Beta ini... Beta ini!!

Masdar Fahmi 10 November 2012

Rutinitas setelah mengajarku cukup monoton. Sampai rumah, duduk-duduk, lalu baca-baca, sebentar sholat, makan siang, kalau sedang bersemangat aku akan tidur, tapi kalau malas aku akan cari aktivitas lain. Seringnya, tidak lebih dari hitungan satu jam, anak-anak sudah berdatangan masuk ke rumah.

Ada yang sekedar menyapa, masuk ke rumah dan bertanya, “Pak guru sedang apa?”Padahal jelas-jelas dia tahu aku sedang membaca. Atau, ada lagi yang langsung mengambil buku yang tertumpuk di kardus usang warna putih itu. Kalau aku sedang beruntung, aku akan mendapati anak yang sangat semangat menunjuk-nunjuk huruf dan bertanya kepadaku, “Ini huruf ‘n’ tho pak guru?”. Antusias sekali, matanya berbinar.

Namun, siang ini, entah kenapa aku merasa butuh waktu sendiri. Tapi, mustahil bagiku untuk tiba-tiba meninggalkan rumah padahal begitu banyak anak-anak di rumah. Atau masuk kamar menyendiri di dalam—pilihan ini justru buruk, karena bisa dipastikan anak-anak malah akan masuk kamarku, dan ini yang paling aku tak suka. Entah kenapa, aku merasa terganggu jika ada orang masuk ke dalam ruanganku—apalagi tanpa permisi.

Alhasil, mau tak mau aku harus menemani mereka. Ujian pertama, kesabaran. Mau tak mau aku harus melayani anak-anak ini. Menjawab setiap pertanyaan yang mungkin tak penting. Menanggapi polah laku anak-anak yang tak wajar. Atau sekedar berkata ‘iyo’ atau mendangakkan kepala, itu juga sudah cukup. Sambil kembali melanjutkan bacaanku—sebuah novel yang betaparuginya aku baru membaca sekarang—Totto Chan.

Aku duduk di teras rumahku yang terpagar kayu-kayu lombo (kayu yang tak begitu keras). Di sebelahku ada beberapa anak yang sedang membuka-buka buku. Sebagian sudah bisa baca, namun mereka lebih memilih untuk melihat-lihat gambar saja.

Ada sekitar lima orang, mereka riang sekali dan tampak senang ketika membuka lembaran baru. Satu anak yang pegang kendali mengganti halaman, lalu yang lain akan saling berteriak “Beta ini...betaini...”Sambil menunjuk gambar tertentu di halaman tersebut. Mereka seolah berebut suatu barang untuk dimilikinya.

Aku sedikit terusik, konentrasiku buyar. Mereka sukses membuat imajinasiku kacau mendalami novel yang diam-diiam aku menyukainya. Aku melirik dan tersenyum, ah sudahlah, pikirku dalam hati, asal mereka senang dan aku pun tak merasa benar-benar terganggu kok. Mereka melanjutkan dan tenggelam dalam kegembiraan.

Suatu pemandangan yang menyenangkan. Aku tak tega merebut kebahagiaan itu. Hanya dengan melihat-lihat gambar dan menghakmilikinya saja sudah membuat mereka sangat senang. Sederhanasekali anak-anak ini mencairkan kesenangan. Dalam hati aku mulai tersenyum, namun aku pasang muka biasa saja.

Tiba-tiba, “Sreeekk....”Terdengar suatu bunyi yang sangat kukenal. Sebuah bunyi robekan kertas terdengar nyaring di sebelah telinga kananku. Mendadak cekikikan anak-anak pun terhenti. Muka mereka menegang sepersekian detik, lalu ramai saling menyalahkan dan saling membela diri. Aku menoleh ke arah mereka, mereka diam, mendadak sunyi.

Spontan aku berkata, “Itu sudah!”. Nadaku datar terdengar tegas. Kata-kata itu seakan mempunyai sejuta makna dan aku rasa mereka menyimpulkan sesuatu. Ada yang merasa bersalah, ada yang ingin menghentikan permainan tadi, ada juga yang khawatir aku akan marah. Baru setelah itu, salah seorang anak berkata, “Pak guru jangan marah e..” Aku menghela nafas. Mereka pun melanjutkan lagi permainan asyik itu.

Namanya anak-anak, entahlah apa yang ada dipikiran mereka. Aku berpikir bahwa mereka menyesal karena kejadian robeknya sang ensiklopedi itu. Tapi rasanya, mungkin butuh waktu hingga mereka benar-benar bisa berfikir sampai sejauh itu. Aku pun melanjutkan petualanganku dengan karya sastra bersampul putih itu.Ombak masih saja berlarian dan angin masih sepoi-sepoi saling berkejaran.


Cerita Lainnya

Lihat Semua