info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

"Kemewahan" untuk Memilih

Trisa Melati 9 Juli 2012

Being able to make a choice is not a choice.

Seorang teman pernah mengatakan itu beberapa tahun yang lalu, dan hingga kini kata-katanya  masih menimbulkan kesan mendalam buatku. Bisa memilih itu bukan pilihan yang bisa diambil setiap orang, tapi lebih merupakan “kemewahan” yang hanya dimiliki oleh sebagian orang. Ternyata seiring perjalananku, aku sering merefleksikan maksud kata-kata ini.

Perkenalkan rumahku yang baru. Empat puluh menit jalan beraspal dari jalan kecamatan, ditambah 30 menit jalanan tanah yang dikawal kebun karet di kanan-kiri, dan tibalah kamu di Talang Airguci. Di sini, talang adalah istilah untuk satuan masyarakat yang lebih kecil dari desa, dan biasanya dipimpin oleh ketua RT. Kebetulan bapakku adalah pak RT di Airguci.

Seperti sebagian besar talang di sini, listrik dari PLN tidak mencapai tempat kami. Untungnya, kami masih bisa menikmati listrik lewat genset pada waktu tertentu. Pada siang hari, talang biasanya agak sepi karena sebagian besar penduduknya istirahat setelah nakok (menyadap karet) sepanjang pagi. Pukul 6 sore, tiba-tiba aktivitas agak hidup menyertai lampu yang menyala di beberapa titik, disusul suara bersahut-sahutan dari speaker satu ke yang lainnya.Itu tanda anugerah listrik sudah bisa kami nikmati untuk sekitar 5 jam ke depan. Tak lama, beberapa anak yang tinggal dekat rumahku masuk dan duduk manis di depan TV untuk menonton bersama adik-adikku. Kadang aku mendatangi dan menanyakan apa yang sedang mereka tonton, tapi akhirnya lebih banyak waktuku terpakai untuk mengerjakan pekerjaan di komputer. Toh, jawabannya akan sama saja setiap harinya. Iya, menu tontonan mereka tidak ada variasinya dari malam ke malam: animasi bisu Chaplin, lalu disambung dengan sinetron percintaan SMA dan sinetron bergaya fantasi yang sangat digemari anak-anak. Tiba-tiba ku tertegun: mungkin bukan digemari, tapi karena tidak ada pilihan acara lain untuk mereka nikmati. Aku terhenyak.

Sebelum aku tinggal di sini, aku tahu kita kekurangan acara TV yang mendidik. Aku tahu acara TV yang sesuai untuk anak-anak sangat sedikit. Setelah aku tinggal di sini dan memperhatikan adikku dan anak-anak didikku, aku mendapati bahwa kenyataan itu diperparah dengan keterbatasan akses pada listrik pada waktu tertentu sehingga acara yang “tersisa” untuk ditonton pada waktu yang dimaksud adalah yang tidak memberikan banyak didikan. Aku masih ingat dulu ada program bertajuk Anak Seribu Pulau, yang kala itu merupakan acara TV favoritku. Acaranya mengenai keberagaman budaya Indonesia, diceritakan dari sudut pandang anak-anak. Aku bersyukur saat aku SD ada program yang begitu edukatif untuk aku nikmati. Saat ini pun sebetulnya ada beberapa acara serupa. Sebut saja Si Bolang, Si Unyil, Koki Cilik, dan acara edukatif lainnya. Banyak, tapi justru jadwal tayangnya adalah siang atau sore, saat listrik belum bisa dijamah anak-anak Airguci. Andai saja ada stasiun TV yang khusus berisi program anak-anak yang bisa dinikmati setiap saat, atau setidaknya sebagian acara-acara edukatif tersebut mempunyai slot juga untuk ditayangkan pada sore hingga malam hari.

Pendapat ku ini mungkin bukan hanya atas nama Talang Airguci, tapi juga seluruh daerah di Indonesia ini yang belum terjamah listrik 24 jam sehingga untuk menonton TV mereka hanya mengandalkan tenaga genset yang baru dinyalakan ketika petang. Padahal malam, genre acara yang tersisa sangat terbatas. Sangat disayangkan jika anak-anak itu tidak diberikan kesempatan untuk memilih acara yang mereka tonton.

Ini kembali pada prolog di atas, bahwa kebisaan memilih bukanlah pilihan yang bisa diambil setiap orang, melainkan kemewahan yang hanya dimiliki sebagian orang. Mungkin peranan kita adalah membuka jalan agar “kemewahan untuk memilih” ini juga dirasakan oleh anak-anak kita yang jauh di pelosok sana. Kemewahan untuk memilih hiburan, kemewahan untuk memilih pendidikan, memilih profesi, dan memilih nasib.

Kita sebagai pembuka “jendela” yang lain bagi anak-anak kita.


Cerita Lainnya

Lihat Semua