Sapaku Padamu Negeri dari Perbatasan Selaru

Mauliana 11 Februari 2015

        Ada yang lain yang aku rasakan pagi ini. Hari ini, 7 Februari 2015 pukul 06.00 WIT, suasana begitu berbeda. Suasana yang begitu hening, udara yang begitu sejuk, aku melihat kabut pagi di perbatasan negeri yang panas. Tak tahu kenapa, tiba- tiba detak jantung serasa seirama dengan kicauan burung- burung pagi ini. Aku begitu menikmati pagi ini. Tanpa terasa aku telah memutar memori ingatanku, dimana disaat pagi hari aku bersama 74 Pengajar Muda lainnya menjelajahi hutan Indonesia bersama tim Wanadri. Tiba- tiba hatiku berkata,”Aku ingin mendaki gunung lagi, menjelajahi hutan bersama- sama di pagi hari dan berteduh di malam hari. Membuat bivak bersama- sama, memasak bersama, makan bersama, mencuci bersama, bahkan tidur pun harus kami bagi rata agar semua dapat bersitirahat memulihkan sedikit rasa letih yang menderu. Kebersamaan ini yang tiba- tiba aku rindukan di pagi ini. Aku tersenyum agar hatiku juga ikut tersenyum. “Ah, hanya tersisa empat bulan lagi, dan kemudian kita akan terpisahkan oleh ruang dan waktu kawan. Aku akan kembali ke Aceh dan kalian akan kembali ke kampung halaman kalian masing- masing dengan mimpi masing- masing. Kapan kita akan bersama- sama lagi merasakan kebersamaan itu?”

            Begitu juga dengan pagi ini. Aku akan segera meninggalkan rumah ke dua ku. Aku akan segera berpisah dengan semua yang aku kasihi. Rasanya satu tahun berlalu begitu saja. Murid- muridku akan naik kelas dan aku akan digantikan dengan guru lain. Tidak akan ada lagi musik pagi penyemangat siswa, bergoyang bersama saat pelajaran membuat kita begitu penat, tidak akan ada lagi anak- anak yang terus mencari perhatian untuk diusap kepalanya. Huufft, waktu, aku telah dimakan waktu, rasanya aku belum berbuat apa- apa, tapi aku harus segera pergi meninggalkan segalanya. Segalanya? Mungkin tidak, mungkin aku bisa membawa mimpi- mimpi anak- anakku sampai ke Aceh. Bisa saja aku menelpon mereka sebulan sekali untuk mengetahui perkembangan mereka. Mimpi anak- anak didikku harus menjadi nyata. Meskipun mereka berada diperbatasan Indonesia, meskipun lagu Hari Kemerdekaan sulit untuk mereka lantunkan, bahkan mereka menganggap bahwa Selaru, tempat tinggal mereka berada di negara Belanda, ada juga yang menjawab Selaru ada di Argentina, bukan Indonesia. Bahkan mungkin, Anda yang membaca pun tidak tahu bahwa Selaru adalah bagian dari Indonesia. Siapa tahu bukan? Hehehe.

        Tapi satu yang harus selalu aku ingat dalam memoriku, mimpi- mimpi anak- anakku harus menjadi nyata. “Kejarlah mimpi- mimpi kalian nak. Jika nanti kalian bersekolah ke Jawa, atau mungkin ada yang ke Darwin, ke mana lagi?” Ada siswa yang menjawab, “Argentina ibu, Belanda ibu, Makassar ibu.” “Iya, kemana saja yang kalian inginkan. Tapi ingat, ada syaratnya, syaratnya sangat gampang nak, kalian hanya butuh belajar, berusaha keras, dan jangan lupa berdoa. Kalau nanti kalian bisa ke Jawa, ke Makassar, ke Belanda, ke Argentina, jangan lupa kasi tahu ibu Mona e, beri tahu ibu kabar kalian.”

            Semangat ini yang selalu aku berikan pada anak- anakku. Mimpi- mimpi yang harus aku ulang- ulang setiap harinya, agar mereka tahu bahwa mereka masih memiliki mimpi yang harus dikejar. Kejarlah nak, kejarlah mimpi- mimpi itu, meskipun nanti ibu tidak lagi bersama kalian. Ingatlah mimpi yang telah kita tulis bersama dan kita tempelkan di Pohon Impian kita.


Cerita Lainnya

Lihat Semua