Bawa Beta ke Jawa sudah, Pak Guru!!

Masdar Fahmi 31 Oktober 2012

Aku sungguh tak tahan lagi untuk menceritakan satu anak ini. Satu anak yang sedari kami bertemu, dia sudah bisa membuatku tertarik. Entah ada pesona apa dalam dirinya. Semakin hari aku mengenalnya, maka hari-hariku bersamanya jadi terasa kian berwarna.Tsaahhh...

Belakangan ini dia sering bercerita tentang keinginannya menjadi tentara. Ketika aku tanya mengapa ingin jadi tentara? Dia jawab untuk melindungi keluarganya dan Indonesia. Entah, dapat contekan dari mana anak itu bisa menjawab sedemikian manisnya. Padahal, perjumpaan awal kami dulu saat aku tanya cita-citanya,dia bilang mau jadi artis.What??!

Sejak jawaban pertanyaan itu, entah kenapa aku merasa ada kimia yang terjadi antaraaku dan dia—mungkin sama-sama ingin jadi artis? Hahaee. Macam seperti di film-film saja. Bocah ini memang unik, lain dari pada yang lain. Sorotan matanya seakan banyak bicara, menandakan semangatnya yang kian membara. Sungguh, jika melihat matanya yang tajam, rasanya ada sejuta misteri dibaliknya.

Kami sering ngobrol berdua. Di teras rumah, pinggir pantai, ruang guru, bale-bale, di perahu saat dayung, atau sepertisekarang, di jembatan. Ya, kami sebut ini jembatan, entahlah orang sini menyebutnya demikian. Macam seperti dermaga namun ujungnya adalah bongkahan batu besar yang ditanami tanaman-tanaman liar khas pantai. Kami duduk-duduk di atas bebatuan jalan menuju ujung jembatan.

Aku lebih banyak mendengarkan jika bersamanya. Ceritanyamengalir mengalahkan ombak yang berkejar-kejaran. Setiap kalimatnya akan mampu membuatku tertawa-tawa. Entah karena gayanya yang jenaka, cara bicaranya, ekspresi mukanya atau kalimat yang dipakai, sungguh kadang puitis. Kadang dia bernyanyi-nyanyi lagu yang dia karang sendiri, berpantun, nge-MOB (lawakan khas Papua) dan bercerita apapun. Sedikit sok, namun tidak membosankan atau membuat ilfeel. Itulah lucunya.

Daya tangkapnya cukup wow untuk anak seusianya. Dia bisa diajak bicara dari hati ke hati. Nalarnya sudah bekerja cukup baik, bibit-bibit dewasa sudah tercium darinya. Sungguh, kadang dia jadi obat mujarab ketika pikiranku sedang suntuk dan butuh hiburan. Mendengar ceritanya, seperti me-recharge semangat dan mendapat energi baru.

Namun, layaknya anak-anak, dia pun kadang masih labil. Ketika sedang emosi dan dia tak bisa mengontrolnya, dia akan kalap. Bertindak semaunya, tiba-tiba ngambek, mencari perhatian dengan cara aneh sehingga membuat teman-temannya langsung mengadu padaku—karena merasa tak nyaman. Kalau sedang begini, aku hanya bisa memandanginya dari jauh, berusaha menengkan melalui tatapan mata tajam.

Panjang sekali introku. Hahhaee, langsung saja, perkenalkan, namanya Abdul Manaf Wou. Sesuai nama famnya, dia memang anak yang wow. Asli nyong Papua, tepatnya kampung Urat distrikFakfak Timur. Kulitnya eksotis, rambutnya keriting cepak, bulu matanya lentik, perawakannya kurus tak terlalu tinggi namun terlihat semampai jika dilihat dari jauh. 13 tahun, kelas 6 SD dan punya hobby fotografi.

Anggap saja aku sedang dalam keadaan kacau sore itu, di Jembatan. Tiba-tiba, dia memecah lamunanku dengan hadir dari atas bebatuan besar di ujung jembatan. Senyumnya yang pertama dialempar, baru salamnya yang khas ditambah lambaian tangannya. Hahhae, dia datang di saat yang tepat pikirku.

Dia selalu tertarik jika aku mulai bercerita tentang apapun yang ada di Jawa. Tentang sekolah, mainan-mainan, alat transportasi, tempat wisata,  keramaian kota, apapun! Ya, dia ingin sekali pergi ke Jawa melihat dengan mata kepalanya sendiri apapun tentang Jawa. Tak peduli, di Jakarta kah, Jogja kah,Semarang kah atau Pekalongan sekalipun.

Makanya, ketika ada satu lomba menulis dari majalah anak-anak, aku langsung semangat menawarinya. Jika menang, ada kesempatan baginya untuk pergi ke Jawa (Jakarta). Melihat segalanya yang saat ini hanya dia simpan dalam angan-angan di kepalanya. Bukan lagi bingkisan, baju,tas, mainan, uang atau segala bentuk barang yang dia inginkan, tapi menginjak ta-nah-Ja-wa!

