info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kata - Kata Bukan Kentut

ShandyLeo Kristanto Marpaung 21 Juli 2015

 

“Bapa guru, katong kesini dulu pi ambil kelapa muda.”

“Pi ambil kelapa muda ?” Tanyaku dengan heran.

“Iya bapa guru. Kemarin katong su janji ambil kelapa muda par bapa guru, tapi bapa guru su pi saumlaki lai, jadi katong seng bisa kasi.”

Sejenak aku terdiam mendengar kata – kata mereka. Tidak kusangka, ronda – ronda (jalan – jalan) di siang hari yang panas itu akan memberi pelajaran berharga bagiku. Siang itu memang aku baru kembali ke desa, setelah hampir 3 minggu aku berada di saumlaki. Setibanya dari kota dengan motor laut (kapal kecil bermesin tempel) aku langsung menyempatkan diri berkeliling desa, untuk bercengkerama dengan penduduk. Maklum saja, aku belum sempat membangun relasi yang baik dengan penduduk sini. Hanya 4 hari saja aku pernah berada di desa, sebelum akhirnya menghabiskan banyak waktu di kota. Kalau istilah IM dalam dimensi kepemimpinannya, aku belum melakukan BPWR (Building Positive Working Relationship) dengan penduduk desaku.

Motor laut pun merapat di dermaga setelah berlayar kurang lebih 4 jam dari larat. Di dermaga, aku sudah disambut luix, adikku, yang entah karena angin apa dia ada di dermaga siang – siang panas begitu. Dengan cekatan dia membantuku mengangkat barang bawaan kerumah. Dengan lari yang tergopoh – gopoh dari halaman samping, mama piara menyambutku dengan membukakan pintu rumah. Mama  rupanya lagi menghabiskan waktu siangnya mengobrol dengan mama  - mama lain di sekeliling rumah.

“Bapa ada di mana ma ?”

Segera aku membuka percakapan setelah meletakkan barang bawaan kedalam kamar.

“Bapa ada pi kerja kantor camat nyong.”

Wah, pas sekali pikirku. Disana pasti ada bapa – bapa lain yang sedang bekerja. Bisa kumanfaatkan untuk memulai praktik BPWR ku.

Setelah aku mencuci muka, segera kuajak luix untuk mengantarku ke kantor camat. Di desa kami memang sedang ada pembangunan kantor camat baru. Dalam pembangunannya, warga jemaat gereja desa bekerja disana selama 2 hari (Selasa dan Rabu) untuk membangun kantor camat. Mereka mencari dana untuk pembangunan gereja. Upah yang dibayarkan pada mereka akan dipergunakan sepenuhnya untuk pembangunan gereja.

Luix sudah siap dengan pasukannya. Menas, meki dan yan. 4 orang ini memang menjadi kawanku paling akrab sejak pertama kali berada di wunlah (desaku). Saat baru pertama datang, mereka sudah dengan semangat mengajakku pi mandi air garam (mandi di laut), naik sampan dan main bola. Kami pun pergi menuju kantor camat. Seperti biasa, hampir disepanjang jalan, orang – orang menegurku. Dan layaknya artis, sambil tersenyum aku membalas teguran itu. Aku hanya mengikuti jalan keempat anak itu. Maklum, aku tak tau dimana letak dari kantor camat yang baru dibangun itu. Diujung desa, tepatnya di kantor camat lama, yang banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa, kami pun berhenti.

“Kantor camat baru nya dimana ?” Tanyaku sedikit memprotes

“Katong pi ambil kelapa muda dulu pa guru.” (Kami pergi ambil kelapa muda dulu pak guru)

“Ambil kelapa muda ?” Tanyaku agak heran, karena tidak ada kesepakatan minum kelapa muda sebelumnya.

“Iya bapa guru. Kemarin katong su janji ambil kelapa muda par bapa guru, tapi bapa guru su pi saumlaki lai, jadi katong seng bisa kasi.” (Kemarin kami sudah janji untuk mengambil kelapa muda untuk bapak guru, tapi bapak guru sudah pergi ke saumlaki lagi, jadi kami gak bisa kasi)

Yan rupanya sudah berlari ke rumahnya yang dekat dari situ dan mengambil parang. Meki dan menas dengan cekatan memanjat pohon dan menjatuhkan beberapa buah kelapa muda. Setelah mereka turun, meki juga dengan cekatan membukakan kelapa muda itu untuk bapa gurunya.

Sambil minum air kelapa yang segar itu aku sambil mengingat - ingat.

Memang waktu pertama kali aku datang, sesudah kami lelah mandi di laut dengan aku yang berusaha cukup keras naik sampan tanpa terbalik, meki pergi memanjat pohon dan mengambilkan buah kelapa. Sayang, kelapa yang dipetik meki sudah tua. Dagingnya sudah keras. Meki pun berjanji, besok akan mengambilkan kelapa muda buat bapa gurunya ini. Tapi sayang, besoknya aku harus pergi ke saumlaki  dengan kapal subuh – subuh sekali. Aku tak sempat berpamitan dengan meki dan kawan – kawan. Hanya dengan luix yang memang adik ku yang tinggal serumah denganku.

Aku sungguh tak menyangka anak – anak ini mengingat perkataan mereka, yang bahkan aku sendiri kesulitan mengingat bahwa mereka pernah mengatakannya. Biasanya, orang yang dijanjikan akan mengingat janji itu, sedang yang menjanjikan, cenderung lupa. Tapi disini kebalikannya. Anak – anak ini ternyata masih mengingat janji yang mereka katakan. Biasanya juga mungkin kita dengan mudah berjanji dan begitu mudahnya juga untuk mengingkarinya dengan alasan lupa atau beribu alasan lain. Tapi, anak – anak ini mengajarkan untuk menepati janji yang sudah diucapkan.

Dulu waktu mahasiswa, aku sering beretorika kalau kata – kata itu bukan kentut, yang hanya keluar begitu saja, dan yang dihasilkan tidak lain hanya bau. Dan disini, anak – anak yang belum genap seminggu mengenal dan bermain denganku ini, sudah mengajarkanku arti sesungguhnya dari kata – kata itu. Aku yakin mereka belum pernah mengikuti kuliah pak anies tentang integritas, tetapi mereka telah mengajarkan untuk menanggungjawabi setiap perkataan yang keluar dari mulut. Aku juga yakin kalau mereka tidak memiliki retorika tinggi – tinggi tentang kata – kata adalah perjuangan, tapi mereka sudah mewujudkan apa yang mereka ucapkan. Mereka seperti sedang menonjok kepalaku sambil menggedor – gedor hati kecilku dengan perbuatan mereka. Pikiran utopis ku pun berkelana, andai kita punya ketulusan seperti mereka, mungkin aku tak perlu ada di desa ini. Entah apa lagi pelajaran hidup yang akan kudapatkan selama setahun bersama mereka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua