Dimana Bumi Dipijak di Situ Langit Dijunjung: Jurnal, Jaringan dan Belah Bambu
YorinaSarah Franscoise Lantan 7 April 2016Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Sebuah peribahasa yang begitu populer bagi kita masyarakat Indonesia. Sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, budaya dan adat istiadat. Makna peribahasa tersebut sangatlah dekat dengan kehidupan kita sehari - hari dalam bermasyarakat.
Saya pikir saya mengerti makna peribahasa tersebut dan pengejewantahannya dalam kehidupan. Ternyata, di sini di tempat penempatan ini saya kembali belajar. Pada suatu hari dimana saya tidak memiliki jadwal mengajar les Bahasa Inggris bagi anak - anak. Saya memutuskan untuk menumpang truk ke Desa Sanur di kecamatan sebelah dan bertemu dengan salah seorang teman sesama PM. Rencananya, kami ingin mengerjakan jurnal bersama - sama sambil mencari listrik. Dengan perasaaan yang sedikit was - was, saya bicara dengan adik angkat saya, "Dhel, aku pergi ke SP (sebutan Desa Sanur) dulu ya numpang truk. Tolong kasih tahu Ibu dan Bapak, mungkin akan bermalam di mess puskesmas soalnya mau ngerjain beberapa tugas dengan Bu Dewi."
Setelah menitipkan pesan kepada adikku, saya berjalan ke jalan poros untuk mencari truk tumpangan. Singkatnya saya tiba di Desa Sanur di sebuah warung makan yang sudah disepakati sebagai tempat pertemuan dengan teman saya tersebut. Setelah menunggu sekitar satu jam sambil mengerjakan beberapa pekerjaan sekolah, Dewi datang dan kami pun sepakat untuk pindah ke mess puskesmas Desa Sanur di rumah rekan - rekan Nusantara Sehat (NS). Cukup lama kami mengobrol dengan rekan - rekan Nusantara Sehat (NS). Saya pun memanfaatkan momen tersebut untuk menikmati quality time dengan Dewi. Tidak terasa hari sudah cukup malam dan kami memutuskan untuk bermalam di mess dan bergadang mengerjakan jurnal. Saya pun segera menghubungi Bapak di rumah untuk izin menginap. Pada saat itu, entah mengapa sulit sekali mendapatkan sinyal jaringan telepon selular, padahal biasanya Desa Sanur merupakan salah satu tempat yang memiliki jaringan selular yang kuat.
Setelah mengirimkan SMS yang mengabari dan meminta izin Bapak untuk menginap, kami pun kembali mengerjakan jurnal. Sedang asyik berdiskusi, tiba - tiba Evi, salah satu rekan NS berteriak dari dalam kamar, "Kak, ada yang telepon!" Saya pun buru - buru masuk ke dalam kamar, mengambil telepon gengam saya yang sedang di-charge. Rupanya, Pendeta Purba, pendeta di gereja desa saya, menelepon. Beliau memberitahu saya bahwa Bapak meminta beliau untuk menjemput saya di mess karena "belah bambu".
Apa itu "belah bambu"? Belah bambu adalah kepercayaan warga setempat yang memercayai bahwa di dalam satu rumah tidak boleh ada yang bepergian berlawanan arah, misalnya arah utara dan selatan atau arah hulu dan hilir, di satu hari yang sama. Dipercaya, bahwa akan terjadi sesuatu hal buruk pada orang rumah yang ditinggalkan atau orang yang bepergian tersebut. Pada hari itu, kami, semua anggota keluarga angkat saya termasuk saya, lupa sama sekali bahwa pada hari itu, supir Bapak pulang ke Sulawesi (ke arah hilir), sedangkan saya berencana bermalam di mess puskesmas (letaknya di hulu). Jadi, apabila saya bermalam maka kondisi tersebut adalah "belah bambu".
Benar saja, selesai saya menerima telepon dari Pendeta Purba. Datang SMS dari Bapak yang meminta saya untuk pulang. Karena jaringan yang kurang baik, SMS itu rupanya terlambat masuk. Belakangan baru saya tahu, bahwa orang rumah melalui Pendeta Purba berusaha menghubungi saya. Sebenarnya, saya tidak memercayai "belah bambu" ini, ditambah lagi ada tugas yang ingin sekali saya selesaikan malam itu bersama dengan Dewi. Namun, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Saya memutuskan untuk mengiyakan Pendeta Purba untuk menjemput saya di mess puskesmas dan pulang malam itu.
Seringkali kita diperhadapkan dalam kondisi dimana kita perlu mengalah dan merendahkan diri serta berkompromi dengan hal - hal yang sebenarnya tidak kita percayai, yang bahkan tidak masuk dalam logika kita. Namun, kita bisa memilih untuk menghormati dan menghargai mereka yang memercayainya dengan melakukan sesuai dengan cara yang mereka percayai.Bahkan, apabila kita melihatnya dari sisi lain, pengetahuan kita akan diperkaya dan kita bisa memeroleh pengalaman yang luar biasa menyenangkan.
Dalam kasus ini, saya dapat melihat bahwa orang tua angkat saya sangat menyayangi saya sehingga mereka meminta Pendeta Purba untuk menjemput saya meskipun malam sudah cukup larut. Mereka takut terjadi hal yang buruk pada diri saya. Seringkali, apabila saya ingin bepergian dan mereka menawari saya makan dan pada saat itu saya sudah makan. Mereka langsung menyuruh saya untuk memegang makanan yang ditawarkan karena takut "kepunan" atau "kepohonan". Kepunan atau kepohonan itu adalah situasi dimana kita mengalami kecelakaan atau hal buruk karena kita menolak memakan makanan yang disuguhkan atau ditawarkan kepada kita.
Sungguh pengalaman yang luar biasa menyenangkan, bisa merasakan kasih sayang dan kepedulian orang tua angkat saya. Pada akhirnya, saya merasa bahwa saya adalah bagian dari mereka. Melihat kejadian ini dari sudut pandang lain membuat saya semakin menyayangi mereka.
Salam dari Desa Apas untuk Indonesia!
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda