catatan kecil seputar 17 Agustus

Maria Jeanindya Wahyudi 18 Agustus 2012

Semua orang Indonesia berulang tahun, minimal dua kali dalam setahun. Bahkan mereka yang belum merayakan ulang tahun perkawinan sekalipun. Satu, peringatan hari lahir ke dunia. Dan dua, peringatan hari lahir Indonesia – sebagai negaranya. Ini beberapa catatan kecil tentang seputar hari kemerdekaan Indonesia, menurutku.

1.       Terima kasih, pak Penjajah!

Aku merasa ingin mengucapkan terima kasih kepada Belanda, karena telah menjajah Indonesia saat itu. Tentu saja, bukan terima kasih karena mereka menyebabkan banyak kematian. Tapi karena keberadaan sebagai negara terjajah melahirkan heroik tersendiri. Tak bisa dibayangkan kalau tidak ada 17 Agustus 1945 sebagai tanggal bersejarah. Saat orang lain menanyakan, “Sejak kapan Indonesia ada?” Mungkin orang akan menjawab, “Errr... Don’t know. Sepertinya, ratusan tahun yang lalu.” Keberadaan hari proklamasi, membuat semua rakyat Indonesia bisa menyebut dengan pasti tanggal ia menjadi satu negara. Apalagi, ada bumbu cerita kepahlawanan tentang duo Soekarno-Hatta, Bung Tomo, Jendral Sudirman, dan masih banyak lagi.

2.       Ada kado!!

Saat tahun baru, yang pertama kucari biasanya adalah ‘ulang tahunku akan jatuh pada hari apa ya?’. Pada setiap ulang tahun, akan ada kado, atau setidaknya, hujan ucapan selamat. Begitu pula saat Indonesia berulang tahun. Ada kado, tentu saja. Sejak duduk di bangku TK, sebagai warga negara Indonesia, aku selalu kebagian ‘jatah’ kado ulang tahun RI. Apalagi kalau bukan libur sekolah? Tak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang murid selain hari libur, bukan? Ada ‘potongan’ waktu sekolah setiap tanggal 17 Agustus. Pada tanggal ini, semua pelajar hanya memiliki 1 kewajiban : ikut upacara bendera. Itupun, bisa mabal. Apalagi setelah bekerja, kado ulang tahun RI sangat terasa istimewa sekali. Terlebih, kalau liburnya berentet dengan Hari Raya Idul Fitri seperti tahun ini.

3.       Meriah perayaan.

Mungkin tak semua orang bisa merayakan hari ulang tahun mereka. Kadang terkendala biaya, waktu, atau alasan apapun yang melatarinya. Tidak demikian dengan HUT RI. Tak ada alasan untuk melewatkan hari spesial itu begitu saja. Semua orang rasanya ingin andil dalam hari yang selalu bersejarah tiap tahun ini. Tak peduli angka cantik seperti ultah ke-17, ulang tahun emas (50th), bahkan untuk angka yang tidak keren sekalipun – seperti 67. Semua tetap merasa tanggal ini penting. Para korporat besar, berlomba menyajikan iklan paling heroik, paling menyentuh, paling nasionalis di layar kaca. (Tahun ini, iklan sebuah raksasa rokok sepertinya yang paling mendekati realita bangsa). Para pejabat sibuk merangkai kata yang (berusaha) mengobarkan semangat untuk dipampang dalam baligo, spanduk, atau iklan layar kaca.

Anak-anak kecil, dengan mulut penuh remah putih kerupuk, goyangan pantat yang dilingkari benang dan pinsil, dan tangan-tangan kecil mengenggam kertas minyak warna Merah-Putih di ujung sebatang lidi. Mereka pun merayakan. Dengan kedua tangan saling beradu, bertepuk, berteriak memberi semangat. Saat ayah, paman, dan kakak mereka tengah panjat-memanjat. Dan badan berlumuran oli karena menempel pada sebuah batang pinang besar. Demi mendapat puluhan hadiah tergantung di ujungnya. Mereka merayakan.

4.       U.p.a.c.a.r.a

Berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan. Siku membentuk suduk 45⁰. Ujung jemari tangan kanan tertempel di pelipis, persis di sudut alis sebelah kanan. Memberi hormat, secara fisik, dan batin, kepada bendera Merah Putih. Yang kini telah bebas berkibar di manapun, kapanpun. Tanpa harus mengorbankan satu titik darah pun.

Pita suara menggetarkan nada-nada beraturan. Mulut melengkapinya dengan mengucap kata-kata nasionalis. Bernyanyi secara fisik, dan batin, kepada Tanah Air.

Entah mengapa banyak orang yang melupakan upacara. Satu hal yang menurutku mampu memberikan ikatan kuat, mengingatkan kembali tentang identitas kita.  Entah mengapa banyak orang yang bosan akan upacara, jengkel akan upacara. Apakah karena amanat yang membosankan? Atau terik matahari yang tak mau kompromi? Mungkin juga karena Preambule 1945 yang terlalu lama hingga membuat kaki kram. Rasa bosan yang akhirnya membuat satu-dua temanku pingsan, karena kelelahan. Kini, saat usiaku telah lewat seperempat abad, aku merindukan upacara. Sama seperti aku selalu menyukainya sejak kecil.

 

Selamat ulang tahun, bangsaku! Terima kasih, karena memberi kami satu tanggal yang berarti untuk seluruh masyarakat Indonesia. Satu hari perayaan untuk semua orang, tanpa harus memikirkan perbedaan agama, suku, ataupun pandangan politik.


Cerita Lainnya

Lihat Semua