“Tatao Ehon”

Wahyu Setioko 4 November 2012

         Kalau boleh aku berbagi, kata yang paling sering diucapkan beberapa murid-muridku yang sangat pemalu itu adalah “Tatao Ehon” (Bahasa Bawean, artinya: tidak tahu saya). Awalnya aku sempat frustasi mendengarnya berulang-ulang. Muridku ‘yang itu’ ketika ditanya saat pelajaran, selalu saja menjawab “Tatao Ehon”. Aku ulang kembali pertanyaanku dengan pelan dan sabar, namun tetap saja yang keluar dari mulutnya adalah “Tatao Ehon”. Yasudah. Akupun mengalihkan pertanyaanku ke murid yang lain. Ternyata sama saja!. Gubrak. Aku tersenyum, mengelus dada.

              Aku sempat bingung karena setiap kali aku tanya di dalam kelas, ia dan temannya yang satu itu selalu bilang tidak tahu. Akhirnya aku lebih sering bertanya ke murid-murid yang lain. Yang menjawab dengan berbisik. Atau yang baru mau menjawab dengan suara parau bila aku benar-benar berjarak 10 cm dari dirinya. Subhanallah. Karakteristik anak-anak Dusun Panyal Pangan ini memang sangat pemalu. Tapi setidaknya, mereka berani menjawab pertanyaanku, meski belum berani dengan suara lantang. Begitulah murid-muridku yang perempuan. Berbeda sekali dengan yang laki-laki, yang menjawab dengan kencang tapi asal sebut. Sudah biasa aku tertawa mendengar jawaban aneh dari murid-muridku yang laki-laki. Beberapa contohnya;

Aku        : “Negara Asia Tenggara yang mana yang dilewati garis khatulistiwa?

Murid    : “Eropaa!

(sudah jelas-jelas ASIA, eh dia jawab eropa)

Aku        : “Pemanasan Global disebut Global......

Murid    : “Global TV !

(Global Warming naaaakkkkkk....)

Aku        : “Pemilu jaman dulu hanya memilih partai. Ada yang tahu apa itu partai?

Murid    : “Partai Nasdem. Gerakan Perubahan !

(aduh, pengaruh iklan televisi)

            Oke, kembali ke murid-muridku yang perempuan, terutama muridku ‘yang itu’. Suatu kali aku menguji hafalan perkalian semua murid-muridku secara bergiliran. Setiap orang mendapat kesempatan. Dan tibalah saatnya pada muridku ‘yang itu’. Seperti biasa, baru aku panggil namanya saja, dia sudah menjawab “Tatao Ehon”. Aku tak mengindahkan kata-katanya, sudah biasa. “Coba kamu perkalian 7”, pintaku. “Lah tatao ehon”, katanya spontan. “Ayoo dicoba duluuu”, bujukku lagi. “Tataaooo”, katanya lagi. “Coobaaa”, aku berkata lagi sambil tetap tersenyum. “Berapa? Tujuh?”, jawabnya. Alhamdulillah, ternyata dia bisa bicara selain “Tatao”, pikirku. Hehe. Aku pun menjawab dengan sabar, “Iya coba perkalian tujuh”. Ia membuka mulutnya dan mulai melafalkan perkalian tujuh. Aku pun tersenyum lega. “Tujuh kali satuuuu...lah Tatao”, katanya sambil senyum-senyum malu memalingkan wajah. Gubrak, aku dan murid-murid yang lain menghentakkan badan ke kursi dan tertawa. Ada juga yang menepuk jidat. Ini anak menggemaskan sekali, sumpah. “Ayoo coba lagi, tujuh kali satuuu...”, pancingku. Ia pun tiba-tiba melafalkan perkalian tujuh dengan cepat daaaan 100 % benar. Ia hafal. Benar-benar hafal. Kali ini aku harus bilang WOW. Aku pun mengujinya lagi dengan perkalian 8 dan 9. Seperti biasa, dimulai dengan “Tatao Ehon”, tapi kemudian ia melafalkan dengan lancar. Begitu pula dengan pelajaran lainnya. Ia sebenarnya tahu. Namun memang butuh waktu dan senyum yang ekstra untuk membuat ia menjawab dengan benar.

       Akhirnya aku sampai pada sebuah kesimpulan. “Tatao Ehon” hanyalah sebuah mantra rendah diri ala muridku ‘yang itu’, Nikmah dan Nornor. Dua muridku yang selalu saja bilang “Tatao”. Padahal mereka tahu, bahkan benar-benar tahu. Hanya terlalu malu dan rendah diri untuk mengatakannya. Dan dari mereka, aku belajar untuk bersabar dan tak pernah menyerah dalam melakukan Discovering Ability terhadap murid-muridku. Tak seorang pun dapat mengetahui adanya mutiara di dalam tanah kalau ia tak pernah menggali dan terus menggali tanah itu dengan sabar.

          Terima kasih Nikmah dan Nornor. Pak guru belajar dari kalian. Salam “Tatao Ehon”.

 

*) Caption Foto: Nikmah (kanan) dan Nornor (kiri)

***

 

Dari Bawah Langit Bawean yang Indah

-Pak Guru Koko-


Cerita Lainnya

Lihat Semua