Tahi Lalat di Telapak Kaki

Trisa Melati 28 September 2012

 

Pada suatu pagi yang sangat cerah, seperti pagi-pagi biasanya, aku disambut anak-anakku di di depan sekolah. Sepertinya mereka habis mendiskusikan sesuatu (itulah yang sangat lucu dari anak-anak, mereka senang sekali berdiskusi, meskipun hal konyol sekalipun :) )

Sambil mengerumuniku salah satu dari mereka berkata,

“Bu, Bu, Okta ada tahi lalat di kakinya Bu!”

“Bu katanya kalau ada tahi lalat di kaki artinya keinjak tai Bu!”

dekde ai!” Okta, yang diomongin,menyanggahnya.

“Kalau tahi alat di tangan katanya suka mengambil barang uhang Bu,“ kata yang lain.

“Oh ya? Setahu Ibu lain. Ibu dengar, kalau ada tahi lalat di kaki artinya suatu saat dia akan ke luar negeri.” Aku tidak suka anak-anakku menyebarkan mitos yang negatif, jadi secara reflek aku memutarbalikkannya sehingga jadi baik.

Tapi dalam hati aku tersenyum sendiri. Aku jadi ingat tentang mitos tahi lalat di telapak kaki. Di telapak kaki kananku juga ada tahi lalat kecil. Sudah ada sejak aku kecil. Aku ingat mamaku pernah bilang, dulu sekali sewaktu aku masih usia SD kelas 1,

“Trisa ada tahi lalat di telapak kaki ya? Kalau ada tahi lalat di telapak kaki, artinya suatu saat akan keluar negeri, Nak.”

Bagiku di umur itu, “luar negeri” berarti “Amerika”. Sederhana saja, karena mama pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke sana dan pengalaman itulah yang selalu mama ceritakan padaku. Jadi aku hanya tahu Amerika. Dalam pikiranku juga, frase “ke luar negeri” berarti sekolah ke luar negeri, bukan liburan, karena mamaku juga dulu ke Amerika untuk sekolah. Saat itu sungguh tidak terpikirkan olehku liburan ke luar negeri. Rasanya luar negeri terlalu mewah untuk dijadikan tempat tujuan berlibur.

Maka saat itu aku bertanya balik kepada mama, “Jadi mama juga punya tahi lalat di telapak kaki?” mama mengiyakan meskipun tidak pernah menunjukkannya.

Meskipun tidak pernah berkekurangan, keluarga kami sama sekali tidak kaya. Pergi ke luar negeri adalah sesuatu yang setinggi langit. Apalagi kalau “luar negeri”nya Amerika. Ke negara tetangga saja belum tentu bisa.

Namun dengan keluguan anak kecil, aku percaya mitos itu akan terjadi juga. Saat itu aku merasa mendapat mukjizat dari Tuhan berupa tahi lalat di kaki, karena itu seperti “janji” dari Tuhan bahwa suatu saat nanti akan datang kesempatanku untuk pergi ke luar negeri.

Entahlah. Mungkin saat itu telapak kaki memang sesuatu yang sakral bagiku. Sesuatu yang magis, dahsyat, agung. Toh surga juga letaknya di “telapak kaki” ibu. Jadi, segala sesuatu yang berhubungan dengan telapak kaki pastilah luar biasa.

Lucunya, hingga aku beranjak dewasa, dengan segala pengetahuan dan logika yang aku miliki, samar-samar aku masih percaya kata-kata itu: kalau ada tahi lalat di telapak kaki, artinya kamu akan ke luar negeri. Setiap kali aku ragu dengan kemampuankku bersekolah ke luar negeri, aku menghibur diri dengan berkata,“Tapi aku kan punya tahi lalat di telapak kaki. Aku pasti bisa.” Dan hal itu menjadi kenyataan. Di umur 22, aku betul-betul berangkat ke luar negeri. Untuk sekolah. Sesuai mitos yang dikatakan mama.

Bahkan sejujurnya, sekarang setelah aku menyelesaikan pendidikan di Belanda, aku masih bertanya-tanya, “jika tahi lalat di telapak kaki ini tidak ada, apakah mungkin aku tetap bersekolah di Belanda?”

Tentu saja aku sadar aku bisa menginjakkan kaki di Belanda bukan karena sekedar tahi lalat di telapak kaki, melainkan karena kerja kerasku. Namun aku tidak memungkiri pula bahwa mitos tahi lalat berhasil memberiku kepercayaan diri setiap aku ragu. Hingga akhirnya aku menarik kesimpulan, bila memang pengaruh mitos sedemikian kuatnya, mengapa tidak kita manfaatkan mitos itu sebagai sugesti positif?

Karena itulah aku memberi tahu mitos yang sama kepada anak-anakku ini. Dan mitos lainnya.

“Kalau tahi lalat di tangan, artinya kamu orang yang baik dan senang memberi,”

Ketika aku mengatakannya, pandangan mereka penuh semangat dan harapan. Padahal dalam hati aku merasa konyol sekali mengatakannya sebetulnya sudah langsung ketahuan omonganku bohong. Hanya gurauan, hanya isapan jempol. Tapi mimik mereka begitu tersihir dengan kata-kataku sehingga mereka begitu percaya apa yang aku katakan benar adanya. Mereka bersinar-sinar ketika mereka memperhatikan tangan mereka sendiri lalu berseru, “Aku ada! Yeeeeeaaaa!!!”

Lalu satu persatu bertanya, “Bu, kalau di dahi, Bu?”

“Kalau di sekitar dahi, artinya kalian orang pintar dan suka berpikir.”

“Kalau di kuping, Bu?”

“Artinya kalau ada guru menjelaskan di depan, kamu selalu mendengar dan memperhatikan dengan baik.”

“Kalau di bawah mulut, Bu?”

“Artinya kamu pandai berpidato atau berbicara di atas panggung.”

Dan sebagainya, dan sebagainya.

Aku menipu anak-anak itu? Bukan, aku bukan menipu mereka. Aku mendoakan mereka. Seperti juga yang pasti dilakukan mamaku padaku. Mudah-mudahan, keyakinan diri dari mitos tahi lalatitu benar-benar bisa membawa mereka sekolah ke luar negeri, menjadi seorang dermawan, atau menjadi seorang ahli retorika.

Self-fulfilling prophecy. Law of attraction.


Cerita Lainnya

Lihat Semua