info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Ibunda Juwita dan Ananda Wardi

Juwita Fitrasari 20 Agustus 2012

Namanya Wardi. Usianya 9 tahun dan masih duduk di kelas III SD. Dia seperti anak laki-laki kebanyakan; nakal, suka bermain, malas belajar, tidak bisa diam, dan gemar bertanya. Keluarga Wardi sangat sederhana. Ayahnya sudah tujuh tahun belakangan menderita asma dan tidak bisa bekerja, praktis yang menjadi tulang punggung keluarga adalah ibunya. Wardi memiliki dua orang kakak kandung, kakak pertama telah berkeluarga dan tinggal di luar kota, sementara kakak keduanya yang bernama Siti, masih duduk di bangku SMP kelas III.

Wardi bukanlah anak yang cepat menangkap pelajaran, dia membutuhkan beberapa kali pengulangan. Ternyata selain sukar menangkap pelajaran Wardi juga keras kepala. Saat belajar mengaji, Wardi sering sukar membedakan mana huruf ja, kha, dan kho. Ketika dia salah menyebut nama sebuah huruf dan aku ingin membenarkannya, dia cepat-cepat berkata “nyaho’, Bu, nyaho’...em ya tapi lupa, apa ya, tunggu Bu!” selalu begitu. Biasanya aku akan membiarkan Wardi berpikir sendiri dan mengamati tingkah lakunya yang meremas-remas jari sembari komat-kamit menyebutkan urutan 28 huruf hijaiyah, melihatnya kembali membuka halaman-halaman Iqro’ sebelumnya, dan bersabar menunggu sampai dia menyerah dan membutuhkan bantuanku.

Wardi yang tidak bisa diam itu sering tidak sadar kalau dia menganggu teman-temannya saat mengaji. Jika aku sedang mengajar temannya dan bertanya huruf apa ini, Wardi spontan menjawab padahal aku bertanya bukan padanya dan padahal jawabannya pun juga salah. Kejadian seperti itu selalu terjadi di beberapa hari pertama aku mengajar mengaji. Wardi beberapa kali aku minta diam atau menjauh dari pintu kamarku tapi beberapa menit kemudian dia merangsek maju dan kembali mengganggu. Akhirnya untuk mengantisipasi hal itu, aku membuat aturan tutor sebaya, jadi sebelum anak-anak mengaji padaku, mereka yang tingkatan Iqronya tinggi akan mengajar yang tingkatannya rendah. Dan yang rendah mau tak mau harus belajar dengan temannya sampai aku panggil mereka satu-persatu untuk mengaji padaku.

Wardi itu pemberani dan bukan penyabar. Beberapa hari yang lalu, gigi Wardi goyang dan sepertinya sakit bukan kepalang. Saat aku tinggalkan dia di rumah sementara aku mengambil air di pancuran, dia masih meringis kesakitan. Sepulangnya dari mengambil air, aku lihat di depan pintu dia masih meringis kesakitan tapi kali ini ada gurat lega diwajahnya. Di depan pintu aku lihat ada bercak darah dan aku langsung curiga.

            “Wardi, gigi kamu masih sakit?”

            Wardi mengangguk “Tapi sudah saya cabut, Bu!”

            “Pakai apa?”

            “Pakai benang, Bu. Ini giginya!”

Wardi sering mengesalkanku, yang paling aku ingat jelas adalah saat kami berjalan pulang dari mengambil jambu air di kebun dan harus melewati kandang anjing. Aku sibuk menahan degup jantung saat melewati anjing itu, apalagi sebelumnya Wardi berhasil menakut-nakutiku dengan berkata bahwa anjing tersebut sering mengejar orang yang lewat di depannya. Berbeda denganku yang ketakutan, Wardi berjalan santai dan sibuk bicara dengan anjing itu, sesekali menakuti anjing dengan kayu yang dia bawa. Si anjing diam menatap tajam ke arah Wardi. Berkali-kali aku minta Wardi diam dan segera berjalan, apalagi Enok yang ada dalam gendonganku mulai menangis ketakutan. Wardi seolah tidak mendengarku sampai akhirnya ku katakan padanya dengan agak keras bahwa kalau dia begitu terus aku akan marah padanya.

Wardi selalu punya seribu macam cara untuk melumerkan kekesalanku. Dia selalu menjadi yang pertama datang mengaji, mengacungkan tangan saat ku beri pertanyaan padahal belum tentu dia bisa menjawabnya, ikut bernyanyi dengan suara dan lirik yang dia ingat seadanya, menjadi pendukung setiaku saat aku mengadakan kegiatan bersama anak-anak, sering meminjam kameraku untuk mengambil fotoku diam-diam dan hasilnya buram, membagikan jajanan yang dia punya untukku, selalu mengulurkan tangan untuk membantuku mengambil air, membuat layang-layang, mencari jambu air, dan membersihkan atap kamar. Di sekolah dalam waktu setengah jam dia bisa menyalami tanganku sampai tiga kali.

Suatu malam saat aku hendak menutup pengajian dan mengucapkan terimakasih kepada anak-anak yang telah hadir dan belajar keras, Wardi dengan lantang menjawab ucapan terimakasihku dengan kata-kata. “Terimakasih kembali ibunda Juwita yang baik, saya senang sekali hari ini”. Aku terharu dan semua tertawa, aku tidak tahu darimana Wardi mendapatkan kata ibunda, meskipun sudah kelas III mengenal abjad saja ia belum bisa, lagipula selama ini dia hanya memanggilku ibu.

Iya ananda Wardi, terimakasih karena telah memanggilku ibunda. Terimakasih karena engkau mau menjadi anakku dan bersenang-senang bersamaku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua