Analogi Hutan Karet

Adhi Rachman Prana 6 Juli 2012

Perjalanan pertama menuju desa Pagar Agung Talang Tebat Rawas Kec. Rambang Kab.Muara Enim Sumatera Selatan terasa begitu panjang. Jalur jalan tanah merah diselingi kubangan air di tengahnya mewarnai perjalanan kami. Sisi kiri dan kanan selalu ditumbuhi oleh pohon karet yang berderet rapi. Ya, rumah baru saya ada di tengah-tengah hutan karet. Akhirnya saya akan memulai tugas sebagai pengajar muda. Kilasan adegan-adegan muncul tiba-tiba, ketika kami masih berada di Purwakarta, menjalani pelatihan intensif. Berbicara dengan teman-teman mengenai daerah penempatan, tentu masing-masing mempunyai preferensi yang berbeda. Saya ingat betapa saya dulu ingin sekali ditempatkan di daerah pantai, begitu pun kebanyakan teman-teman sesama pengajar muda. Saya bersyukur akirnya saya ditempatkan di hutan karet, hal yang baru bagi saya. Membuat saya berhasil menemukan refleksi saya tentang kata-kata klise yang sering diucapkan “Don’t jugde a book by its cover”, sering sekali diucapkan namun baru saya pahami artinya ketika saya sampai disini.

Teringat masa-masa kuliah dulu saat saya baru mengenal istilah consumers preference (preferensi konsumen), bahwa manusia bisa memilih berdasarkan opsi-opsi yang ada. Pilihan setiap orang akan dipengaruhi oleh preferensi. Setiap orang mempunyai penilaian dan preferensi yang berbeda untuk setiap hal. Namun, ada banyak hal pula yang biasanya menjadi opini publik dimana sebagian besar orang memiliki pandangan yang sama untuk suatu hal.

Pantai dan gunung misalnya, banyak orang yang memiliki preferensi lebih besar terhadap pantai dibandingkan gunung atau mungkin pula sebaliknya. Namun, jika saya mengubah variabel gunung menjadi hutan karet, hampir bisa dipastikan bahwa semua orang akan memilih pantai. Benar, termasuk saya. Pantai mempunyai keunggulan dalam hal ‘riasan’. Panorama khas lautan yang biasanya bisa dinikmati setiap pengunjung dari bibir pantai menjadi sarana refreshing pelepas lelah. Berbeda dengan deretan pohon karet yang berjajar rapat di kanan kiri jalan tanah liat menuju desa saya, tidak ada hal yang istimewa atau bisa dinikmati dari panorama ini. Itu apabila lagi-lagi apabila kita berbicara mengenai riasan. Hutan karet yang bagi sebagian orang tidak menarik dilihat dari sisi pemandangan, mempunyai utilitas yang tinggi bagi masyarakat di desa tersebut.

Pantai mempunyai nilai ekonomis ketika bisa dijadikan suatu objek wisata, pantai menawarkan keindahan yang bisa dinikmati setiap orang, namun pantai bukan lah produk, yang bisa dikemas dan dijual ditempat lain. Berbeda dengan pohon karet, puluhan ribu masyarakat bergantung padanya. Setiap hari, petani karet di kampungku pergi untuk menyadap getah karet. Selain itu, batang yang sudah tidak produktif bisa dipotong dan dijual kembali. Pohon-pohon tua bisa dengan cepat digantikan oleh batang-batang baru yang ditanam kembali. Akar pohon karet juga berfungsi sebagai resapan air tanah. Pohon-pohon karet tersebut juga sumber oksigen bagi masyarakat dan karena kerindangannya bisa menahan panas matahari langsung di dataran rendah Muara Enim ini.

Saya melihat masih banyak orang yang terpengaruh oleh packaging, citra (image), ‘riasan’ dan juga penampilan dalam menilai sesuatu, tanpa melihat isi atau kebermanfaatannya, termasuk saya sendiri. Sama seperti politisi yang selalu menampilkan citra, sehingga pencitraan menjadi hal yang wajib dilakukan oleh para calon anggota dewan tersebut. Paradigma seperti inilah yang secara perlahan perlu diubah, supaya masyarakat Indonesia tercerdaskan, dan lebih melihat isi daripada kemasan.

Pendidikan di pelosok, layaknya hutan karet sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Tidak cantiknya pemandangan sekolah seringkali dikonklusikan sebagai buruknya prestasi sekolah dan kualitas pembelajaran di sekolah itu. Kondisi fisik; fasilitas, sarana dan prasarana sering dianggap faktor penghambat kemajuan pendidikan. Sementara sekolah di kota-kota besar yang memiliki fasilitas lengkap dianggap akan menghasilkan lulusan-lulusan sukses bahkan tanpa melihat bagaimana proses belajar mengajar di kelas berlangsung. Banyak orang pesimistis akan sekolah-sekolah rusak di pelosok. Tidak ada optimisme bahwa sekolah-sekolah di pelosok akan melahirkan sosok-sosok pemimpin sukses di masa depan. Andrea Hirata, satu dari segelintir orang yang telah berhasil mengubah pemikiran banyak orang akan hal ini, ia yang datang dari pelosok Belitong berhasil mendapatkan beasiswa  kuliah di luar negeri dan  menjadi penulis best seller. Dengan menuliskan novel yang diambil dari kisah hidupnya yang mengangkat wajah pendidikan di pelosok, optimisme akan kemajuan pendidikan di daerah mulai muncul. Disini, saya mempunyai tanggung jawab untuk membuktikan kepada publik  sekaligus  menebar optimisme, bahwa keterbatasan ekonomi, fasilitas dan sarana prasarana penunjang pendidikan tidak menjadi penghalang bagi keberlangsungan pembelajaran berkualitas di sekolah.

Itulah tantangan terbesar saya sebagai pengajar muda di daerah hutan karet,  Talang Tebatrawas Desa Pagaragung Kab.Muara Enim. Bagaimana memaksimalkan potensi sekolah di pelosok melalui sumber daya manusianya, siswa, guru, kepala sekolah, komite, dinas pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya. Bukan, bukan dengan menonjolkan kualitas kemasan, melainkan dengan menonjolkan kualitas isinya. Untuk menutup tulisan ini, saya teringat kata-kata seorang dosen “ Untuk membangun Indonesia, bangunlah manusianya terlebih dahulu, pembangunan fisik hanya penunjang, ketika kualitas manusianya sudah terbangun, pembangunan fisik pasti akan mengikuti.”


Cerita Lainnya

Lihat Semua