info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Belajar Dewasa (Bingung Mencari Judul yang Pas^^)

Masdar Fahmi 2 Desember 2012

Kisah ini nyambung dengan tulisan saya sebelumnya berjudul, "Bawa Beta ke Jawa Sudah, pak Guru". Anak inilah (lagi) yang sedang akan aku ceritakan berikut ini :

 

“Tuhan akan menjawab doa hamba Nya melalui 3 cara. Mengabulkannya saat itu juga, menunda, atau mengganti dengan yang lebih baik menurut Nya.”

Itulah yang ingin aku transfer ke muridku yang satu ini. Aku benar-benar berusaha untuk menguatkannya agar tidak patah semangat. Terkadang, kegagalan itu perlu untuk belajar berjuang yang lebih giat lagi. Semoga apa yang aku sampaikan ini benar-benar bisa dia mengerti.

Sore ini, tibalah saatnya aku mengatakan yang sejujurnya. Sebenarnya, pengumuman ini sudah aku terima jauh-jauh hari. Mungkin sekitar dua minggu yang lalu. Namun, aku menunda untuk mengatakan kepada muridku—aku mencari cara dan waktu yang tepat untuk mengatakannya.

Masih lekat teringat jelas di memori saat dulu aku membujuk rayunya mengikuti sebuah kompetisi. Kompetisi terbuka untuk murid-murid SD, menulis pengalaman tentang keselamatan di jalan. Iming-iming pergi ke Jawa (Jakarta) sukses membuatnya menyisihkan beberapa jam waktu bermainnya. tekadnya mengalahkan kegelisahannya bermain-main aneka rupa dengan teman-temannya.

Aku bahkan rela menemaninya berlama-lama menulis kata per kata yang ingin dia sampaikan. Aku pikir, aku ikut bertanggung jawab karena telah memaksanya terjun ke dalam kompetisi ini. Bahkan, sempat terselip di benakku, sebenarnya ini kemauanku atau kemauannya untuk pergi ke Jawa? O’o, jika boleh kukatakan, ini keinginan kami bersama untuk sama-sama ke Jawa—menang kompetisi ini.

Beberapa hari menjelang pengumuman, aku mulai menyadari bahwa penting bagiku untuk mempersiapkan dirinya jikalau memang tidak lolos sebagai juara. Karena selama ini, semangat yang kutularkan adalah semangat optimis yang lebih terkesan memaksa dan pasti menang. Percaya diri itu baik, namun persiapan bukankah jauh lebih baik saat pengumuman itu benar-benar telah disampaikan.

Maka, aku lebih banyak bercerita tentang kegagalan saat menjelang pengumuman. Satu kenyataan yang ternyata baru kusadari, bahwa anak ini ternyata susah menerima kekalahan. Bahkan dia mengatakan sebuah pernyataan yang sempat membuatku sedih. “Kalau sampai beta tara menang, beta rasa malu hati sama pak guru. Beta pasti sedih sekali dan mungkin air mata jatuh!”

Waduh, bahaya. Pikirku dalam hati. Aku harus buru-buru meluruskan niatannya mengikuti kompetisi ini. Bahwa ada satu kenyataan yang menunggunya di suatu hari nanti. Kemungkinan itu ada dua, menang dan kalah. Dua-duanya harus dipersiapkan dari sekarang. Dan aku rasa, aku juga harus memberikan pengertian jikalau yang terjadi adalah sebuah kekalahan.

“Hey, bagi pak guru, hasil lomba besok itu tara penting. Pak guru sudah merasa kau menang. Kau mampu mengalahkan rasa malasmu. Kau berhasil membuat sebuah tulisan yang bagus. Kau sudah memilih menulis dari pada bermain. Itu sudah suatu kemenangan. Belum lagi, kau satu-satunya murid dari sekolahmu yang ikut lomba ini! Hebat tho?!” Aku berusaha membesarkan hatinya.

“Tetap saja pak guru. Beta rasa-rasa malu kalau sampai tak menang!” Dia bersikeras.

