Anjali, Kenangkanlah Kami

Wilibrodus B 3 November 2012

..seperti puasa sebelum fitri. sebagai doa sebelum mimpi menjadi..

Bocah-bocah melesat lari, tercebur kecipak parit, melindas semak rerumput yang tumbuh sakit. Seutas tali terlilit di telapak kiri. Di tangan kanan, kayu bundar ujung runcing siap menanti ia kan diputar menari-nari. Berkata Si Keling menunjuk langit. “Yoyoyo...matahari terang sekali, mari kita besenyak ramai ramai. Sekejap pertarungan mulai. Gasing kayu coklat dan untai alit dari goni.

Lengking bertalu di kolong rumah tepi laut. Di simpang jalan, anak lelaki menggendong ayam jago, membawanya ke lapangan untuk belege. Di dekat Cetya, berjejer dapur bata terekat tanah liat, ibu-ibu dan anak perempuan mengepul arang bakau. Badan mereka legam hitam, demi tiga puluh ribu untuk makan malam ini.

Hanya sehampar jejak tanah, kampung berbatas selat air coklat dan lebat belukar. Dusun sunyi bernama Hutan Samak. Di sini mereka meretas jelajah, berpijar melukis cahaya, dengan napas sengal gelisah, kaki-kaki tak berpelana, hingga malam tiba. Lalu gelap. Mereka hingar sedekap di bawah purnama, bercanda dengan buncah geligi warna jelaga, main sembunyi muka. CiLukBa. Riuh tertawa renyah anak desa.

Mereka terlampau muda memaknai hidup berswaka, cinta alam, flora, fauna. Dalam dada mereka, kata-kata bukan simbol malu, rasa bersalah atau gerak bibir yang ngilu. Bahagia adalah doa bersama. Kala untai ujud anjali telah selesai terangkai, memendam di kepala, mengeram di putih baju mereka, hingga dupa-dupa dibakar pada senja hari. Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu. Sadhu. Sadhu.

Mereka menghidupi hari dengan kesunyian pura-pura, setelahnya baris permainan berhamburan dari hilir muara. Tak ada sajak durja. Lalu upacara berputar di lorong sekolah, di rumah papan yang sahaja, di tepi parit, belepot lumpur sungai. Kadang-kadang mereka kelahi lantaran karet gelung terburai. Kalau hari mujur mereka menenteng kail, menangkap ikan di air keruh, bermain antara tembakul dan kepiting tapal kuda. Mereka suka berenang, sejauh pasang membawa kedalaman, kemudian mengeringkan kulit dengan handuk matahari. Kini telah ada pompong, selat pun dapat terlalui. Setiap pagi mereka sebrangi laut menuju desa, meretas ilmu lebih tinggi, meniti akar, menyisir cerita bahari.

Tak ada sedu kelu meski separuh mereka berkisah nelangsa. “Namo Buddhaya. Namo Sekarang. Aku belajar bukan untuk kesombongan dan keserakahan. Tetapi untuk mengikis kebodohan dan menambah pengetahuanku. Semoga aku senantiasa mencari siapa yang bisa kubantu. Semoga aku memberi untuk mengikis keakuan..” Sekian pagi dan petang berlalu, mereka akrabi hari dalam sepi kenduri, kicau walet di rumah tinggi, wangi dupa gulita malam hari dan air keruh perigi. Di bawah purnama mereka memuja pemilik alam, berhentak tarian semesta di Cetya, menancap kebyar bendera pada jalan atma.

Setahun sekali mereka berpesta ramai, pada malam terang bulan penuh, di muka klenteng Chin Bu Xiong, awal tahun hari Cap Go Meh.

Di tanah sejak nenek moyangnya menghitung tahun lahir dengan nama-nama fauna, mereka kenal dua cita-cita saja: menjadi guru atau polisi. Mereka berlari, berjalan, belajar berhitung tiap lima jari dengan patahan sapu lidi. Lantas, ketika Senin pagi datang, ada rindu sesak menambatkan kepolosan pada serpih ilmu. Pada pengorbanan yang belum penuh mereka geluti. Cuma tanda beri diri. Sebab mereka tahu pasti, Tuhan memberkati. Di negeri mini-nya, barangkali selalu ada lawas mimpi: bersua bapak pemimpin yang saban hari muncul di kotak televisi. Kelak di suatu hari.

Berjuang terus lentera Akit-ku, gagah kirab menebas semak kegelapan, lantang semangat menoreh sejarah, menukik panggung dunia. Walau sejenak kau terlupa, walau cita masih jauh di muka, dan Bumi tak pernah membuka rahasianya, berteriaklah dengan semangat, kibarkan sepenuh jiwa: "aku juara dari Hutan Samak, aku adalah  bintang, aku adalah karya terbesar Tuhan. “Aku bisa..aku pasti bisa....!"

 

 

untuk dipahami : Keling = hitam, Besenyak = bertanding gasing, Alit = tali, Belege = sabung ayam, Cetya = Vihara kecil, Anjali = sikap anjali, posisi dua tangan seperti bertapa, isyarat pembuka doa harian di sekolah, Pompong = perahu kecil, Akit = Suku Akit, suku asli mayoritas yang mendiami Pulau Rupat  

Hutan Samak,  hujan awal November..


Cerita Lainnya

Lihat Semua