info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kaki Ayam Dari Hutan Samak

Wilibrodus B 3 November 2012

Tulisan ini merupakan karya murid saya, Merisa Trisnawati (9 tahun), siswa kelas V (lima) SDN 4 Titi Akar, Dusun Hutan Samak, Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau. Karya Tulis berjudul "Kaki Ayam Dari Hutan Samak" ini mengantarkan Merisa menjadi satu-satunya delegasi dari Propinsi Riau dalam Konferensi Anak Indonesia, pada tanggal 4 - 9 November 2012, di Jakarta. Tulisan Merisa ini terpilih bersama 35 tulisan anak-anak Indonesia lainnya dari 28 propinsi yang diseleksi dari total 1.681 karya tulis. (sumber: http://www.tabloidnova.com/Nova/News/Varia-Warta/Konferensi-Anak-Indonesia-2012-Keselamatanku-di-Jalan)

 

**********************

 

Hai teman-teman semuanya, nama saya Merisa Trisnawati. Umur saya belum genap 10 tahun. Saya siswa kelas 5, SDN 4 Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau. Saya tinggal di sebuah dusun di Pulau Rupat. Dusun kami bernama Hutan Samak. Teman-teman tahukah di mana letak Pulau Rupat? Pulau Rupat tempat kami tinggal ini berada di Selat Malaka, berbatasan langsung dengan Malaysia. Orang – orang di pulau kami lebih banyak sudah pernah pergi ke Malaysia daripada Jakarta...hehehe.

Tapi, kali ini saya tidak ingin bercerita banyak tentang dekatnya Pulau Rupat dengan Malaysia. Saya mau bercerita tentang bagaimana sehari-harinya saya pergi ke sekolah. SD saya adalah satu-satunya bangunan sekolah yang ada di dusun Hutan Samak. Kami tak punya TK apalagi SMP. Saya sendiri tinggal di Pehabong Nibung, sekitar 3 kilometer dari sekolah.

Kalau saya ingin berangkat ke sekolah saya harus bangun lebih pagi, biasanya pukul 05.50 WIB dan berangkat ke sekolah jam 06.35 WIB. Perjalanan dari rumah saya ke sekolah kurang lebih 35 menit dengan berjalan kaki. Sekolah dimulai pukul 07.30 WIB.

Nah sekarang teman-teman yang beragama Islam sedang puasa jadi kami masuk sekolah pukul 08.00 WIB. Sehingga saya bisa bangun pukul 06.10 WIB dan berangkat ke sekolah pukul 07.00 WIB. Teman-teman, mau tahu kenapa saya datang ke sekolah pukul 07.00 WIB? Karena menunggu Ibu saya pulang menoreh karet. Setiap pagi Ibu saya menoreh karet untuk menambah penghasilan keluarga. Jika Ibu pergi menoreh karet, saya bertugas menjaga adik saya yang masih balita. Tidak ada orang lain yang bisa menjaga adik sehingga saya harus menunggu Ibu pulang menoreh karet barulah saya siap berangkat ke sekolah. Saya sudah terbiasa bangun lebih pagi karena saya sangat takut terlambat ke sekolah. Saya tak pernah bangun kesiangan lho. Pernah juga bangun kesiangan yaitu pada hari Minggu dan saat libur sekolah...hehehe.

Oya, teman-teman, tinggal di dusun kecil tentu berbeda jauh dengan kehidupan di kota. Setiap kali berangkat ke sekolah, saya tidak pernah naik motor apalagi mobil. Jalanan di dusun kami hanya sebagian saja yang sudah disemen, sebagian besar berupa jalan setapak.

Sejak SD kelas satu sampai sekarang saya duduk di kelas lima, ada banyak pengalaman yang saya ingat. Mungkin beberapa saja bisa saya ceritakan di sini.

Kalau cuaca cerah saya selalu tak pernah absen ke sekolah. Tetapi jika musim hujan, apalagi biasanya hujan turun di pagi hari maka saya tergantung pada payung. Sayangnya sekarang payung itu sudah patah, belum dibeli sama Ibu karena enggak punya uang. Jadi, jika tak ada payung maka saya tidak bisa ke sekolah kalau hari hujan. Jika hujan reda, barulah saya berjalan kaki. Kalau lagi hujan kami tidak bisa memakai sepatu karena becek sekali. Kalau pakai sepatu mungkin sepatunya kotor dan berlengketan dengan tanah liat. Tanah di dusun kami adalah jenis tanah liat, sehingga jika turun hujan, akan lengket di kaki, sendal, atau sepatu.

