Semangat yang Tak Mudah Padam

Mohammad Nur Udin 6 Juni 2018
Tempo hari, Kak Yanto memberi sudut pandang baru. Tentang apa yang ia ceritakan dengan panjang dan lebar. Di lingkaran yang sama, jika Kak Yanto adalah seorang PNS di Dinas Lingkungan Hidup, aku mengenal seorang anggota polisi di Polres Maluku Barat Daya. Panggilannya Kak Paul. Mereka berdua sama-sama orang yang tergerak hatinya untuk pendidikan. Namun, berdeba cara yang dilakukan. Kak Paul melakukannya dengan mengajar anak-anak SD di SD yang berada di luar Kota Tiakur. Salah satunya adalah SD Kristen Nyama. SD yang dikunjungi Kak Paul sebenarnya masih dalam satu Pulau Moa. Tetapi, akses perjalanan menuju desa dan SD-nya memakan waktu yang tidak sebentar. Rata-rata hampir satu setengah jam. Akses yang lama ini karena memang jaraknya yang jauh, kondisi jalan yang belum baik berupa pasir batu. Saat musim kemarau jalan ini berdebu, saat musim hujan jalan ini becek dan sulit untuk dilalui. Sepanjang jalan yang dilewati, kanan dan kirinya adalah tanah lapang yang luas. Berisi beberapa pohon, semak belukar dan rumput yang hijau. Benar-benar sepi dan tanpa adanya penerangan jalan sama sekali saat malam. Adanya tekat kuat untuk mencapai pendidikan yang setara di seluruh pelosok Maluku Barat Daya menjadi energi yang tak ada habisnya. Seakan-akan ia tak memiliki rasa lelah, tak pernah terpikir untuk menyerah. Kak Paul percaya bahwa yang bisa mengajar anak-anak tak hanya guru sekolah, siapapun bisa. Mengajar tak harus di jam sekolah, jam kapanpun bisa. Bukan hanya belajar materi sekolah, materi apapun bisa. Boleh jadi, kita sudah terkotak-kotak yang bisa mengajar adalah guru, mengajar harus di jam sekolah dan belajar adalah materi sekolah. Kak Paul tidak demikian. Menurutnya mengajar tanggung jawab bersama, dan masing-masing pribadi bisa memberikan apa yang dimilikinya. Karena itu adalah proses belajar juga. Aku dan 7 temanku diajak bersama-sama. Kak Paul mengajak teman-temannya juga. Ada Kak Vonda, Lucky, Afif, Eva, dan Kak Chossy. Kita berangkat dengan 2 mobil. Satu mobil biasa, satu pick up dengan bak terbuka. Karena saat itu adalah bulan puasa, kami sudah mempersiapkan masakan untuk berbuka puasa disana. Meskipun barang-barang yang dibawa terkesan ribet. Berangkat saat itu jam 3 sore. Karena perjalanan 1,5 jam, sampai di sekolah sekitar jam setengah 5 sore. Saat sampai di lokasi, teriakan dari anak-anak untuk memanggil Kak Paul terdengar dari berbagai sudut. Mereka memanggil seperti melihat seorang artis. Kami paham, kehadiran Kak Paul di sini memiliki pengaruh besar, sehingga banyak orang mengenalnya. Tak butuh waktu lama untuk Kak Paul mengumpulkan anak-anak ini menuju SD. Saat anak-anak mulai datang, SD seketika menjadi ramai. Mereka datang dengan malu-malu dan terlihat ekspresi penasaran mereka. Karena ini pertama kali kami berjumpa dengan anak-anak SD Kristen Nyama. Ada banyak anak yang datang, sekitar 40-an anak. Karena tak sempat menghitung satu persatu. Dari postur tubuh, anak-anak ini terlihat masih kecil. Yang datang pun juga beragam, bahkan ada yang masih belum sekolah. Anak-anak ini hampir semua memakai baju yang sudah lusuh, wajahnya lucu, masih cemong karena belum mandi, dan beberapa ingusnya meler keluar dari lubang hidungnya. Tapi mereka tetap lucu menggemaskan. Saat diajak berkenalan, mereka sangat malu dan takut menjawab. Suaranya pelan. Bahkan, aku harus mendekatkan telingaku ke arah mulutnya untuk mendengarkan suaranya. Tatapan mata mereka tak pernah lepas memandangi kami ber-8. Melihat setiap lekuk tubuh, setiap ekspresi tawa kami, setiap gerak-gerik bibir dan tubuh kami. Refleknya, mereka menggerakkan tubuhnya sesuai yang kami contohkan satu persatu di depan mereka. Sore itu memang tak ada materi-materi pelajaran atau belajar di dalam ruangan. Kami beraktivitas gerak tubuh di luar ruangan. Dari ice breaking, energizer, sampai goyang-goyang menggunakan lagu. Anak-anak ini terlihat antusisas, tapi mereka bingung bagaimana mengikutinya. Beberapa anak bisa mengikuti dengan baik, beberapa setengah-setengah, beberapa hanya terlihat bengong memperhatikan kami. Kami menemukan tantangan dalam hal komunikasi untuk menyampaikan kepada mereka. Karena ada beberapa kata dan dialeg yang tak kami pahami. Contohnya, "maju ke depan" mereka tak paham, yang mereka pahami adalah "ke muka". Belum lagi kosa kata yang lainnya. Anak-anak kemudian diminta untuk pulang terlebih dahulu, dan nanti jam 7 diminta datang. Karena akan menonton film bersama. Sedangkan kami berbuka puasa dan makan bersama teman-teman yang ikut. Setelah makan kami melanjutkan sholat berjamaah. Karena di sini semua warga beragama Kristen, kami sholat di ruang kelas. Betapa kagetnya kami saat kami sholat sampai selesai ada banyak anak-anak yang berdiri di muka pintu. Mereka memandang ke arah kami yang sedang sholat dengan detail. Memperhatikan semua gerakan sholat kami. Boleh jadi, sholat adalah ibadah yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Wajar jika mereka penasaran. Bahkan, saat kami meminta air untuk wudhu pun ada beberapa warga yang tak paham apa itu wudhu. Tapi, warga baik-baik semuanya. Meskipun tak paham, mereka mempersilahkan airnya digunakan untuk wudhu kami. Malam mulai datang. Matahari sudah dari tadi menghilang. Suara debur ombak pantai yang berada persis di belakang sekolah begitu jelas terdengar. Angin yang berhembus membawa kesegaran dan memberikan rasa dingin di kulit. Sementara di atas, bintang gemintang menampakkan dirinya satu persatu. Menghiasi langit Nyama dengan dekorasi semesta. Di desa ini listrik sudah masuk. Tapi masih saja sunyi saat malam. Tak ada polusi cahaya saat malam, sehingga semua benda langit nampak indah dan jelas. Bahkan bulan di langit Maluku Barat Daya terlihat lebih besar dan dekat yang belum pernah ku temukan sebelumnya. Beberapa anak sudah kembali sebelum jam 7 malam. Beberapa setelah jam 7 malam. Menonton film dimulai dari jam setengah 8 malam. Saat itu yang ditonton adalah film How To Train Your Dragon. Anak-anak tak paham arti atau alur cerita, tapi suka dengan animasinya. Film inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi mereka. Saat menonton sesekali mereka tertawa, karena ada bagian film yang lucu. Sesekali mereka tegang, mengikuti suasana yang ada pada konflik di filmnya. Ada juga yang mulai mengantuk. Dan berbagai macam ekspresi anak-anak. Sedangkan film sendiri selesai pada jam 9 malam. Setelah itu, anak-anak langsung membubarkan diri menuju rumah masing-masing. Di satu sisi, aku melihat keterbatasan. Sulitnya akses dalam berbagai aspek kehidupan. Atau ruang lingkup yang terbatas genangan samudera di sekelilingnya. Tapi, di sisi lainnya ada optimisme dari orang-orang lokal yang peduli. Ia memilih menyalakan pelita. Saat purnama datang atau saat tak ada purnama sama sekali. Orang-orang inilah yang terus percaya bahwa semua anak memiliki hak yang sama dalam pendidikan, hak yang sama dalam bermimpi, hak yang sama mendapatkan informasi, hak yang sama dengan semua anak di penjuru negeri. Mereka percaya bahwa semua bisa dilakukan asalkan ada niat dan semangat yang tak mudah padam.

Cerita Lainnya

Lihat Semua