Doni, Si Jenius Gambar

Adhi Rachman Prana 6 Juli 2012

Minggu pertama penempatan aku habiskan di Talang Airguci, Desa Sugihan. Karena satu dan lain hal, aku belum bisa masuk ke desaku di Talang Tebatrawas. Di desa ini sudah Ada Dimas Sandya, Pengajar Muda angkatan 2 yang akan digantikan oleh temanku, Trisa Melati. Untuk mengisi waktu, akupun ikut membantu Dimas dan Trisa di sekolahnya mereka, sebenarnya sudah tidak ada lagi kegiatan KBM, namun kami tetap masuk untuk sekedar memberikan motivasi dan bermain bersama.

SDN 10 Rambang Kelas lokal jauh mempunyai enam rombongan belajar. Namun hanya ada satu ruangan yang disekat oleh triplek tipis menjadi 3 bagian. Satu bagian kelas terdapat dua baris meja, kelas 1 dan 2, 3 dan 4, 5 dan 6. Ketiga bagian itu disatukan oleh papan tulis yang sama. Aaakh, kawan kau harus melihat fotonya. Ini yang selalu diceritakan Dimas, tiga guru berdiri di depan kelas masing-masing mengajar 2 kelas, suaranya terdengar ke semua ruangan. Bahkan kadang-kadang ada siswa kelas 3 yang menjawab pertanyaan guru di kelas 6. Untuk konsentrasi pun sangat sulit, untungnya masing-masing guru saling pengertian. Terkadang ada guru yang membawa muridnya belajar di luar kelas. Miris sekali, kawan! Namun, aku tidak akan membicarakan sekolahnya dulu disini. Aku mau cerita tentang anak kelas 4 bernama Doni, Doni Iskandar nama lengkapnya.

Aku masuk ke kelas 3 dan 4, setelah berkenalan dan bernyanyi bersama aku menanyakan kepada mereka tentang cita-citanya. Dengan metode bernyanyi semuanya menceritakan cita-citanya serta apa yang diperlukan untuk mencapai cita-cita itu. Aku kagum terhadap Dimas, mereka sudah pandai dan tidak malu-malu lagi untuk berbicara. Aku lihat juga anak-anak ini sudah mempunyai percaya diri dan optimisme akan masa depannya. Okta, dengan tegas berkata “Cita-citaku ingin menjadi artis, untuk itu aku perlu berlatih keras dan konsentrasi”. Anak lainnya, Juni berkata “ aku nak jadi Pemain Band, buat jadi pemain band harus bisa menahan malu”. Ada juga yang berujar “ Aku ingin menjadi pelukis, harus rajin melukis dan berdoa”. Ada satu anak lagi yang dengan malu-malu mengatakan ingin jadi kiai. Ketika ditanya apa yang dibutuhkan, ia menjawab “ harus rajin solat dan mengaji pak.” Terakhir,  Doni mengatakan ingin menjadi pemain bola, ia berkata “ Pemain bola harus kuat fisik, berlatih keras dan juga harus pintar”. Setelah semuanya menceritakan cita-citanya aku memberikan motivasi bagi mereka untuk terus berusaha memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan tentunya dengan belajar, berlatih dan berdoa. Selesai kelas, Doni menghampiriku, ia mengambil sobekan kertas dari bukunya dan menyerahkannya padaku “untuk Bapak..”, ujarnya seraya memberikan kertas tersebut padaku. Setelah berterima kasih kubuka kertas itu. Isinya gambar yang dibuat untukku, dengan kaos timnas  bola bernomor 17 dan tulisan diatasnya  ‘Bapak adi’. Aku senang kawan! Bukan, bukan karena disitu aku disejajarkan dengan Irfan Bachdim namun karena bentuk perhatian dan ketulusan anak itu. Di pelosok yang belum ada listrik ini, ada seorang anak yang memperhatikan orang baru dan memberikan sebuah gambar hasil karyanya. Ini jelas lebih indah daripada lukisan-lukisan yang biasa dibuat kartunis untuk politisi yang diundang di reality show TV nasional, kawan!

 

Aku jadi teringat ketika aku kecil, aku juga sering menggambar teman-teman dan guru-guruku di dalam kelas. Temanku senang aku gambar, tidak dengan guruku. Guruku pernah merobek karyaku karena menganggap menggambar itu tidak ada gunanya. Tipikal guru yang mempunyai pemikiran sempit saat itu. Sekarang, aku sungguh bangga dengan Doni, dengan guru-guru yang memfasilitasi anak-anak untuk mengembangkan bakatnya. Doni jelas mempunyai bakat dalam menggambar, kuperhatikan karya-karyanya di mading sekolah juga bagus-bagus untuk anak seusianya. Aku pun membalas gambarnya dengan gambar buatanku. Gambar Tentang Doni, membawa piala Liga Asia sebagai kapten Indonesia yang menjadi juara. Sambil kutuliskan “jangan lelah mengejar cita-citamu!”

Malamnya aku memberikan gambar itu untuk Doni, ia pun senang dan memuji gambarku. Aku bilang gambarnya lebih bagus. Ia pun tersenyum malu, kuambil kameraku dan kupotret Doni yang masih tersenyim malu dan setengah menghidar dari blitz kameraku. Dengan pujian tulusku, aku sama sekali tidak mengharapkan Doni memilih menjadi pelukis daripada pemain bola. Buatku itu adalah pilihan anak itu. Apapun pilihannya perlu kita dukung dengan semangat dan motivasi. Ini adalah bentuk apresiasi terhadap anak, aku belajar banyak dari pengalamanku. Ketika anak merasa diperhatikan dan bakatnya diakui, maka kepercayaan dirinya akan meningkat. Waktu kecil, aku bermimpi menjadi arsitek, aku ingin membuat kastil yang indah di bulan (mungkin waktu itu terlalu banyak nonton film Sailormoon-red). Aku sering menggambar istana di bulan, namun sejak aku dimarahi oleh guruku karena menggambar dan tidak ada yang mengapresiasi gambarku, aku mulai meninggalkan dunia menggambar.

Selama pelatihan Pengajar Muda, aku pun belajar untuk selalu membicarakan hal-hal positif dan optimis dengan anak-anak. Mimpi mereka perlu didukung selama itu positif. Aku percaya kelak, Doni akan menjadi pemain bola yang hebat atau bahkan pelukis yang sukses. Begitu pun anak-anak lainnya di talang ini. Ini merupakan awal bagiku, membantu mereka untuk terus berani bermimpi dan mewujudkan mimpi-mimpinya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua