Tentang Kakak yang Belum Kutemui

VassilisaAgata Yuwana Adam 20 Juli 2015

"Bu, coba lihat! Itu foto Pak Andri dengan Teddy."

Ditunjukkan padaku selembar foto yang menyembul di balik kalender dinding. Kuambil selembar kenangan itu dan pemuda bermata cerah menatap balik. Di gendongannya, ada dua orang anak laki-laki yang menyengir lebar. Seorang bernama Teddy, yang ibunya dengan antusias menunjukkan selembar kenangan itu padaku. Seketika aku merasa rindu pada pemuda bermata cerah yang belum pernah kutemui itu.

Aku adalah Pengajar Muda angkatan kelima, artinya, ada empat orang Pengajar Muda lainnya yang lebih dulu hadir di desa, hidup di tengah-tengah warga. Sudah wajar rasanya, sebagai yang datang belakangan, mendengar banyak cerita dan melihat foto kenangan dari Pengajar Muda lainnya. Karena setahun begitu singkat, momen yang begitu istimewa mereka ceritakan berulang kali dengan penuh semangat. Konon, cerita-cerita ini membuat semangat pengajar baru menjadi kendur. Niat menjadi ciut, merasa tak mampu menandingi pengajar yang telah lalu. Ragu pun kerap muncul, bisa apa aku? 

“Bu, bisa main voli?”

“Bu, aboah kitai nyemerang (Bu, ayo kita berenang)! ”

“Bu bisa main gitar? Organ? Ibu bisa main alat musik apa?”

Saya selalu jujur. Jika tidak saya katakan tidak, jika ya saya katakan ya. Selalu, ketika mendapat jawaban “tidak”, anak-anak menunduk, mulut mengatup, pandangan mata menyurut. Kekecewaan yang tersirat di wajah mereka terkadang membuat saya ingin membungkus diri rapat-rapat. Apa lagi pertanyaan yang tidak bisa aku jawab karena aku tidak mampu? Apa lagi kemampuan pengajar pendahulu yang membuat saya semakin kikuk? Lalu, pertanyaan akan berlanjut dengan cerita masa lalu. Warga bernostalgia sementara saya termangu.  

“Di-iya-kan saja omongan mereka,” seorang teman selalu berkata. "Setiap generasi berhak atas sejarahnya sendiri," lagi seorang besar pernah berkatas. "Masa lalu hanya untuk ditertawakan," yang lain kerap menasihati. Betapa mudah kalimat itu dikatakan. Meski kerap berulang kali diingatkan, perasaan selalu dibanding-bandingkan selalu menetap. Meski saya tahu, betapa mudah menjawab ekspektasi warga, "Kemampuan saya di bidang lain." Betapa enteng menjawab cerita anak-anak, "Ibu tidak bisa ini, Ibu bisanya itu." 

Bagaimana mungkin saya mementahkan cerita warga? Jika saat bercerita, antusiasme terlihat jelas di mata mereka. Kebahagiaan terlihat di senyum mereka. Tawa mereka begitu mengundang saya untuk turut larut dalam kenangan.  

"Dulu itu, Pak Dimas pernah bertanya berapa harga sewa kamar. Ini kan bukan di kota! "

"Bu, dulu kami sama Pak Andri suka nyungkah—loncat—dari pohon itu! Ayo, Bu, coba juga!"

"Ini drama yang dibuat sama Bu Tika sama anak-anak. Nah, ini lagu-lagu koor-nya yang melatih Bu Tika juga."

"Bu, sudah lihat video 7 Pemimpin Presiden di Youtube? Kami nyanyi sama Pak Restar."

Entah berapa kali mereka memutar video-video yang dibuat oleh setiap Pengajar Muda terdahulu. Menatap layar laptop dalam diam dengan antusias, seakan menikmati film terbaru. Membuka satu demi satu foto-foto di depan laptop. Tawa senantiasa terselip saat menceritakan foto cetak yang tersimpan di album. Selembar gambar tak bergerak menjadi begitu berarti untuk mereka. Benda tak abadi yang menandai memori manis yang mereka ingat dalam setahun yang singkat.

Dan antusiasme mereka menulariku. Menanamkan rasa haru setiap kali mendengar cerita tentang “kakak” yang belum pernah saya temui. Tidak ada lagi rasa kikuk, malu, takut, atau bahkan bertanya bisa apa aku dibanding pengajar muda terdahulu. Cerita kenangan warga desa kini membuat saya menjadi lebih dekat dengan saudara sedesa. Ada rasa rindu pada sesama perantauan yang wajahnya baru bisa saya lihat di foto.

Jika nanti akhirnya saya bertemu, saya akan katakan dengan bangga, saya dengar cerita hebat tentangmu! 

Teruntuk Dimas, Cantika, Andri, Rayestar

Jangkang, 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua