Trombol

Adhi Rachman Prana 6 Juli 2012

Siapa yang tidak kenal dengan permainan billyard? Jenis permainan yang sering kita jumpai di kota-kota besar ini memang menjadi sarana pengusir stress bagi sebagian orang. Menyodok bola dengan tongkat supaya masuk ke dalam salah satu dari enam lubang yang ada di pinggiran arena billyard memang mengasyikkan. Selain kecerdasan kinestetik, perlu perhitungan dan ketelitian yang mumpuni untuk dapat memasukan bola-bola tersebut.

Jika billyard biasanya ada di pusat-pusat hiburan di kota-kota besar, kawula muda di kota kecil pun dimanjakan dengan permainan bernama karambol. Jika billyard membutuhkan tongkat untuk menyodok dan mengarahkan bola ke dalam lubang, karambol cukup menggunakan jari saja untuk mengarahkan kepingan plastik pipih bernomor itu ke dalam 4 lubang di sudut papan karambol. Saya jadi teringat permainan karambol yang sering dimainkan ketika masih kuliah, di depan kantor Badan Otonom Economica (BOE) FEUI, biasanya para mahasiswa memainkan permainan yang membutuhkan bedak untuk pelicin papan alas tersebut sembari menunggu kelas berikutnya. Permainan yang simpel dan menghilangkan stress juga membuka ruang berinteraksi bagi para pemainnya. Biasanya kami bermain sambil mengobrol ngalor-ngidul, mulai dari politik hingga curhat masalah kuliah maupun nilai.

Billyard dan karambol tentu saja tak asing bagi saya, namun permainan yang baru saya temukan di Talang Airguci, Desa Sugihan, Kabupaten Muara Enim inilah yang membuat saya takjub. Namanya trombol, permainan ini hampir setiap malam dimainkan oleh para bujang di Talang airguci. Sepintas, permainan ini mirip sekali dengan Billyard, namun yang disodok disini bukan bola bulat berwarna melainkan potongan kayu berbentuk bulat pipih dengan diameter sekitar 4 cm dan tebal sekitar 2 cm. Diatas potongan kayu tersebut diwarnai dengan spidol permanen biru dan merah, tak lupa dibubuhi angka-angka layaknya yang terdapat pada bola bilyard maupun karambol. Anda tentu saja tidak dapat menemukan baik potongan kayu bulat dan alas permainan trombol ini di toko-toko olahraga karena semuanya mereka buat sendiri. Saya bertanya asal mula permainan ini, namun bujang-bujang talang tersebut tidak mengetahui dengan pasti karena permainan ini sudah cukup lama menjadi primadona di kalangan pemuda-pemuda talang. Uniknya permainan ini, lubang hanya ada di keempat sudut papan seperti pada permainan karambol, namun cara menggerakan kayu bulat itu menggunakan tongkat seperti pada permainan billyard.

Saya terkesima melihat permainan trombol, kreatifitas para pemuda di pelosok Sumatera Selatan ini sangat luar biasa. Mulai dari papan permainan, tongkat dan biji bola semuanya dibuat sendiri. Aturan main pun kadang berubah sesuai keinginan dari para pemainnya. Karena bola yang dimainkan berbentuk pipih, cukup sulit bagi saya ketika mencoba menyodok dan memasukkannya ke dalam lubang. Disinilah fungsi dari bedak bayi yang terlihat di pojokan meja, papan yang terbuat dari triplek dan biji bola dari kayu menghasilkan gaya gesek yang cukup besar sehingga sedikit sulit meluncur walaupun sudah ditambah gaya dorong dari tongkat sodok. Sembari bermain saya pun mengobrol dengan mereka yang berbicara menggunakan bahasa melayu. Bukan melayu asli memang, karena sudah bercampur dengan bahasa daerahnya sendiri dan serapan berbagai bahasa dari Jawa, Sunda dan Palembang. Melalui permainan trombol ini, para pemuda biasanya berkumpul dan mengobrol sampai larut malam, bahkan biasanya mereka baru bubar ketika genset sudah mati, yaitu sekitar pukul 23.00.

Saya senang bukan main melihat permainan trombol ini ada di desa. Disaat para pemuda ini membutuhkan sarana hiburan pelepas stress, dengan keterbatasan yang ada mereka mampu mengkreasikan permainan sendiri. Mungkin awalnya, bilyard dan karambol-lah yang menginspirasi sang inventor membuat permainan ini, namun melihat peralatan billyard sulit didapatkan, dengan bahan-bahan yang ada mereka berhasil menciptakan permainan sendiri yang tak kalah mengasyikkan. Disini saya belajar bahwa inovasi dan kreatifitas bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tidak terbatas pada zona nyaman yang penuh fasilitas dan sarana. Yang terpenting, ada usaha dan kemauan untuk berpikir dan memberdayakan hal-hal yang ada di sekitar kita.


Cerita Lainnya

Lihat Semua