Benar-Benar Dokter

Dedi Kusuma Wijaya 1 Juli 2012

Saya pernah menulis tentang bagaimana saya sering salah dikira sebagai dokter. Tulisan ini bukan kelanjutan dan bukan juga sodoran fakta yang mendukung bahwa saya bukan dokter gadungan, tapi suatu temuan sederhana saya yang jujur saja, sangat menyentuhku.

Sejak kecil saya memang tidak pernah bercita-cita jadi dokter, karena saya memang jarang bersentuhan dengan dunia dokter dan obat-obatan sewaktu kecil. Obat-obatan yang familiar denganku hanyalah obat cacingan dan minyak ikan, karena saya tidak kunjung berisi sewaktu kecil dulu. Barulah di jaman kuliah saya mulai pelan-pelan membiasakan diri minum obat saat sedang tidak enak badan. Tapi tetap saja, saya bukan orang yang dapat diandalkan untuk merawat orang sakit. Saya tidak tahu tips dan trik dalam kesehatan, seperti bagaimana menangani orang yang sedang demam, sakit kepala, dan sejenisnya. Jangan harap pula saya akan telaten merawat orang yang sedang sakit. Intinya, saya betul-betul tidak mempunyai bakat sebagai dokter, bahkan dokter gadungan.

Dan semua itu berjalan sampai saya tinggal id Wadankou. Di desa ini memang sudah sekian lama tidak pernah ada dokter atau perawat yang tinggal, sehingga masyarakat belum terlalu akrab dengan pengobatan. Mereka hanya tahu obat paracetamol dan koroquin, yang digunakan untuk segala macam jenis penyakit. Dari  anak kecil sampai orang dewasa pun dosisnya sama, setiap demam cukup menenggak sebutir paracetamol dan koloroquin. Kalau sakitnya berkelanjutan, pilihannya antara memperbanyak jumlah obat yang ditenggak atau cukup mengasumsikan bahwa sakit ini akibat ‘ada orang yang bikin’, alias diguna-guna. Di kalangan masyarakat desa yang cukup dipercaya sebagai ‘dokter modern’ (karena kalau tabib-tabib lokal yang menggunakan bermacam-macam daun dan akar cukup banyak di desa) adalah almarhum bapak kades, yang adalah bapak piaraku. Ia terkenal karena biasa menyuntik orang-orang. Sebenarnya ini cukup menyeramkan sih, karena kadangkala bapak kades juga pukul rata saja, anak kecil maupun orang besar disuntik dengan dosis yang sama. Kalau ada yang luka, bapak kades juga sering mengobati dengan menggunakan minyak tanah. Hasilnya, setiap ada yang lukanya agak parah sedikit harus tinggal di rumah selama sebulan menunggu lukanya kering.

Kembali ke cerita tentang keberadaanku. Sewaktu di pelatihan pra-keberangkatan dulu, diceritakan kisah seorang Pengajar Muda yang diminta menjahit luka salah seorang warga desanya. Saya tidak pernah mengalami kasus yang seperti itu, dan kalaupun kasusnya ada mungkin saya juga akan gelagapan karena tidak punya kompetensi dalam menjahit luka. ‘Debut’ saya dalam mengobati anak-anak sederhana saja, yaitu saat saya tiba-tiba menyadari bahwa beberapa anak kakinya selalu ‘dihias’ dengan luka yang tidak kunjung kering dalam waktu lama. Barulah setelah saya menelisik lebih seksama saya menemukan banyak anak yang mengalami bisul dan luka tergores yang dibiarkan begitu saja. Akhirnya saat ada salah seorang anak yang kakinya luka, saya memanggilnya ke rumahku, dan memberikan pengobatan standar, dibersihkan dengan alkohol, diberikan betadine, dan ditutup dengan perban. Disaksikan banyak anak yang masih terpukau dengan barang-barang baru itu, saya menjelaskan bahwa luka harus diberikan alkohol agar tidak infeksi, dan ditutup agar cepat kering.

Keesokan harinya, dan hari-hari sesudahnya, semakin banyak anak-anak yang datang saat kakinya terluka. Sebagian besar terluka karena terinjak barang-barang tajam akibat tidak pernah memakai alas kaki. Anak-anak mulai menceritakan satu sama lain tentang pedihnya dibasuh dengan alkohol, sebagian saling memamerkan perban mereka. Saya bersyukur, semakin hari semakin banyak yang datang saat mengalami luka. Ningsih, anak kelas V, membawa adiknya yang maih bayi dan terjatuh saat mencoba berdiri. Galang, anak berusia 5 tahun, entah diberitahu siapa datang dengan inisiatif sendiri melaporkan kakinya yang terluka. Helmi yang cidera saat bermain bola datang dengan kesakitan, Muba yang jagoan kelas telapak kakinya tergores beling dan berteriak kesakitan saat dibersihkan lukanya, dan masih banyak lagi. Bahkan ada orang tua yang datang menggendong anaknya yang terluka ke rumahku. Sebenarnya beberapa bulan terakhir ada seorang dokter gigi, istri Penjabat Sementara Kepala Desa Wadankou, yang bertugas di desa. Hanya anak-anak lebih sering pergi ke tempatku saat ada urusan luka-meluka.

