info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mona, Gadis Kecil di Jendela

Trisa Melati 20 Juli 2012

8 Juli 2012-- Hari ini aku hampir gagal menjadi seorang guru. Aku hampir mengulangi kesalahan seorang pendidik yang pernah menimbulkan luka cukup dalam di hatiku.

Hari ini ada acara silaturahim empat Pengajar Muda Muara Enim dengan bupati kabupaten setempat, kepala dinas pendidikan (kadisdik), dan para guru di Muara Enim. Di antara kami berempat, hanya aku dan Asri yang membawa murid dan rekan guru untuk memberikan testimoni mengenai Indonesia Mengajar dan Pengajar Muda angkatan II di sekolah mereka. Siswa yang kami bawa sama-sama baru naik ke kelas 6 dan sama-sama ranking 1 di pembagian rapornya yang terakhir. Aku sendiri mempertimbangkan untuk membawa Mona (setelah berdiskusi dengan PM2 dan guru lainnya) juga karena ia pandai berorasi dan percaya diri.

 Ketika baru tiba di hotel sehabis menjemput muridnya, Asri begitu menggebu-gebu menceritakan pengalaman muridnya, Lia yang begitu terkesima dengan berbagai hal yang baru pertama kali dilihatnya, yang sebenarnya sangat sederhana. Aku cukup ciut ketika mendengar cerita Asri bahwa Lia begitu terpana melihat sepur[1] dan kota Prabumulih[2], saking jarangnya ia keluar dari desa. Mona, aku tahu, sudah sering bepergian. Setidaknya Prabumulih bukan hal baru baginya, karena dia sering berbelanja di sana dengan keluarganya untuk keperluan warungnya. Aku sempat berharap, mudah-mudahan “kota” Muara Enim merupakan hal yang cukup baru baginya, supaya dia bisa sama terpukaunya seperti saat Lia melihat sepur dan kota. Ternyata tidak juga. Dari ceritanya, dia pernah beberapa kali ke Muara Enim dengan bapaknya. Bahkan, masa kecilnya dilaluinya di daerah Semendok (daerah dataran tinggi dekat Muara Enim yang sering sekali dibanggakan Pak Kadisdik). Tidak hanya itu, dia juga menyatakan sudah sering melihat daerah lain. Sebenarnya sempat terbersit perasaan menyesal dalam diriku: kenapa aku tidak memilih muridku yang lain, yang lebih “dusun”, yang pastinya akan lebih terpukau dan lebih menghargai kesempatan untuk melihat dunia di luar dusunnya, seperti Lia?

Kegelisahan dan kekecewaan itu bertahan hampir seharian, hingga keesokan harinya kami menaiki bus untuk perjalanan kembali ke Prabumulih. Aku memandangi dirinya yang duduk di sebelahku. Kupandangi rambut panjangnya berkibar-kibar tertiup angin dari jendela yang ia buka lebar di sebelahnya. Aku perhatikan bagaimana ia memerhatikan pemandangan yang kami lalui, kadang-kadang kepalanya agak melongok ke luar jendela atau menengok ke belakang untuk melihat lebih jelas objek, gambar, atau tempat yang baru kami lalui. Terlihat sekali dia sangat observatif. Memang dia tidak “terpukau” seperti Lia, namun ternyata itu tidak mempengaruhi antusiasmenya untuk memperhatikan segala hal dalam perjalanannya. Dia juga banyak mengomentari, seperti “Banyak sekali gambar bupati itu di jalan ya, Buk?” atau “Buk, itu ada pasar malam,” “Buk, kenapa tangan orang itu bentol semua?”, “Buk, itu ada pengamen baru naik, tapi kok dia turun lagi,”dan sebagainya. Menyenangkan sekali. Dan aku berkata pada diriku sendiri, “Syukurlah, sepertinya memang tepat keputusan kami untuk membawa Mona.”

