sekali dengan jalanan tanah di talang Air Guci kami yang langsung becek berlumpur setelah hujan. Dan ternyata jalanan keras abu-abu itu panjang sekali, bercabang banyak, dan suatu kali pernah membawaku ke tempat bernama kota Prabumulih ketika aku menemani ibu berbelanja di pasar.

Aku bangga karena mengetahui hal itu, dan kupikir aku sudah tahu cukup banyak mengenai daerah ini. Tapi kemudian aku diberi tahu, ternyata tempatku tinggal di Sumatera Selatan ini masih kecil sekali dibandingkan dengan Indonesia secara keseluruhan. Bahkan di buku atlas yang kubaca, aku tidak bisa menemukan tempatku, “Air Guci”, saking terpencilnya. Yang ada hanyalah ibukota kabupaten kami, Muara Enim, itu pun tidak lebih dari sekedar titik di peta. Kota yang begitu besar hanya berupa titik? Ternyata dunia ini sangat besar! Dan lewat peta atau atlas, aku bisa mengetahui hal itu.

Aku juga senang melihat atlas karena di sana aku bisa mencari dan menemukan kota Bandung. Kota Bandung adalah kota asal Pak Dimas, dan Pak Dimas sangat sering bercerita tentang Bandung. Bahwa di sana ada tempat kuliah bernama Institut Teknologi Bandung, bahwa di sana ada gunung bernama Tangkuban Parahu, bahwa di sana ada teropong bintang bernama Bosscha, bahwa di sana ada mall dan jalanan tidak pernah sepi, listrik menyala 24 jam dalam sehari. Cerita-ceritanya menarik sekali, membuatku sangat ingin ke Bandung, walaupun dalam bayanganku Bandung terletak sangat jauh dari Sumatera Selatan. Tapi baru saja minggu lalu Bu Trisa menempelkan peta Indonesia berukuran besak nian di kelas,dan aku jadi tahu, ternyata Bandung cukup dekat dari Sumatera Selatan. Setidaknya, jarak dari Sumatera Selatan ke Bandung lebih dekat dibandingkan dengan jarak dari Sumatera Selatan ke Sulawesi. Dan, jika Bandung saja begitu berbeda dari Sumatera Selatan, maka pastilah Papua lebih menarik lagi!

Karena itulah aku suka melihat peta. Aku bisa melihat dunia yang jauh lebih luas dari Air Guci, Prabumulih, atau Muara Enim. Aku senang mengandai-andaikan apa yang ada di sana, dan bagaimana jika aku berada di sana? Apa yang bisa aku lihat? Apa yang akan kulakukan di sana?

Lalu buku Tepian Tanahair ini tergeletak di hadapanku. Ketika kubuka, halaman-halamannya dipenuhi foto-foto berukuran besar dengan gambar unik dan aneh yang sama sekali asing dari duniaku sehari-hari. Di bawah setiap gambar terdapat tulisan kecil yang ternyata menceritakan gambar tersebut, misalnya “pantai di pulau Dana Rote”, dan sebagainya.

Ooo...  Rupanya ini yang namanya pulau Rote, salah satu pulau paling selatan di Indonesia. Ini pulau Rote tempat sahabat penaku tinggal. Beberapa minggu lalu kami mendapat surat dari teman-teman kami di sana, dan bu Trisa menjelaskan apa dan di mana Rote itu. Tapi waktu itu buku Tepian Tanahair ini belum ada, jadi aku hanya bisa membayang-bayangkan. Sekarang, lewat buku aku bisa melihat foto alat musik sasando, topi khas Rote dari daun lontar yang berbentuk lucu, juga kain tenun ikat kebanggaan Rote (ternyata kegiatan nenek-nenek di sampul depan buku ini disebut “menenun”!). Kalau kubaca lebih lanjut, buku ini juga memuat banyak cerita tentang daerah-daerah tersebut. Ada juga tentang Sangihe, kepulauan di paling utara Indonesia. Kata Bu Trisa, kami juga akan menulis surat untuk teman-teman di sana. Aku senang sekali karena aku bisa membayangkan lebih jelas bagaimana tempat tinggal teman-temanku di sana.

Lebih-lebih lagi, guru baru ini, Bu Trisa, katanya adalah pernah sekolah di Belanda. Nama yang cukup asing, tadinya nama itu berarti tidak lebih dari sekedar grup sepak bola bagiku. Kini aku tahu Belanda adalah negara di benua Eropa dan di sana ada kota bernama Leiden, dan itulah tempat Bu guru Trisa pernah bersekolah. Aku juga jadi tahu di Belanda ada bunga tulip dan kincir angin, dan bahwa orang di sana senang naik kerite[2] onthel tua seperti yang banyak dimiliki anak-anak di sini. Beberapa hari yang lalu Pak Hasnel memajang “Peta Dunia” di tembok belakang kelas. Petanya sudah rusak, koyak, dan berdebu, tapi cukup memberi informasi. Aku jadi tahu di mana letak Belanda (meskipun di “Peta Dunia” itu aku tidak bisa menemukan kota “Leiden”). Ternyata Belanda jauh sekali dari indonesia, hampir seperempat bumi jaraknya.

Duniaku kini tidak sebatas talang kecil di tengah kebun karet, lebih dari sekedar kampung yang dibingkai oleh aliran sungai Air Guci. Lewat peta, lewat buku, lewat cerita Pak Ep, Bu Trisa, dan sahabat penaku, duniaku berkembang meskipun hanya dalam gagasan. Meskipun kini aku hanya bisa melihatnya dari foto.

Suatu saat nanti, aku pasti bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Pasti, suatu saat.

 

**

Catatan kaki: tulisan ini dibuat tentang dan atas inspirasi dari Doni Iskandar, bocah kelas 4 kelas jauh SDN 10 Rambang yang keberadaannya selalu terlalu menonjol untuk diabaikan. Aku menulis ini sambil merefleksikan pengalaman masa kecilku sendiri. Kecintaanku pada Indonesia dibangun perlahan:  dari cerita-cerita orang  yang sudah mengelilingi negeri ini, dari foto-foto yang kulihat di majalah dan buku, dari lagu daerah-daerahnya yang sering didengungkan. Aku seperti sedang menatapnya dengan penuh kerinduan, berandai-andai, kapan aku bisa berada di daerah-daerah itu dan merangkulnya.

[1] Lemari (bahasa Melayu dusun)

[2] Sepeda (bahasa Melayu dusun)


Cerita Lainnya

Lihat Semua