Proses mengobati luka ini tidak kusangka mendatangkan ‘demam’ tersendiri. Beberapa kali saat mereka mendapat luka yang sangat kecil sekalipun langsung lari kepadaku untuk minta diobati. Jadinya aneh saja, luka dengan diameter setengah cm tetap diobati dengan alkohol dan obat merah. Belum lagi tampilan mereka yang penuh dengan perban sana sini. Malah ada yang cukup menempelkan plester obat tanpa ada luka di jidatnya sebagai perbuatan keren-kerenan. Untunglah belakangan saya terbantu dengan adanya Nindy. Nindy, muridku yang paling cemerlang, sangat bersemangat saat kuceritakan tentang profesi dokter. Ia pun bercita-cita menjadi dokter, dan kemudian menjadi sangat giat belajar biologi. Nindy juga sangat serius mempelajari proses pengobatan yang biasa kulakukan. Satu hari dia meminta untuk mencoba menangani luka salah seorang anak. Alasannya karena ‘saya kan dokter’, pernyataan yang membuatku sangat bangga. Dan begitulah yang terjadi, sekarang setiap kali ada anak yang terluka, saya tinggal meminta Nindy yang mengobati, kalaupun ada yang sakit demam dan sejenisnya, saya tinggal menyebutkan jenis obatnya lalu Nindy yang mengambil dan memberikan pada si sakit. Yang menarik, belakangan Nindy juga sering dibantu oleh teman yang lainnya. Aletha dan Tuni selalu menjadi asisten Nindy, mengguntingkan plester obat dan kasa. Mereka dengan gembira melaporkan kepadaku bahwa mereka menjadi perawat, membantu dokter Nindy.

Selama menjalani ‘karir’ sebagai dokter ini, saya berusaha menangani semua anak yang datang. Untuk itu saat bertemu dokter saya selalu berkonsultasi tentang bagaimana mengobati penyakit tertentu. Saya pernah mengobati Hanok yang hidungnya berdarah karena terkena bola saat sedang bermain sepakbola dengan teman-temannya. Yang juga sering adalah yang sakit bisulan, biasanya mereka saya minta datang tiap hari untuk diolesi salep. Selain itu saya juga memberi obat untuk yang sakit gigi, mengolesi Albothyl untuk yang sariawan, dan membuatkan oralit untuk yang diare. Satu hari Engge sedang sakit demam, saya memberikan cardiganku kepadanya dan meminumkan tolak angin. Dia yang tidak pernah melihat obat ajaib ini awalnya mau muntah saat meminumnya, namun setelah itu takjub dengan mujarabnya obat ini (ini bukan iklan lho,hehe).

Satu hari, di desa saya terjadi kehebohan karena datangnya dua dokter dari Cina beserta penerjemahnya. Mereka mengklaim diri diutus sebuah Rumah Sakit besar di Jakarta untuk melakukan pengobatan ke desa-desa. Masyarakat ramai menyemut di rumahku yang menjadi lokasi praktek, mengantri untuk diobati. Kejanggalan mulai muncul ketika saya mendengar kabar bahwa masyarakat yang memeriksa semuanya didiagnosa menderita penyakit-penyakit berbahaya dan diminta membeli obat cina yang harganya sangat mahal, berkisar dari 600.000 – 1,5 juta. Saya yang sedang makan siang langsung marah, karena menyadari bahwa masyarakatku telah menjadi korban penipuan. Bagaimana tidak, masyarakat yang mestinya jauh dari polusi dan segala macam bahan-bahan kimia lainnya dinyatakan menderita penyakit-penyakit ‘kota’, seperti penggumpalan darah, infeksi rahim, penipisan lambung, kerusakan ginjal, dan berbagai penyakit menyeramkan lainnya. Diagnosanya pun sangat cepat sekali, cukup dengan merasakan denyut nadi pasien saja lalu si dokter berbicara dalam bahasa mandarin kepada penerjemahnya, si penerjemah akan memberitahukan penyakit berbahaya apa yang diderita oleh si pasien dan diteruskan dengan harga obatnya. Saya baru pertama kali melihat proses pengobatan yang secepat ini. Dalam waktu tidak lama di atas meja sudah terletak banyak uang merah seratus ribuan yang berpindah dari masyarakat ke kantong di dokter-dokteran ini.