Tiba-tiba aku tersentak. Entah bagaimana aku mengingat diriku sendiri sewaktu aku menjadi juara nasional dalam suatu lomba cerpen, ketika salah satu pendiri yayasan yang melangsungkan lomba itu mendatangiku pada acara penyerahan hadiah dan berkata, “kamu yang juara satu? Dari SMA X ya? Kamu tahu tentang lomba ini dari mana?”

Aku menjawab aku kebetulan melihat posternya ketika sedang berkunjung ke sekolah lain, bukan di sekolahku sendiri.

Lalu beliau menjawab, “Aneh lho, padahal saya sengaja bilang tidak usah mengikutsertakan SMA X, karena sudah terlalu banyak prestasinya. Nah, bener kan pemenangnya dari sana juga. Seharusnya bukan kamu pemenangnya. Kan tidak adil dengan peserta lainnya.” 

Aku tercenung mendengarnya. Hatiku seperti dicubit, perih. Aku memang berasal dari SMA yang dikatakan favorit di Bandung saat itu. Tapi bagaimana dengan aku? Aku bukan anak yang berprestasi di sekolah. Aku bukan siapa-siapa waktu itu. Apalagi, SMA-ku saat itu menekankan prestasi di bidang sains. Makanya ketika akhirnya tulisanku diapresiasi lewat lomba ini, aku senang sekali. Tapi ucapan sederhana dari salah satu panitia tersebut malah membuat aku merasa tak berguna, tidak adil, tidak berdaya: Apakah aku tidak seharusnya mendapat gelar juara itu?

Kalaupun memang benar demikian, seharusnya hal seperti itu tidak dikatakan kepadaku. Itu membuatku merasa kemenanganku didapatkan dengan cara yang tidak adil. Ketika bertemu teman-teman pemenang lain dari provinsi-provinsi lain, aku merasa tak enak hati.

Tentu saja juri menilai dengan adil. Mereka tidak melihat-lihat siapa dari SMA mana. Seandainya mereka tahu aku berasal dari SMA X dan itu jadi pertimbangan, tentulah aku tidak akan mereka pilih sebagai pemenang, karena mereka ingin memberikan prestasi pada sekolah yang sebelumnya jarang mendapatkan prestasi.

Tapi kemenanganku itu adalah kemenanganku, bukan kemenangan sekolahku. Bagi sekolahku kemenanganku ini mungkin hal biasa karena mereka punya sederet kemenangan lain, yang akan saling terkubur seiring dengan masuk-lulusnya murid mereka. Tapi bagiku, ini pengalaman luar biasa yang tidak akan aku lupakan seumur hidup.

Aku mencoba merefleksikan pengalamanku pada kasus Mona, sehingga aku bisa meralat pikiranku sendiri. Aku jadi berpikir, mungkin kita mesti berhenti menyamakan prestasi seorang murid sebagai prestasi sekolah atau kelompok, karena pada dasarnya prestasi seseorang adalah miliknya sendiri, hal yang patut dia banggakan, atas usahanya sendiri. Walaupun sekolah pasti akan terkena imbas positifnya, yang paling pantas mendapat apresiasi adalah dia. Kesempatan mewakili teman-temannya untuk bertemu bupati ini adalah “kemenangan” milik Mona yang ia raih dengan adil. Dia pantas mendapatkannya, terlepas dari latar belakang siapa dia dan apa yang sudah atau belum pernah dia alami.

Syukurlah aku keburu sadar dan tidak sempat menorehkan luka serupa di hati muridku itu.

[1] bahasa lokal yang diserap dari bahasa Belanda, spoor, yang berarti kereta

[2] Kota kecil yang paling dekat dengan daerah penempatan kami. Inilah tujuan utama orang-orang di talang kami jika ingin berbelanja.8 Juli 2012-- Hari ini aku hampir gagal menjadi seorang guru. Aku hampir mengulangi kesalahan seorang pendidik yang pernah menimbulkan luka cukup dalam di hatiku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua