Catatan Seorang Dirigen

Maria Jeanindya Wahyudi 18 Agustus 2012

Aku seorang dirigen. Tak ada yang pernah mendaulat dan memberi aku label tersebut – memang. Tapi sejak kelas 4 SD, aku seolah mendapat jabatan tetap dalam barisan petugas upacara. Satu kali menjadi protokol, tak pernah mencicip paskibra, dan selalu menjadi dirigen koor. Tujuh tahun berkutat dengan ‘profesi’ tersebut, hingga kelas 1 SMA.

Bosan? Tentu saja. Aku selalu merasa tugas ini ecek-ecek, sama sekali tak bergengsi dibanding paskibra, atau tak seeksis pembaca protokoler. Menginjak SMP, aku mengincar posisi dirigen yang lebih keren, yaitu mayoret marching band. Tugas dan fungsinya sama dengan dirigen. Tapi mayoret selalu terlihat cantik, dan menjadi pusat perhatian. Pakaiannya glamour, dan kepiawaiannya memutar-mutar tongkat, tentu akan lebih menarik ketimbang dirigen koor yang selalu berada di barisan paling pinggir. Hufff.. tapi aku tak pernah merasakan itu – menjadi mayoret. 

Kenangan menjadi seorang dirigen hampir terlupakan olehku. Hingga aku bergabung dengan Indonesia Mengajar di 2011. Saat itu kami harus belajar tentang tata cara upacara, dan membentuk petugas upacara. Dan lagi-lagi, tugasku menjadi : dirigen koor! Tak ada celah untuk menelusup masuk ke barisan paskibra, atau mendekati mic protokoler. Tapi tak apa, sepertinya kali ini akan menjadi pengalaman berbeda bagiku.

Pengalaman spiritual menjadi seorang dirigen belum kurasakan siang itu. Tapi beberapa minggu kemudian. Saat harus memimpin ratusan orang menyanyikan Indonesia Raya dan Padamu Negeri dalam acara Open House Indonesia Mengajar – 2011. Aku kembali mendapat tugas menjadi dirigen, sepuluh tahun dari terakhir kali aku memimpin barisan koor di SMA. Ini adalah tugas on the spot, tanpa latihan atau koordinasi sebelumnya. Tak ada pilihan mundur. Maju terus, atau tidak sama sekali.

Pengalaman spiritual kedua kurasakan setahun setelah acara open house. Kala itu, aku harus memimpin puluhan orang – para petinggi sebuah korporat dan seorang pejabat – menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam rangka penyambutan Tim 7 Summits Indonesia dari Everest - 2012. Aku ditodong saat acara tengah berlangsung, karena segelintir orang tiba-tiba ingat bahwa lagu paling membanggakan itu belum berkumandang di tengah ruangan. Tak ada pilihan lain selain jawaban ‘siap!’.

Saat berdiri di hadapan semua orang, bersiap mengambil nada dengan kedua tangan teracung ke atas, tanganku bergetar. Suara yang keluar mungkin bisa menunjukkan betapa gugupnya aku. Meski suka menjadi pusat perhatian, tak membuatku menjadi orang yang ‘kebal demam panggung’ tentunya.

Namun getaran di tangan tak melemah saat lagu mulai berkumandang. Malah jantungku ikut berdegup makin keras. Suara yang kukeluarkan juga bergetar. Apalagi saat di bagian “Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka! Tanahku, negeriku yang kucinta!”

Di tempat aku berdiri, aku tak hanya mendengar suara orang-orang mengumandangkan Indonesia Raya dengan suara lantang. Ada kebanggan dalam suara itu. Sorot mata mereka menunjukkan rasa percaya diri. Sikap tubuh yang berdiri sempurna seolah berkata : “saya bangga menjadi bagian dari Indonesia!”

Dari sudut pandang seorang dirigen aku bisa menangkap semua perasaan ini. Dari tempat seorang dirigen berdiri, aku mampu mendengar kebangaan itu mengalir dalam suara mereka. Aku bisa menyapu pandanganku ke seluruh ruangan, mendapati titik-titik harapan dan kebanggan sebagai seorang warga Indonesia. Aku merasakan kebangaan luar biasa menjadi seorang dirigen.

Aku tak bisa menasionalismekan orang lain seperti yang Abah Iwan selalu lakukan dalam karya-karyanya yang luar biasa. Aku tak bisa memukau orang lain dengan pancaran kharisma seperti saat Pak Anies berbicara tentang optimismenya akan Indonesia yang lebih baik. Aku pun belum menorehkan prestasi besar seperti kawan-kawanku di Tim 7 Summits Indonesia, atau para atlet Olimpiade.

Aku hanya seorang dirigen. Yang berusaha mengajak para audiensku menyanyikan Indonesia Raya sepenuh hati. Sehingga pancaran optimisme itu bisa kutangkap – kumasukkan dalam hati – sebagai amunisiku berbuat hal baik untuk negeri ini.

Aku hanya seorang dirigen. Dan aku bangga menjadi dirigen.

 

-Maria Jeanindya-


Cerita Lainnya

Lihat Semua