Buku Impian

Wilibrodus B 7 September 2012

"Saya mau menjadi Presiden Indonesia. Inilah cita-cita saya." – Ririn Handayani, 10 tahun.

 

Awal tahun 2012, usai liburan semester pertama, saya berdiri di depan kelas, membagikan sebuah buku tulis sederhana, seharga tak lebih dari dua ribu rupiah untuk sekitar 180 murid-murid saya. Semua kelas mendapat buku yang sama, masing-masing satu buku, dengan sejumput pesan personal di balik sampulnya : “Anak-anakku di dunia ini semua hal dapat kamu raih. Bermimpilah setinggi-tingginya, percaya pada kebaikan Tuhan, dan berusahalah sekuat tenaga meraih cita-cita. Katakan dalam hatimu: saya adalah karya terbesar Tuhan. Saya adalah bintang..”

Buku itu bernama Buku Impian. Sejatinya, saya tidak memulai dari awal. Pengajar Muda sebelum saya, Agus Rachmanto telah mengenalkan pada anak-anak Hutan Samak, metode konseling yang unik tapi simpel ini. Saya hanya melanjutkan, menambah jumlah anak yang mendapat buku, dan berusaha membuat mereka memperkaya isinya. Jika anda pernah menonton film ‘Freedom Writers’ (semoga saya tak berlebihan) metode ini mirip ketika Erin Gruwell, guru Freshman English pada kelas Integration Program di Woodrow Wilson High School membagikan diary kepada satu per satu anak didiknya. Berawal dari diary itu, Erin berhasil membuat murid-muridnya menjadi agen perubahan, dari anggota kelompok geng rasis jalanan yang terbiasa memegang senjata dan menembak mati orang berlainan ras, hingga membuat mereka dapat memahami perbedaan ras sebagai sebuah anugerah. Diary mereka bahkan dipadukan menjadi sebuah buku yang berjudul sama dengan judul filmnya : The Freedom Writers Diary.

***

Bila Erin meminta murid-muridnya menuliskan pergumulan rasisme mereka,  saya tak punya cara yang lebih baik untuk membuat murid-murid saya mengisi Buku Impian. Sederhana. Seperti Agus, saya meminta mereka bercerita, tentang apa saja. Tentang cita-cita, kenangan-kenangan indah, semua ditulis dibuku itu. Bentuknya beragam, ada yang menulis cerita, membuat pantun, puisi, menggambar hingga menulis lirik lagu.

Sejak awal saya minta anak-anak mengumpulkan Buku Impian yang sudah mereka isi sebulan sekali. Namun karena kegiatan saya di dusun cukup menyita waktu, kemudian anak-anaklah yang secara spontan mengingatkan saya untuk mengumpulkan Buku Impian mereka.

Ada anak-anak yang sengaja mengosongkan satu halaman penuh sebelum ia melanjutkan cerita baru. Di halaman kosong itulah mereka menanti respon saya. Begitu yang terjadi. Kami kemudian saling berbalas kata. Di Buku Impian mereka, saya memberi apresiasi untuk cerita, puisi, pantun, gambar yang mereka buat. Rasanya seru bukan kepalang membaca cerita dalam bahasa anak-anak. Setelah mengantar Buku Impian-nya, anak-anak juga selalu tak sabar menanti tanggapan saya.

“Pak, Buku Impian sudah di-ponten Pak?”

***

Di buku itu, tanggapan saya sebagian besar mengenai impian-impian mereka. Pada anak yang pandai mendeskripsikan sesuatu melalui tulisan, saya berusaha semampu saya membuka wawasan mereka tentang jenis profesi yang bisa mereka tekuni dari bakat menulis. Begitu pula jika anak-anak menerangkan dirinya melalui gambar. “Semoga kamu jadi pelukis hebat suatu saat ya Nak”,  pesan saya di Buku Impian mereka.

Untuk anak kelas pertama, biasanya saya cukup memberi simbol bintang pada setiap karya yang mereka kumpulkan. “Horeeeee bintang lima, eeeeee empat bintang Pak! Berapa nilainya Pak?”,  tanya anak-anak. “Semuanya sama nak, bintang 1 sampai 5 semuanya mendapat 100, kalian semua adalah biiiiiiinnnn........tang”, begitulah jawaban saya jika anak kelas satu bertanya apa makna bintang pada Buku Impian mereka.

***

Pada bulan pertama saya mengajar, ketika itu mereka belum mendapat Buku Impian baru. Dalam khasanah mereka, cita-cita hanya ada dua : menjadi guru atau polisi. Begitu juga ketika menggambar, mereka sebagian besar memilih menggambar perahu. Itulah keseharian yang mereka tahu dan alami, lalu menjadi wawasan mereka.

Bulan berlalu, ketika suatu pagi saya mengumpulkan Buku Impian anak-anak kelas empat, saya terkejut. Tak selalu rutin setiap bulan kami berkomunikasi melalui buku itu, namun perubahan mereka sungguh luar biasa.

