Kelasku Luar Biasa

Wahyu Setioko 10 Agustus 2012

                 Ini kisah tentang aku dan kelas kecilku. Kelas yang aku bimbing saat ini adalah kelas 6 dari sebuah SD terpencil di Pulau Bawean. Kelasku terkenal. Sebelum hari pertama masuk sekolah, aku sudah mendapat banyak pesan dan wejangan dari beberapa pihak tentang kelasku itu. Orangtua angkatku, kepala sekolah, pengajar muda sebelumnya, guru-guru sekolah, bahkan guru yang sebelumnya menangani kelasku itu pun sudah dari jauh-jauh hari menyalakan lampu kuning padaku untuk menghadapi kelas ajaib itu.

                Kelasku adalah kelas yang paling nakal di sekolah, tidak bisa diatur, sering membuat guru-guru kesal, marah, bahkan menangis. Beberapa anak yang tidak naik kelas berkumpul disana. Kurang lebih seperti itulah rangkuman wejangan dari pihak-pihak yang aku sebutkan diatas. Kala itu, aku hanya tersenyum mendengarnya, senyum bahagia dan khawatir yang bercampur menjadi satu. Bahagia karena aku mendapat tantangan baru, dan khawatir karena kabar tersebut cukup objektif, datang dari berbagai pihak. Artinya, mereka serius mengatakan hal itu berdasarkan fakta. Deg deg.

                Aku tak gentar sama sekali kala itu. Pasalnya, aku baru saja tiba disini membawa segudang amunisi teknik-teknik mengajar yang terbalut indah dengan kobaran api semangat untuk menginspirasi anak-anak negeri. Idealis, namun penuh ketulusan. Meski bukan berasal dari jurusan kependidikan, namun 2 bulan pelatihan yang luar biasa di Purwakarta itu cukup berarti mengisi pemahamanku tentang pendidikan dan pengajaran. Aku percaya diri luar biasa untuk menghadapi kondisi kelas seperti apapun.

                Dan....

                Hari pertama masuk sekolah pun tiba, aku bersyukur segalanya berjalan lancar. Aku tak melihat satupun kesesuaian antara cerita pihak-pihak diatas dengan keadaan yang aku hadapi di kelas. Kelasku sangat tertib, kelasku sangat bersemangat, kelasku sangat antusias menerimaku. Mereka (pihak-pihak diatas) telah berpikir salah, pikirku. Minggu-minggu pertama sekolah, aku sangat menikmati mengajar di kelasku. Aku sangat mencintai murid-muridku. Mereka memiliki kreatifitas yang luar biasa. Aku selalu menantikan esok hari untuk bertemu dan menyajikan pengajaran kreatif lagi kepada mereka. Aku katakan pada pihak-pihak di atas, kelasku tidak seperti yang mereka pikirkan. Kelasku luar biasa.

***

                Hari itu, tiga minggu sudah aku mengajar di kelasku yang luar biasa itu. Sedikit demi sedikit, satu demi satu, keadaan kelasku mulai berubah. Mulai ada yang bergerak-gerak liar di dalam kelas, mulai ada yang keluar masuk kelas seenaknya, mulai ada yang bertindak tidak sopan di dalam kelas, mulai ada yang tidak mendengarkan perkataanku sama sekali, mulai ada yang tidak bisa berhenti bersuara, mulai ada yang bermain voli atau takraw di dalam kelas, mulai ada yang cemberut dan tak memberikan senyumnya kepadaku, mulai ada yang membuatku mengelus dada, mulai ada yang membuatku marah secara verbal, mulai ada yang membuatku berkaca-kaca, bahkan meneteskan air mata. Lengkap. Tapi pikiranku tak berubah. Bagiku, kelasku luar biasa. Tapi kali ini, dalam konteks yang berbeda.

                Aku mulai mengalami demotivation. Senyumku tak seindah dulu lagi. Dahiku mulai berkerut tiap kali masuk kelas dan melihat tingkah murid-muridku. Aku tak sesering dulu lagi mengajar dengan kreatif, khawatir dikacaukan oleh murid-muridku sehingga memakan waktu lama. Emosiku sering terpancing, bersyukur sejauh ini masih dapat aku tahan di depan mereka. Sedikit demi sedikit aku mengamini pernyataan pihak-pihak yang telah memperingatiku dulu sebelum sekolah dimulai. Aku mulai kehilangan gairah. Aku menyadarinya, aku tak lebih dari sebongkah robot guru. Bukan gurunya manusia.

                Saat titik rendah itu, aku ingat dengan Gurunya Manusia. Aku ingat dengan konsep dan paradigma dari Pak Munif Chatib yang aku terima saat pelatihan di Purwakarta. Bersyukur aku membeli 2 buah bukunya, Sekolahnya Manusia dan Gurunya Manusia. Aku lahap buku itu saat aku sedang down. Hasilnya, istighfar-pun membasahi bibirku. “Bukan seperti ini, seharusnya aku bersyukur”, batinku.

                “Hari ini kuucapkan Alhamdulillah ya Allah! Tahun ini, aku mendapat karunia dengan mengajar anak-anak luar biasa, yang membuatku tertantang menjadi agent of change bagi diri mereka dan diriku sendiri. Terima kasih ya Allah! Tahun ini, aku belajar dari siswaku yang ‘tidak bisa diam’, aku belajar dari siswaku yang sulit memahami materi, aku belajar dari siswaku yang nakal, yang setiap hari terus menggodaku. Aku benar-benar bersyukur ya Allah, Engkau hadirkan mereka untuk aku. Bagiku, mereka adalah rezeki. Bagaimana tidak, ilmuku bisa bertambah karena kehadiran mereka. Kesabaranku bisa berlipat-lipat karena kehadiran mereka. Dan yang paling kunikmati adalah ketika mereka tersenyum dan membisikkan sebuah kalimat di telingaku, “Pak Guru,...ternyata aku bisa!”. Ya Allah berikan kekuatan kepadaku untuk terus berjuang menjadikan mereka insan-insan yang kelak akan punya manfaat, bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agamanya. Amin ya rabbal ‘alamin” (Gurunya Manusia : 70).

                Ternyata memang banyak sekali yang harus aku syukuri dari kehadiran murid-murid kelasku yang luar biasa itu. Aku belajar banyak dari mereka. Aku berjanji, akan terus berjuang untuk mereka. Demi sebuah kalimat yang paling ingin aku dengar dari mereka, “Pak Guru,... akhirnya aku bisa!”. Itu saja sudah membuatku bahagia sekali. Sederhana. Ya, karena Bahagia itu Sederhana. Bahagia itu, melihat kalian (murid-muridku) BISA.

Dari Gurumu yang sangat menyayangi kalian, Pak Koko.


Cerita Lainnya

Lihat Semua