Ketulusan Itu Menular

Wahyu Setioko 18 Agustus 2012

                Pasar kecamatan Tambak hari itu tidak dipenuhi orang-orang. Jelas saja, karena sudah pukul 12 siang, lagipula hari itu masih dalam suasana bulan suci Ramadhan. Aku dan teman-teman PM4 Bawean lainnya, sebut saja Mawar, Bunga, Harum dan Jajang (bukan nama sebenarnya; nama sebenarnya adalah Dela, Ade, Ridha dan Kare) siang itu hendak membeli bahan makanan untuk persiapan buka puasa bersama di salah satu rumah hostfam PM4 Bawean, sebut saja Mawar.

                Kami keluar masuk pasar tradisional yang lumayan bersih itu (bila dibandingkan pasar-pasar tradisional di sekitaran Ibukota) dan menjadi objek utama pandangan para penghuni pasar. Bak artis. Aku sedikit menebak-nebak apa yang ada di pikiran mereka. “Ini anak ngapain siang-siang gini, lagi puasa, ke pasar? Laki-laki pula! ”, mungkin seperti itu kira-kira dalam benak mereka. Adalah sebuah keanehan tersendiri bagi masyarakat disini apabila melihat laki-laki ada di pasar, kecuali laki-laki itu adalah penjualnya. Ini kedua kalinya aku masuk pasar disini, dan kedua kalinya pula menemukan tatapan-tatapan aneh yang tertuju kepadaku itu. Yasudah biarlah.

                Kami berjalan menyusuri liku-liku labirin pasar hingga akhirnya berhenti di sebuah warung. Warung inilah tujuan utama kami. Warung yang menjual sayur-sayuran. Sejenak kami amati bersama, warung itu terlihat lebih bersih daripada warung-warung dadakan lainnya yang hanya terdiri dari sebuah meja dan terpal sebagai atapnya. Warung itu tampak seperti kios dengan dinding tembok dan lantai keramik serta bagian depannya tertutup rapi oleh slerekan dari besi (maaf, aku tidak tahu bahasa Indonesia-nya). Ya, warung itu tertutup rapi oleh slerekan, dan itu berarti.. “Yah, warungnya tutup!!”, seru si Mawar. Gubrak!. Akhirnya kami berjalan mencari warung lainnya.

                Kami berjalan menyusuri liku-liku labirin pasar hingga akhirnya berhenti di sebuah warung. (Aku merasa seperti Deja Vu saat menuliskan ini). Warung ini menjual berbagai macam bahan makanan, cukup lengkap menurutku. Namun masih kurang lengkap karena tidak menjual saus pedas. Entah mengapa di pulau ini susah sekali mendapatkan saus pedas. Masyarakat kurang menyukai pedas, alhasil hanya ada kecap manis dan saus tomat. Aku sedikit kecewa. Namun kami tetap membeli bahan makanan lainnya yang kami butuhkan di warung tersebut. Nah dari sinilah cerita bermula. (APA??!!)     

                Sang penjual, laki-laki berumur 28-an, yang lagi-lagi cukup heran melihat keberadaan kami di pasar tiba-tiba berkata, “dari Indonesia Mengajar ya? Pa Anies Baswedan kan?”. Kami sedikit terkejut dan terharu mendengar pertanyaan tersebut. Pasalnya, disini kami biasa disebut “Indonesia Merdeka” atau “Indonesia Muda” atau “Guru Endon” atau sebutan-sebutan lainnya. Ketika si penjual menyebutkan Indonesia Mengajar ditambah dengan Anies Baswedan, kami tersenyum dan bernafas lega, “akhirnya ada yang benar juga”. Belakangan kami sadar bahwa salah satu dari kami ternyata saat itu memakai rompi Indonesia Mengajar, pantas saja.

                Sambil berbincang-bincang dengan sang penjual, kami pun asyik memilih bahan makanan untuk berbuka puasa serta bahan-bahan untuk media kegiatan belajar mengajar di sekolah. Waktu terus berlalu hingga akhirnya tibalah saat terpenting dari proses jual beli, yaitu pembayaran. Saat kami ingin menyodorkan uang untuk membayar belanjaan kami, sang penjual menolak sambil berkata, “sudahlah tidak usah, kan buat ngajar juga, saya mah tidak bisa berbuat apa-apa untuk negara, cuma bisa bantu itu aja, kan buat orang Bawean juga”. “Loh, tapi mas...”, seperti biasa, ucapan basa-basi terlontar spontan dari mulut kami. “Ya udah bawa aja, selamat berjuang, semoga kerasan disini”, balas si penjual. “Beneran gapapa nih mas?”, basa-basi kedua dari kami. “iyaa”, penjual itu berkata lagi, singkat dan diiringi sebuah senyuman, senyuman penuh ketulusan untuk membantu sesama, untuk membantu masyarakatnya di Pulau Bawean ini. “Terima kasih banyak ya mas”, kami berkata dan membalas senyuman penuh ketulusan itu. Kami berpamitan dan membalikkan badan lalu berjalan langkah demi langkah menjauhi warung tersebut. Jujur, kami terharu. Tak satupun kata terucap dari kami setelah itu. Kami berjalan dalam diam. Kami merenung dan berpikir, alangkah indahnya kejadian kecil yang baru saja kami alami disini, di pasar tradisional ini.

                Berawal dari ketulusan seorang Anies Baswedan untuk bergerak secara swadaya memajukan pendidikan di Indonesia, sehingga dapat menggerakkan jiwa-jiwa tulus pemuda Indonesia yang ingin ikut serta sedikit berbuat untuk bangsanya, dan akhirnya ketulusan itu menular pada rakyat-rakyat Indonesia yang masih peduli dengan kemajuan pendidikan negara tercintanya. Bahkan menular kepada rakyat kecil yang tak berhubungan sama sekali dengan dunia pendidikan, hanya seorang penjual di pasar tradisional. Menular pada rakyat kecil yang bahkan masih berusaha keras menghidupi keluarganya sendiri. Namun mereka semua, Anies Baswedan, pemuda-pemuda Indonesia, pedagang kecil di pasar tradisional, memilih untuk mengorbankan sedikit rezeki pribadinya untuk membantu bangsanya. Mereka bisa saja egois, mereka bisa saja hidup enak dan nyaman, tapi mereka memilih untuk berbuat sesuatu untuk Indonesia, meskipun sedikit, sedikit apapun yang mereka bisa. Ya, ketulusan itu telah menular. Ketulusan untuk membantu sesama, demi Indonesia yang lebih baik.

                Kalau mereka bisa berbuat sedikit untuk Indonesia, lantas kenapa kita masih diam dan memikirkan diri sendiri? Mari berbuat yang kita bisa, pedagang kecil pasar tradisional saja bisa. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua