info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Menumbuhkan Mimpi Anak Negeri

WidoCepaka Warih 20 Juli 2015

Pada awalnya tidak terbesit di benakku untuk berada di pelosok desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Enggan keluar dari kenyamanan hidup di ibukota. Memulai bekerja selayaknya rutinitas. Waktu itu aku memilih untuk bekerja di salah satu provinsi di Pulau Sulawesi tepatnya di Gorontalo. Salah satu motivasi bisa jalan-jalan, wisata alam dan kuliner.

Setelah beberapa bulan di Gorontalo, aku belajar banyak hal. Melihat secara langsung realita kehidupan di sana. Berinteraksi dengan masyarakat. Aku merenung, terlalu egois ternyata selama ini. Masih memikirikan diriku sendiri. Teringat kembali memori semenjak kuliah, aku banyak dibantu oleh negara, oleh orang lain. Tidak pernah lepas dari yang namanya beasiswa. Mungkin tanpa beasiswa aku tidak bisa berkuliah di kampus yang membawa nama besar negeri ini. Sebuah keberuntungan yang harus aku pertanggungjawabkan.

Aku pernah diberitahu oleh senior di kampus bahwa ada gerakan yang mengirimkan sarjana-sarjana terbaik untuk mengabdi selama satu tahun di pelosok negeri, menjadi seorang Pengajar Muda.

Kala itu aku masih bekerja di sebuah perusahaan swasta. Apa yang sudah aku berikan ke negeri ini. Rasa-rasanya justru negara yang sudah memberikan lebih ke diriku. Aku konsultasi ke banyak orang tentu dengan orang tua mengenai jalan yang aku ambil. Banyak yang mengatakan aku terlalu bodoh. Sudah dapat pekerjaan enak dan nyaman, malah mau ditinggalkan memilih mengabdi di pelosok. Apa yang ku cari?

Aku memantapkan diriku untuk memilih jalan ini. Memohon do restu dari orang tua. Aku mengambil risiko tertinggi dengan mengundurkan diri dari perusahaan tempat saya bekerja. Atasan saya tidak kalah terkejutnya dengan keputusan saya. Beliau menyayangkan kalau saya keluar dari perusahaan ini. Saya sudah membuat keputusan final, padahal belum tentu juga saya diterima menjadi seorang Pengajar Muda Indonesia Mengajar.

Seleksi demi seleksi aku ikuti. Aku nikmati setiap proses yang ada. Butuh pemikiran dan tenaga ekstra karena seleksi ini agak berbeda dengan beberapa yang pernah aku ikuti. Singkat cerita aku dinyatakan diterima sebagai Calon Pengajar Muda. Mengapa masih calon? Karena aku harus menjalani pelatihan intensif selama 2 bulan termasuk pelatihan fisik. Pelatihan merupakan ajang seleksi final yang menentukan dan mendebarkan.

Hari keberangkatan pun tiba. Bandara yang menyandang nama besar Bapak Bangsa ini menjadi saksinya saat dingin masih menerpa tubuh saya. Tidak tidur malam itu. Saya mendapatkan kehormatan mengabdi di Tulang Bawang Barat, Lampung.

Saat ini saya sudah memasuki purnama ke tujuh selama masa penugasan. Jangan bayangkak sekolah sudah layak seperti sekolah lainnya. Sekolah tempat saya bertugas masih berupa papan kayu dengan atap asbes tanpa adanya akses listrik. Jalan menuju desa berupa tanah yang ketika musim penghujan menjadi sangat licin. Entah sudah berapa kali aku terjatuh bersama motor TVS kesayangan.

Guru-guru yang mengajar semuanya masih honorer. Gaji mereka terima selama 3 bulan sekali. Selepas mengajar mereka menyambung hidupnua dengan menderes karet dan berkebun singkong. Jangan tanya harga minyak bensin di sini. Sekolah ini berdiri atas inisiatif dari masyarakat. Murid-muridnya sangat beragam terdiri dari suku Lampung, Bali dan Jawa. Sedih dan miris melihat mereka menggunakan sepatu yang sudah robek, baju lusuh, apalagi ketika musim hujan ketika mereka belepotan datang ke sekolah. Kedatangan mereka di sekolah adalah suatu kebahagiaan.

Melihat bendera merah putih berkibar setiap hari senin, melihat guru-guru semangat datang ke sekolah, melihat anak-anak riang ke sekolah adalah hal-hal kecil yang akan menginspirasi kita. Dalam segala keterbatasan ada mutiara-mutiara yang selama ini terpendam. Soal bermimpi? Pada awalnya membayangkan saja tidak berani. Bermimpi tinggi pun mereka takut. Keluar dari desa pun masih takut. Akan tetapi, sekarang mereka sudah memasang mimpi-mimpi di langit tinggi dan siap mengejarnya.

Kami menjadi saksi ketika melihat anak-anak dari pelosok desa bisa lolos lomba di tingkat provinsi. Mereka bisa bertemu langsung dengan gubernur dan kapolda. Kami menjadi saksi bagaimana semua pihak baik kepsek, guru, kepala desa dan masyarakat berkegerak bersama agar mereka bisa berangkat sampai ke provinsi. Kami menjadi saksi bahwa anak-anak pertama kali menjejakkan kaki di kota. Pembelajaran dan memori yang akan dikenang seumur hidup mereka. Sepulangnya mereka bercerita kepada teman, orang tua, tetangga dan semuanya atas apa yang mereka lihat dan mereka rasakan selama di provinsi. Siapa sangka anak dari hutan karet bisa bersalaman dengan gubernur? Tidak ada yang membayangkan sebelumnya.

Kami menjadi saksi bagaimana masyarakat bahu membahu untuk membangun kelas tambahan 1 lokal lagi. Dan semuanya atas inisiatif mereka di segala keterbatasan untuk pendidikan anak-anak mereka. Kami menjadi saksi guru-guru yang pagi-pagi rela mengantarkan anak-anaknya mengikuti lomba olahraga dan sains di kecamatan yang lokasinya jauh dari sekolah kami. Belum lagi jalanan yang harus ditempuh masih berlumpur, melewati hutan sawit dan karet serta kebun singkong yang luas. Kami pernah mengejar-ngejar anak kelas 6 yang sudah lama tidak masuk sekolah padahal ujian nasional sebentar lagi tiba. Kami datangi rumah orang tua. Ternyata si anak tidak ada di rumah, masih berada di kabupaten lain. Kami bujuk orang tua dan si anak. Tidak sekali dua kali kami datang sampai sang anak akhirnya luluh untuk kembali bersekolah. Bayangkan apa yang kamu rasakan jika berada di sana kala itu?

Menjadi seorang guru bagiku adalah sebuah kehormatan. Tidak namanya presiden, tidak ada namanya gubernur yang lahir tanpa ada jasa seorang guru. Mereka yang akan menumbukan mimpi anak didiknya. Untuk berani bermimpi lebih tinggi dan berani meraih mimpi yang telah mereka tanam. Menjadi seorang guru adalah sebuah pengabdian yang tak pernah putus. Pahala yang akan terus mengalir akan kebaikan-kebaikan dan ketulusan yang mereka tabur. Terima kasih kepada bapak ibu guruku, tanpamu aku tidak berada di sini sekarang.

Tulang Bawang Barat, 22 Juli 2015

Cerita Lainnya

Lihat Semua