Malamku Penuh Isi

Anggun Piputri Sasongko 3 November 2012

 

Murid-muridku adalah semangatku. Obat yang paling manjur dari segala obat apapun. Energiku seakan bertambah ketika berada ditegah-tengah mereka. Sumpah.  Memasuki bulan kelima di Bumi Ti’i Langga sudah terlalu banyak pelajaran berharga, susah, senang, tawa, tangis yang aku rasakan. Tantangan yang datang silih berganti tanpa henti. Membuatku seolah-olah menjadi pribadi yang begitu kuat. Aku mulai bersahabat dengan tantangan. Pernah aku berdiam dalam sepi, merenung. Tentang apa itu tantangan, kenapa dan bagaimana itu semua hadir dalam kehidupanku. Ada refleksi yang aku dapat malam itu. Bahwa tantangan adalah sebuah peningkatan prestasi. Adanya tantangan karena kita adalah orang special yang dipilih oleh Sang Pemberi Kekuatan untuk menjalani dan melewatinya. Aku taruh itu dalam hati, menyimpannya baik-baik sehingga setiap menemui tantangan aku siap menghadapinya.

Malam yang ramai dengan suara hewan. Jarak antara rumah satu dengan lain yang cukup jauh. Belajar malam dengan murid-murid adalah hal yang hampir tidak pernah selama empat bulan aku disini. Belajar malamku hanya dengan adik dirumah, Yuni kelas 2 SD. Itu saja kalau Yuni tidak menghilang kerumah tetangga untuk pergi nonton. Itu sudah! Selain memang jarak rumah yang cukup berjauhan. Alasan lain mengapa murid-muridku tidak datang kerumah ketika malam hari adalah karena aku kalah dengan tayangan televisi.  Tayangan televisi malam hari yang disuguhukan lebih menarik dibanding belajar bersama Ibu Anggun dirumah. Namun kemudian aku kembali merenung. Apa iya ini karena tayangan televisi, jarak rumah yang berjauhan atau ternyata karena aku, aku yang belum bisa membuat murid-murid tertarik untuk datang belajar malam. Lagi-lagi aku menyalahkan diriku.

Waktu berjalan begitu cepat, kejutan pun ikut ambil bagian di dalamnya. Malamku yang sepi tidak lagi. Sekarang sudah penuh isi.

Dimulai dari aku berniat mengunjungi salah seorang murid kelas 1 yang aku tahu ia belum bisa menulis sama sekali. Kejadian itu datang ketika aku sedang mengawas ujian tengah semester di kelas I B. Namanya Laus, bocah mungil dengan pakaian seragam yang lusuh dan kebesaran. Aku lihat waktu guru sedang membacakan soal dan murid-murid menulis jawabannya di buku. Laus tidak menulis apapun! Hanya bulat-bulat, garis. Tidak ada huruf a, b atau c dalam bukunya. Hatiku tersentak ada panggilan yang menggebu. Sore itu juga aku harus datang ke rumah Laus, mengajaknya belajar menulis. Rumah Laus di dusun Danombao, jarak kesana membutuhkan waktu tempuh 40 menit jalan kaki.

Sore itu pukul 16.20 aku berangkat kerumah Laus. Sendiri. Tekadku sudah bulat. Laus harus bisa menulis! Baru aku jalan 50 meter dari rumah, bertemulah dengan Faleri murid kelas 5. Ia tanya aku mau kemana, ku bilang “Ibu mau pi ke Danombao, mau ikut kho?” tanpa pikir panjang Faleri langsung bergegas menghampiriku dan bilang “Iya ibu, saya ikut”. Jadilah kami jalan bersama. Aku tidak lagi sendiri tetapi berdua dengan Faleri. Senja pun akhirnya sudah menampakan diri, langit mulai gelap. Pukul 18.00 aku kembali kerumah. Setelah sampai dirumah Faleri, sebelum masuk, Faleri berkata, “Bu nanti mandi abis dan makan saya kerumah ibu ya”.Akupun membalas dengan senyum dan berkata “Iya Faleri, ibu tunggu ya dirumah”.

Selesai mandi aku duduk diberanda belakang rumah yang juga merupakan dapur dan kamar mandi. Berbincang santai dengan bapak dan mamak sambil minum teh hangat buatan mamak. Posisi duduk-ku meghadap ke halaman belakang, sehingga kalau ada orang yang datang aku mungkin tidak akan tahu atau bahkan terlihat. Asyiknya kami ngobrol. Dari depan terdengar langkah kaki dan bisik-bisik. Siapa mereka? Oh ternyata Faleri. Eh tidak, tidak hanya seorang Faleri. Dibelakangnya ada beberapa lagi yang lain. Mereka menyapaku, “malam Ibu Anggun”. Ternyata gerombolan itu ada Cici, Lala kelas 1, Karin kelas 2 dan Jingga kelas 3. Mereka datang tidak dengan tangan kosong, tetapi membawa 1 buku tulis dan ballpoint masing-masing. Mau belajar, katanya serentak.

Aah Tuhan kejutan yang luar biasa yang Kau berikan untuk aku malam ini. Kau mengirimkan malaikat-malaikat mungil mengisi malamku. Puji Gusti.

Mereka memintaku diajarkan menulis, membaca, menghitung. Sesekali mereka minta menggambar dan bermain. Bahkan aku suka mempercepat waktu belajar mereka untuk agar mereka bisa menyaksikan film kartun dari laptopku.  Kami belajar di beranda belakang tetapi lebih sering aku mengajak mereka ke gereja. Tepat disamping rumah. Selain untuk supaya tempatnya lebih luas. Disana sebenarnya sudah ada perpustakaan desa. Ada lemari kayu yang berisi banyak buku dan permainan. Yang mana mereka boleh menggunakan sesuka hati. Tentunya idak boleh berantakan. Kembalikan ke tempat semula dengan rapi.

Pernah suatu malam. Hari Kamis. Terdengar sayup suara mereka, sedang berjalan dan sambil bernyanyi. Sepertinya mereka tidak tahu kalau aku sudah ada dirumah malam ini. Tujuan mereka memang tidak kerumahku tetapi ke arah timur. Kebetulan sekali aku juga mau kesana, kerumah Bapak Welem mengantar titipan mamak untuk Mira. Saat aku keluar pagar , kok jejak mereka hilang cepat sekali. Baru saja aku keluar pagar dan berjalan 10 langkah. Mereka mengagetkanku, tiba-tba keluar dari persembunyiannya dibalik pohon.  Ternyata betul tujuan kami sama, mereka akan ke kios membeli obat untuk Bapaknya. Sedangkan rumah Pak welem disamping kios. Di perjalanan mereka malah bertanya “Bu kotong belajar kho ini malam?” padahal aku ada agenda bertamu kerumah Bapak Welem. Aku bilang dan minta maaf kalau tidak bisa belajar malam ini. Mereka memang terlihat kecewa, akupun merasa bersalah. Tapi malahan mereka bilang “kalau begitu habis antar bapak pung obat, kotong jemput ibu Anggun ya, kotong tunggu ibu”. Ah manisnya mereka.

Inilah malamku. Yang tidak lagi sepi. Sampai hari ini mereka tidak pernah absen datang kerumah. Menemaniku. Bahkan ketika aku sedang berada di kota kabupaten. Ternyata mereka juga tetap datang. Begitu besoknya saat aku sudah ada dirumah. Mereka pasti berkata, “Ibu kemarin kami datang, tetapi ibu tidak ada”.


Cerita Lainnya

Lihat Semua