info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Episode Empat - [ Mula yang Beragam ]

Yayah Uryanti 19 Desember 2021

“Aceh Singkil. Apa yang terekam nyata dalam sudut pandangmu saat mendengar nama itu?”
 


Resmi didirikan pada 20 April 1999 sebagai hasil pemekaran Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil sudah lama menjadi salah satu notasi unik dari partitur keberagaman negeri kita. Berada pada titik terjauh Selatan Aceh, berbatasan langsung dengan Sumatera Utara, Singkil menawarkan oase yang mungkin menggeser ruang imaji kita soal tanah dengan julukan Serambi Mekah ini.

"Bahasa Aceh di sini gimana?"
"Kami nggak pakai Bahasa Aceh, kak."

Loh! Bagaimana seorang Aceh tak berbahasa ibu sebagaimana umumnya? Tapi, ternyata memang itulah sebagian catatan eksklusif Aceh Singkil.

Tidak begitu luas, tapi kabupaten yang akan segera menggenapkan usia ke-22 tahun ini memiliki karakteristik topografi yang begitu beragam. Pada daratannya membentang sungai terpanjang, danau terbesar ke dua di Aceh, rawa, air terjun, juga perkebunan sawit sejauh mata memandang. Di bentangan lainnya, kepulauan dan pesisir pantai yang masih terbilang perawan masuk dalam daftar ragam lansekap Singkil.

Menarik? Jejak kakimu yang perlu membuktikan.

Kembali menyoal bahasa. Kenapa berbeda? Karena, Aceh Singkil dijajaki lebih dari satu suku, budaya, bahkan agama. Tengok saja desa di mana saya dan teman-teman Pengajar Muda ditempatkan. Di Kuala Baru, masyarakatnya bersuku Melayu Pesisir, Aceh, dan Minang. Bergeser ke Bulu Ara, di sini berkumpul suku Pak-Pak. Desa Lae Balno yang memiliki akses terdekat dengan Tapanuli banyak dihuni oleh suku Batak, Pak-Pak, dan Jawa. Lain halnya dengan Ujung Sialit yang berada di pulau terpisah dari Sumatera, hampir sepenuhnya tumbuh sebagai keturunan suku Nias.

Miniatur bhineka, mungkin tepat untuk menyebut hal yang terkesan kontras itu. Singkil sendiri, sebagai sebuah suku, dengan segala dismilaritasnya sudah lahir jauh sebelum orang-orang modern membangun peradaban. Hadir dan tenggelam bersama gelombang abrasi, untuk tidak jengah berkehidupan kembali di tanah yang sampai sekarang dihuni. Hidup dalam semboyan 'Sekata Sepekat' yang bermaksud keharmonisan, persaudaraan dan toleransi.
 


Cerita Lainnya

Lihat Semua