Nyala Merah Putih dalam Darah Anak-anak SDK Nyama

Zavira Ika Rahmania 4 Juni 2018

Hari Sabtu, 26 Mei 2018 lalu, kami berdelapan diajak Kak Paul jalan-jalan (lagi). Bukan ke Pantai Nyama yang berpasir putih bersih, indah, dan terasa begitu menenangkan seperti jalan-jalan sore satu minggu sebelumnya. Sore itu, kami diajak ikut mengajar anak-anak bersama Kakak-kakak penggerak lainnya, sebut saja Kak Chossy, Kak Vonda, Kak Neny, Afif, Luki, dan Akbar di SD Kristen Nyama, Desa Klis, sebuah desa yang kami lewati juga saat menuju Pantai Nyama. Desa tersebut kami tempuh sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan mobil dan pick up dari Ibukota Kabupaten Maluku Barat Daya, Tiakur. Sebuah desa kecil yang sangat sederhana dengan mayoritas rumah kayu beratap daun tertentu yang aku lupa namanya. Hanya pagar beton yang membatasi desa tersebut dengan bibir lautan Samudera Hindia yang menghadap ke benua Australia.   

Well, kali ini bukan tentang kegiatan belajar mengajar  seru yang kami lakukan bersama-sama yang ingin aku ceritakan. Bukan tentang kondisi fisik anak-anak yang memang terlihat begitu miris, dengan rambut merah, badan kurus, dan pakaian lusuh khas anak-anak pesisir. Bukan tentang senyum, tawa, dan tingkah lucu mereka selama menari Si Pong Pong, Pocky Pocky, Baby Shark, serta ice breaking dan energizer lainnya. Bukan tentang bagaimana anak-anak melafalkan suku kata ‘se’ pada tepuk semangat dengan logat khas Indonesia Timur yang begitu kental. Bukan pula tentang wajah malu-malu  dan langkah-langkah kaki mereka yang berlarian menjauh saat hendak berkenalan dengan kami sebagai orang-orang baru yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Meskipun hal-hal itu juga membawa kesan unik tersendiri bagiku.  

Tetapi, ada sesuatu yang membuatku terharu. Membuatku belajar mencintai Indonesia dalam kondisi seadanya, bukan kondisi terbatas. Belajar bertanggung jawab atas kesepakatan bersama dengan penuh kedisiplinan. Dan itu semua hadir dalam darah anak-anak SD Kristen Nyama. Tepatnya, saat empat gabungan anak kelas 4, 5, dan 6 melakukan secara mandiri proses penurunan bendera merah putih di halaman sekolah pukul 18.00 WIT. Karena kami sedang melangsungkan kegiatan belajar dan bermain bersama di tempat yang sama, jujur seketika aku begitu tertarik berada dalam prosesi sederhana yang berlangsung khidmat tersebut.  

Bukan bendera merah putih yang bagus dan utuh yang mereka kibarkan sejak pagi hingga menjelang petang yang membuatku terharu. Jika kalian berada di sana, mungkin kalian akan merasakan desir yang sama sepertiku. Kalian akan melihat jelas bendera berwarna merah kejinggaan di bagian atas dan putih lusuh di bagian bawah. Kalian juga akan melihat bendera berukuran hampir persegi (bukan persegi panjang seperti pada umumnya) yang satu sisinya dipenuhi benang-benang yang sudah keluar-keluar seperti jilbab rawis karena memang hanya bendera sobek berukuran setengah yang mereka gunakan. Tidak hanya itu. Tepat saat tiga anak petugas penurunan bendera siap menurunkan sang saka merah putih hingga satu anak yang menjadi pemimpin langsung memberi aba-aba penghormatan terhadapnya, serentak semua anak di lapangan menghadap ke arah tiang bendera dan menunjukkan sikap hormat terbaik mereka. Lengang, tanpa suara, tanpa gerakan yang bisa mengganggu prosesi tersebut. Hingga halaman sekolah kembali riuh oleh suara dan gerakan aktif anak-anak setelah pemimpin memberi aba-aba ‘tegak grak!’.  

Dari perbincanganku dengan salah satu guru di sana, ternyata anak-anak SD Kristen Nyama sudah terbiasa menaikkan bendera setiap pagi hari sebelum waktu masuk sekolah dan menurunkan bendera setiap jam 6 sore.  Mereka melakukannya secara mandiri, bergantian antara satu anak dengan yang lain sesuai urutan alfabet pada absen kelas masing-masing. Sudah tidak ada yang namanya paksaan dari guru dalam menjalaninya. Anak-anak memahami tugasnya, merasa bertanggung jawab atas itu, dan mampu melakukannya dengan disiplin penuh. Jika tidak, tidak akan ada bendera Indonesia yang berkibar lebih tinggi dari atap gedung sekolah setiap harinya. Bahkan bisa jadi, tidak akan ada rasa memiliki dan mencintai Indonesia karena pengaruh bendera negara-negara lain yang dikibarkan di depan rumah-rumah sebagai dukungan untuk negara-negara yang sedang mengikuti ajang Piala Dunia 2018.  

Aku merasa dirikulah yang banyak belajar dari mereka. Aku merasa belum ada apa-apanya dari anak-anak SD Kristen Nyama dalam memiliki dan mencintai Indonesia. Jika bukan karena beberapa sesi apel dan upacara bendera selama Pelatihan Pengajar Muda XVI lalu, sepertinya aku tidak akan menghormati bendera merah putih secara langsung. Ya, karena terakhir kali mengikuti upacara bendera saat di bangku SMA, bahkan secara sadar tidak bersedia hadir di upacara bendera saat kuliah. Sedangkan dengan kondisi seadanya, mereka membuktikan bahwa mereka rela dan suka cita menghormati salah satu identitas Indonesia yang diperjuangkan penuh tumpah darah. Ya, nyala merah putih benar-benar mengalir dalam darah mereka.    

Tiakur, 3 Juni 2018 ZIR


Cerita Lainnya

Lihat Semua