Aku benar-benar menjaga perasaannya. Aku ketakutan setengah mati. Segala jurus aku keluarkan. “Hey, kita serahkan saja kepada Tuhan. Kau sudah berusaha, kau pun sudah berdoa. Masalah hasilnya nanti, kalau itu rejeki pasti kau akan dapat. Tapi kalau belum rejeki, ya kita tara boleh sedih tho? Mungkin memang belum waktunya kita dapat rejeki. Iya tho?!”

Lamat-lamat kuperhatikan dia seperti sedang mencerna kata-kataku. Langsung buru-buru kutambahi, “Hey, dengar kata pak guru. Bagi pak guru, Ma-naf su-dah men-ja-di Ju-a-ra. Manaf su-dah me-nang!! Oke?!” kembali kuyakinkan. Semoga dia mengerti bahwa menang dan kalah bukanlah tujuan utama. Usaha dan proses jauh lebih penting.

“Iyo sudah pak guru. Beta sedikit-sedikit su mengerti. Tapi beta masih belum bisa terima kalau sampai tidak menang.” Waduh, bagaimana ini?

Aku meyakinkan diri dan makin mantab. Sungguh, hasil apapun nanti pasti ini akan jadi pembelajaran yang paling baik baginya. Dia akan mengerti dua hal, buah dari kerja keras dan apa itu keberhasilan yang tertunda. Dan, sore ini aku rasa dia telah belajar sesuatu.

Aku berkata pelan-pelan dan mengawalinya dengan, ”Ada dua kabar. Kabar sedih dan bahagia. Kau mau dengar mana dulu?” Wajahnya tersenyum kaku. Sungguh aku tak tega mengatakannya. Mengabarkan ketidaklolosannya ke Jawa lebih sulit dibandingkan membujuknya untuk ikutan lomba. Hmmm... aku menghela nafas setengah panjang. Semoga dia bisa dengan dewasa menerima kenyataan ini.

“Kabar sedih dulu saja pak guru. Biar setelah sedih, bisa gembira tho?!” Aku bahkan merasa tak yakin setelah kukabarkan berita sedih ini apakah kau benar-benar akan gembira setelahnya?—apabila cerita gembira versiku benar-benar kuceritakan?

“Kemarin pak guru bilang tho. Ada dua anak dari Papua yang lolos ke Jawa. Nah, pak guru su tahu dua anak itu dari mana.” Aku sedikit berbelit-belit. Lebih karena ingin agar kata-kataku tidak salah dan menyakiti harapannya.

“Yang pertama dari Sorong!” Dia menghela nafas dan tak sabar mendengar yang satu lagi.

Aku sengaja mengulur-ulur. Bahkan aku sendiri merasa tak siap mengatakannya,”Yang satu lagi... satu lagi... “ Aku benar-benar terputus dan tak tega mengatakannya. “Kau ada perasaan apa kah?” aku memotong kalimatku dengan pertanyaan tak penting ini.

“Siapa yang satu pak guru?” Tanya dia pasrah tapi sedikit memaksa.

“Yang satu dari Jayapura.” Akhirnya aku mengatakannya juga. Dia kaget danseperti ada guratan kesedihan dalam terawangan matanya.

Aku jelaskan tentang kalimat tadi. Tentang jawaban atas doa-doa yang kita panjatkan. Dia tak fokus memperhatikanku. Matanya menerawang entah kemana.

“Pak guru, kalau begitu saya pamit dulu.” Dia memutuskan pergi setelah aku menyelesaikan kalimat penjelasan terakhirku. Sabar ya nak, sore ini kau telah belajar sesuatu, menerima sebuah keputusan yang sama sekali tak kau suka. Sore ini kau benar-benar belajar menjadi dewasa. Anginpun semilir menerpa dedaunan kelapa seolah mengatakan hal sama denganku. Pasir masih terasa basah dijatuhi air dari langit. Keputusan ini pun sebuah berkah dan rejeki bukan?


Cerita Lainnya

Lihat Semua