Akhirnya di depan tatapan mata masyarakat yang berkumpul di ruang tamu rumahku saya berdebat dengan dokter Cina itu. Saya menyatakan ketidaksetujuanku pada prakteknya yang membodohi masyarakat dan tidak sesuai dengan aturan yang ada. Ia tidak dapat menunjukkan satu suratpun dari instansi terkait, dan malah banyak ngecap tentang keunggulan para dokter dari Cina. Mereka menunjukkan selembar surat jalan dari sebuah Rumah Sakit terkemuka di Tangerang yang sekali lirik pun sudah bisa diidentifikasi kepalsuannya, mengingat banyak kesalahan ketik dan redaksional yang aneh. Singkat cerita, saya berdebat hangat dan dengan tegas menyatakan penolakanku secara pribadi kepada dokter itu. Karena kadung jengkel, saya sekalian saja meminta dia mendiagnosaku. Setelah merasakan denyut nadiku, hasilnya langsung keluar: “Ouw, Pak Dedi sehat sekali!” Saya adalah satu-satunya yang sehat dari deretan orang kampung yang semuanya menderita penyakit-penyakit menyeramkan.

Selesai perdebatan denganku itu si dokter Cina ini langsung pamit pulang dengan kapal motor yang dia carter, padahal ia baru saja tiba di desa kurang dari dua jam. Keesokan harinya saya yang memang kebetulan mau ke Saumlaki juga berangkat ke Larat lalu ke Saumlaki dan langsung melaporkan dokter ini ke kepolisian. Setelah kukonfirmasi ke Rumah Sakit yang dicatut namanya ini, pihak rumah sakit menepis adanya dokter yang dimaksud, sehingga sudah positif bahwa ini adalah praktek penipuan. Memang sampai sekarang belum ada kabar lanjutan dari kepolisian, tapi saya bersyukur bisa menghindarkan masyarakat dari praktek dokter-dokteran yang merugikan ini. Menurut kabar, di Desa Tutunametal dan Nurkat, dua desa yang bertetanggaan dengan desaku, total kerugian masyarakat sampai lebih dari sekitar 40 juta rupiah.

Beberapa minggu setelah kejadian dokter Cina itu, saya sedang duduk di ruang tamu rumahku, bercengkerama dengan beberapa anak. Kami membicarakan lagi kejadian dokter Cina ini, saya menjelaskan kepada anak-anak bahwa memang tidak semua orang dari luar datang bermaksud baik, kadang-kadang ada juga orang yang karena alasan tertentu mempunyai tujuan tidak baik. Saya masih ingat dengan sangat jelas, Tuni, anak kelas 5 yang adalah tetanggaku melihatku sambil tertawa kecil dan berkata dengan suara pelan: “memang dokter betulan itu kayak Pak Dedi, banyak obati orang”. Saya hanya tersenyum, saya bersyukur apa yang saya lakukan ternyata diapresiasi.

Saya menyadari, secara teknis pengetahuan dan kecakapan medis saya jauh dari memadai. Tapi saya juga menyadari, bahwa untuk semua hal, termasuk dalam mengobati, hati yang tulus dan penuhlah yang menjadi sumber penyembuhan. Suatu kali Kabaa, anak kelas 3, tiba-tiba menangis kesakitan di dalam kelas. Rupanya dia sakit maag, sehari sebelumnya dia juga mengalami serangan maag yang serupa dan langsung dibawa pulang ke rumah. Sampai ke rumah bukannya dirawat oleh ibunya, ia malah dipukul karena dianggap cengeng. Mengetahui hal itu dari anak-anak, saya tidak membawanya pulang, apalagi hari sedang hujan. Saya menggendongnya ke ruang guru dan menidurkannya di bangku panjang di situ. Saya memberi air dari botol minumku untuk dia, dan setelah itu di tengah hujan deras bergegas ke rumah. Di rumah saya membuatkan susu hangat dan mengambil obat dan biskuit. Dengan berbasah-basah pula saya kembali ke sekolah dan memberi makanan itu kepada Kabaa. Setelah memberinya makanan, obat, saya menemaninya sambil mengelus-ngelus rambutnya untuk menenangkannya. Dua jam kemudian, ia sudah pulih, dan bergabung denganku yang sedang mengajar anak-anak untuk persiapan perlombaan Hardiknas di kelas.

Beberapa waktu lalu, Demianus datang ke rumahku meminta obat batuk. Saya memberikannya obat dan ia berkata kepadaku: “Pak Dedi sudah rawat banyak sekali orang di sini”. Dan sekali lagi, saya bersyukur. Mengajar, mengobati, dan apa pun pekerjaannya, akan membahagiakan kalau dilakukan dengan meletakkan cinta di dalamnya.

Saumlaki, 20 Mei 2012 


Cerita Lainnya

Lihat Semua