Makanya saat hujan kami tidak biasa bersepatu. Kami biasanya ‘kaki ayam’ saja..hehehe begitulah kata orang-orang di dusun kami jika berjalan tanpa pakai kasut. Kalau kami bilang ‘kaki ayam’, nah kalau di daerah lain entah ya saya pun tak tahu. Jadi, jika melalui jalanan becek, sepatu akan kami tanggalkan lalu menentengnya hingga tiba di sekolah. Saya juga pernah jatuh dan terpeleset saat hari hujan, sehingga pergi ke sekolah dengan rok yang belepotan lumpur.

Kadang-kadang saya merasa lelah pagi siang berjalan kaki terus setiap hari. Ada payung, payung sudah patah. Dulu saya pernah pakai sepeda tapi sayang sekarang sepedanya rusak. Saya harus menunggu ayah pulang melaut baru bisa diperbaiki sepedanya. Iya, ayah saya adalah seorang nelayan di tengah laut luas sana. Kami pun tidak bisa bersepeda setiap saat. Kami bersepeda saat musim panas. Kalau musim hujan huaaahhh...becek sekali, sehingga sangat susah menjalankan sepeda.

Teman-teman mungkin berpikir malas juga ya untuk datang ke sekolah setiap hari karena capek berjalan kaki. Tapi saya belum apa-apa. Lebih jauh guru-guru saya. Sebagian besar guru kami tinggal di Desa Titi Akar, yang dipisahkan oleh sebuah sungai dengan Dusun Hutan Samak. Sehingga setiap hari mereka selalu naik pompong (perahu kecil), menyebrangi sungai, datang ke sekolah untuk mengajar murid – muridnya.

Jika mengingat guru-guru saya, saya tak boleh mengeluh. Entah hari terik atau turun hujan saya harus semangat pergi ke sekolah. Begitu juga jika hendak kembali ke rumah saya harus semangat berjalan kaki. Apapun yang terjadi saya ingin menjadi anak pintar. Demi kepintaran saya rela berkorban.

Selain cerita itu saya juga punya beberapa kisah lain tentang perjalanan pulang pergi sekolah. Pada suatu hari saya dan adik saya sedang berangkat ke sekolah. Di jalan seketika turun hujan. Untunglah waktu itu kami membawa payung. Di tengah jalan adik saya bilang dia kehausan. Saya jadi bingung karena kami tidak membawa air. Sesudah itu adik saya berkata bagaimana kalau kami menumpang minum saja di rumah warga yang terdekat. Saya setuju, ya lebih baik kami menumpang di rumah orang daripada kehausan, sementara rumah kami masih jauh. Akhirnya kami masuk ke rumah seorang nenek, dan dikasih minum juga. Selesai minum kami mengucapkan terima kasih banyak sama nenek itu. Kami bersyukur sudah ditolong.

Ada pula kisah yang lain. Pernah suatu hari, saat hendak pergi ke sekolah saya ketemu kalajengking besar. Saya sangat takut karena kalajengking itu terus bergerak menuju ke ujung sepatu saya. Dalam ketakutan saya berjalan mundur ke belakang sedikit demi sedikit. Untunglah sekitar 3 menit kemudian, datanglah teman saya. Dia adalah seorang anak lelaki. Dipukulnya kalajengking itu dengan kayu rotan, setelah  itu barulah saya bisa melewati jalan itu. Dan saya pun mengucapkan terima kasih banyak pada teman saya itu, karena kalau tidak ada dia mungkin saya tidak bisa datang ke sekolah. Saya akan kembali pulang ke rumah karena takut digigit kalajengking.

Teman-teman mungkin sangat heran dan bertanya-tanya, mengapa saya takut pergi ke sekolah hanya gara-gara ketemu kalajengking di jalan? Jalan yang saya lalui itu kecil, sangat sunyi dan penuh belukar. Banyak semak dan rumput yang tumbuh di tepi jalan. Bukan hanya kalajengking saja yang hidup di situ, tapi juga ada ular atau binatang berbisa lainnya. Saya pun sering ketemu ular. Tetapi untunglah selama ini ketika bertemu ular, binatang itu tidak pernah hendak menggigit saya..hehe.

Ya udah ya. Teman-teman cukup sampai di sini ya cerita Merisa. Semoga kisah saya ini ada gunanya. Salam kenal dari Merisa di Hutan Samak, Pulau Rupat. Daa...Daa...


Cerita Lainnya

Lihat Semua