Pada hari itu saya mendapati cerita siapa mereka sepuluh hingga dua puluh tahun lagi. Wingki, Rudi dan Alfian bermimpi menjadi pemain sepak bola internasional. Heri dan Merisa ingin jadi dokter, Kristian dan Joni bercita-cita menjadi pemain bola volly kelas dunia. Windi mau bersekolah setinggi-tingginya, Lihue bertekad menjadi 'juara' sejati, Jel mau menjadi guru yang baik hati, Akiong ingin menjadi penerbang helikopter, Astuti bercita-cita menjadi suster, Jaidi ingin jadi tentara, hingga Ririn dan Veny yang punya mimpi jadi Presiden Indonesia.

Di kelas lain saya menemukan cita-cita yang juga beragam. Jonsen, siswa kelas dua,  ingin menjadi insinyur pembangunan. Mery ingin menjadi guru besar yang akan mendidik Indonesia. Asia, siswa saya di kelas dua yang nyaris tak naik kelas karena pernah absen hingga sebulan, pun dengan polosnya menulis cerita di buku itu. Ia menyalin sebait puisi, bagaimana susahnya ia menantang beceknya jalanan dari jenis tanah liat, ketika hujan turun di dusun.

Di kelas satu anak-anak bahkan menerangkan cita-cita mereka dengan cara lebih abstrak. Ada yang menggambar rumah, pohon atau bunga untuk menuliskan cita-citanya.

Beberapa minggu sebelum kejutan ini, di awal bulan ketiga, ketika saya mengenalkan kepada mereka tentang sahabat pena, Maichel, siswa saya di kelas enam, menulis Surat untuk Presiden di Buku Impian-nya. Helai kertas dari Buku Impian yang berisi Surat untuk Presiden itu dikoyakkannya, dilipat rapi lalu disimpan di dalam amplop. Di luar amplop, ia menulis : “Dari Maichel Fernando. Diberikan kepada : Pak Presiden SBY.”

Peristiwa itu tidak akan saya lupakan. Surat itu memang tak pernah sampai, tak pernah terbaca Presiden, tetapi lebih dari rasa percaya dirinya, dia telah membuat sejarah luar biasa saat menjadi anak sekolah dasar. Sejarah yang langka, yang saya yakin, seperti saya dulu, di antara sebagian besar dari kita, hanya sedikit saja anak Indonesia di kampung-kampung kecil pernah berpikir dan kemudian melakukannya.

“...Halo Pak Presiden, Bapak baik-baik saja kan? Pak Presiden, di kampung kami tidak pernah berkembang. Dari dulu sampai sekarang masih saja tetap. Tidak ada perubahan. Pada malam hari gelap gulita.” – sepotong isi surat dari Maichel untuk Presiden.

Saya terharu saat membaca cerita-cerita dan impian-impian mereka. Tidak banyak orang di kampung yang dapat membuka cakrawala mereka tentang begitu banyak hal di dunia ini yang dapat mereka rengkuh berkat pendidikan, termasuk orang tua mereka sendiri. Saya hanya beberapa kali mengajak mereka nonton film bersama dari laptop yang saya pakai. Dan satu kali saja membuat malam layar tancap di dusun. Tujuan saya sederhana, agar anak-anak, juga orangtua mereka memandang penting pendidikan.

***

Hanya dari buku tulis sederhana itu...saya belajar memahami dan menyalakan wawasan mereka, melebihi apa yang pernah mereka lihat, melampaui apa yang sehari-hari mereka dapat, membayangkan sesuatu yang mulia, yang saat ini belum dapat mereka saksikan. “Impian bukan hal main-main Nak, impian adalah doa dari jiwa, harapan yang dituliskan oleh jiwamu pada buku hidupmu, perkara ilahi yang Tuhan titipkan di kalbumu. Berjuanglah untuk mewujudkannya..” Kadang kala, jika mereka klesa (malas), saya spontan meminta mereka menundukkan kepala, menutup mata, kemudian saya akan menulis selarik kalimat di papan tulis. Di kelas, ketika membuka mata, mereka saya ajak membacanya keras-keras, dengan sepenuh tenaga, berulang kali. “Saya Juara dari Hutan Samak. Saya adalah Bintang. Saya adalah Karya Terbesar TUHAN”.

Saya tak dapat mengira bagaimana masa depan akan membawa hidup anak-anak Hutan Samak. Sedikit yang saya bisa, membuat mereka dapat menuliskan cita-cita, membuat mereka bangga mengungkapkan harapan mereka sendiri. Ah..saya tak sabar menunggu, ketika rambut saya perlahan memutih, dua puluh atau tiga puluh tahun lagi, mimpi - mimpi mulia mereka akan tergenapi..

 

Hutan Samak, menanti mentari turun di tepi dermaga..


Cerita Lainnya

Lihat Semua