Semangatnyamembuatku terenyuh disaat obrolan kami sampai pada bagian ini :

“Nanti, semoga katong (kita) bisa pi (pergi) Jawa sama-sama, pak guru!” Dia membuka bahasan baru.

“Iya, insya Allah. Pak guru doakan tulisan kamu menang dan kita bisa pergi ke Jakarta. Kau juga jangan lupa berdoa terus ya!”Timpalku.

“Beta selalu berdoa pak guru. Mau tidur, bangun tidur, pagi-pagi, siang-siang, malam-malam, di sekolah, di pantai, saat dayung, pokoknya semuanya beta doa terus. Biar pak guru, beta, bisa pergi sama-sama ke Jawa.”Tukasnya penuh semangat.

Semacam ada hembusan yang mengalir dalam dadaku. Sungguh menyentuh, kepolosannya berbaur dengan semangatnya yang tak pernah padam. Aku tersenyum, mata kami berpapasan.

“Pengen sekali kah kau pergi ke jawa, Manaf?”Aku melempar tanya bersamaan dengan pandanganku ke pantai yang tenang.

“Iyo pak guru. Makanya beta doa-doa terus, semoga ini rejeki, tho pak guru?!”Jawabnya diselingi senyuman dan logatnya khas Fakfak.

Aku ikut tersenyum. Ya Alloh, peluk mimpi anak ini ya Alloh. “Iyo, kamu benar. Kalau rejeki pasti tidak akan kemana-mana. Kau su usaha tho, su berdoa juga, hasilnya serahkan ke Allah saja sudah!”

Kami sama-sama tersenyum dan kembali bertatapan.

Sungguh, obrolan yang berkualitas. Aku bukan sedang membual atau melebih-lebihkan. Berdiskusi dengannya memang seakan membuatku terjun dalam adegan per adegan seperti di layar lebar. Entah kenapa, kata yang keluar dari mulut kecilnya itu kadang memang puitis, penuh kiasan bermakna, aku benar-benar seperti baru saja menemukan patner bermain adegan. Semacam temen ngobrol berbagi mimpi. Luar biasa!

Sangking besar keinginannya itu, tiba-tiba dia berkata, “Kalau itu belum rejeki, bawa beta ke Jawa sudah pak guru!” Dia kembali menatapku.

Lamat-lamat kulihat sorot mata itu, aku tersenyum dan berkata“Boleh juga, kalau memang ada kesempatan, kenapa tidak tho?”

“Iyo, beta bilang bapak sudah, nanti kalau pi Jawa, sekolah disana, nanti tinggaldi pak Fahmi saja sudah! Tara (tidak) usah pusing-pusing lay (lagi).”

Tak henti-hentinya aku tersenyum sambil merasakan sesaknyadada. Sungguh aku merasakan seperti ada semangat yang berlebih mendengar kata per kata yang keluar dari mulut anak ini. Kalau bisa saat itu juga, aku aaaajak dia terbaaang atau pinjam pintu ke mana saja!

Seakan tak tega dan merasa cukup mendengarkan cerita tentang impiannya itu, aku coba cari topik lain dan bertanya padanya. “Eh Manaf, nanti kalau pak guru su pergi dari sini,kau ingin yang gantikan pak guru nanti, ibu kah atau bapak juga?”

“Ah, pak guru saja sudah tara usah pergi. Tarada yang lain yang punya hati macam pak guru!”

Oh oke, speechless ah...

“Nanti kalau pak guru su pergi, sudah tara tau lay.” Dia menambahi. Tiba-tiba senyap.

“Kalau pak guru pergi, kau harus antar pak guru ke bandara juga!” Aku menimpali.

“Nanti, beta antar pak guru naik pesawat, tapi jangan pak guru liat-liat beta lay, bisa-bisa beta tara kuat, menangis lay.” Dia tertawa kaku.

So sweet.

Dan, masih banyak obrolan-obrolan yang lain. Keinginannya mengajakku piknik, molo (berburu tombak ikan dengan kawat), bakar-bakar ikan, mengajakku makan di rumahnya, dan lain-lain. Hari sudah semakin sore, laut perlahan mulai pasang, seakan tak mau kalah rintik air pun mulai turun dari awan.

Sembari berpindah tempat dan menuju jalan pulang, aku sampaikan sesuatu, “Manaf, besok Minggu, kita jalan-jalan sudah, dayung-dayung, pak guru pi telpon juga. Tapi liat-liat situasi dulu, kalau cuaca baik baru kitong jalan!”

“Ah, kapan saja saya siap pak guru kalau pak guru minta. Sore inipun, malam, hujan pun, asal pak guru yang bilang, biar mati pun beta siap!” Jawabnya semangat.

Bussseeetdah, ternyata bisa juga anak ini menggombal!! Kami tertawa lepas, kena juga gocekan anak-anak!


Cerita Lainnya

Lihat Semua