info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kontol Mabuk

Wisnu Dwi Prasetyo 11 Februari 2015

Tenang, anda tidak sedang membaca tulisan yang tidak baik. Judul di atas memang agak sedikit aneh dan tabu, khususnya bagi anda orang Jawa. Ketika saya menulis tulisan ini saya agak sedikit ragu apakah akan memposting tulisan ini atau tidak. Dan seperti yang anda tahu, saya akhirnya memposting tulisan ini. Serta yakinlah anda masih ada di blog seorang pengajar muda.

                Indonesia kaya akan kuliner. Berbagai suku daerah dengan segala rahasia dapurnya sudah menyajikan masakan khasnya yang amat menggoyang lidah. Resep masakan itu tentu tidak sembarangan namun saya percaya itu sudah turun temurun.

                Saya bertugas di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Entah mengapa namanya begitu panjang. Kalau saya pikir-pikir dari letaknya di peta, akan lebih mudah orang menyebutnya Maluku Selatan, karena  sebelah baratnya arah tenggara memang selatan. Ditambah lagi ada sebuah provinsi yang bernama Maluku Utara, jadi mengapa masih memakai nama Tenggara Barat? Menurut perenungan saya yang tak berdasar, mungkin orang menghindari nama Maluku Selatan karena dulu ada konflik saudara yang mengancam keutuhan NKRI dengan mendirikan Republik Maluku Selatan tersendiri. Namun itu renungan saya yang tak ada dasarnya, mungkin anda yang paham mengenai ini bisa membantu saya. Yang jelas Kabupaten ini sudah berdiri dan masih dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

                Kembali soal kuliner, masih ingat ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar bahwa guru saya mengajarkan bahwa makanan pokok orang Maluku adalah sagu. Kenyataannya ketika saya tiba di desa tempat saya bertugas, Desa Wadankou, Kecamatan Molu Maru, yang masih dalam wilayah administratif Maluku, saya tetap makan nasi yang dibuat dari beras. Singkong atau kasbih dalam bahasa setempat, ubi, dan makanan tanah lainnya juga sering masyarakat di sini mengkonsumsinya sebagai makanan pokok. Bahkan varian yang berbahan dasar makanan tanah ini bermacam. Kasbih yang masih muda kebanyakan di rebus, di goreng, maupun dibakar sama seperti yang saya sering jumpai. Kasbih yang lebih tua biasanya diparut kemudian ditaruh dicetakan kemudian dipanggang atau dijemur di bawah sinar matahari, masyarakat di sini menyebutnya Bebah. Ubi tanah selain di rebus kemudian disantap bersama ikan juga sering dibuat semacam bubur. Cara membuatnya mudah, ubi yang sudah dikupas direbus sampai lunak. Ubi yang sudah lunak ini ditumbuk sampai hancur kemudian barulah ditambah santan kelapa. Lebih mantap lagi jika bubur ini ditambah gula merah. Belakangan aku usulkan agar ditambah kayu manis agar lebih maknyus. Jadi sagu adalah makanan pokok masyarakat Maluku tidak seluruhnya benar.

                Itu soal makanan pokok. Makanan pokok yang biasa dihidangkan pada saat makan siang dan makan malam. Makan pagi? Memang masyarakat di sini jarang memakan makanan berat pada saat sarapan. Biasanya pada pagi dan sore hari, orang sini hanya minum teh manis atau kopi bagi yang berada. Bagi yang tidak punya, segelas air putih, yang kemudian orang menyebutnya teh putih, cukup untuk sarapan sebelum berkegiatan sampai menjelang makan siang. Nah, minuman-minuman tadi biasanya ada temannya. Misalnya pisang goreng. Pisang goreng disini agak berbeda dengan yang di Jawa. Jika yang sering saya jumpai biasanya pisang masak yang sudah manis dicelup dengan adonan terigu yang kemudian digoreng, kalau di sini pisang goreng sesuai namanya pisang di goreng. Pisang yang sama sekali belum masak diiris tipis memanjang lalu di goreng begitu saja. Karena rasanya yang sedikit hambar biasanya kudapan ini dimakan layaknya makanan pokok, saya pernah memakannya bersama mie goreng dan sayur daun singkong. Saya sering melihat anak-anak mengunyah pisang goreng ini sambil apel pagi di sekolah.  :/

                Nah, menu lainnya selain pisang goreng, kudapan teman teh atau kopi di pagi atau sore hari adalah Kontol Mabuk. Kontol Mabuk hanyalah sejenis kue, kue yang sangat sederhana dan cepat dalam membuatnya. Di desa ini salah satu barang langka dan mewah adalah telur. Jika di Larat, tempat kedua yang paling ramai setelah Saumlaki, pasar terdekat masyarakat Wadankou, walau paling dekat tetap memakan 4-5 jam perjalanan dengan motor laut, harga telur tidak sampai dua ribu rupiah per butir, maka di dalam desa sendiri harga telur mencapai dua kali lipatnya. Tidak heran makanan yang berbahan dasar telur sangat jarang dibuat, kecuali kue Natal yang dibuat setahun sekali setiap Hari Raya dan Tahun Baru. Jadi kue-kue yang dibuat sehari-hari tidak ada campuran telurnya, termasuk Kontol Mabuk. Entah bagaimana asal muasal nama ini muncul, saya sudah bertanya kepada orang-orang di desa ini tapi tidak ada yang bisa menjawab. Jawaban yang muncul paling cuma senyum atau tertawa lebar karena nama ini jadi bahan lelucon. Ketika bertanya kepada orang-orang tua penduduk asli desa ini, mereka bahkan baru tahu bahwa Kontol Mabuk adalah nama yang menjurus ke arah pornografi ketika orang-orang pendatang dari luar desa ini memberi tahu. Makanan ini tidak hanya dibuat di desa ini saja, setahu saya mungkin orang sekabupaten ini pernah memakan makanan ini, tapi soal asal nama tidak ada yang mengetahui atau mungkin saya saja yang belum menemukan jawaban yang meyakinkan. Pembahasan ini memang sengaja saya tuliskan agak sedikit berputar-putar, karena saya yakin anda penasaran dengan makanan yang satu ini. Tenang saya yakin anda pasti bisa membuat makanan ini di rumah anda sendiri. Makanan ini hanyalah terbuat dari campuran terigu dan gula yang diberi air kemudian di goreng. Kalau saya boleh menyimpulkan Kontol Mabuk adalah adonan terigu manis yang digoreng. Memang sederhana, tapi untuk namanya tidak sederhana. Oya, makanan ini juga saya anggap sebagai makanan darurat karena saya yakin siapapun dapat membuat makanan ini. Mengapa darurat? Biasanya kalau saya bertamu mengunjungi orang tua murid saya ketika sore hari dan tidak ada yang menjual kue, Kontol Mabuk ini yang dihidangkan bersama secangkir teh (entah teh gula atau teh putih :p). Bahkan orang tua piara saya ketika di rumah, selalu menyuguhkan makanan ini  di pagi dan sore hari sembari berkata, “Pak Wis, Mama sedang pi Ambon, Bapa hanya bisa bikin(g) Kontol Mabuk”. Biasanya saya jawab dengan senyuman. Bagaimana dengan anda? Mau mencoba membuat Kontol Mabuk ala anda sendiri di rumah?

Wadankou, 8 Januari 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua