Budaya “Panas Pela” Kunjungan Persaudaraan antar Desa

JarotDwi Handoko 21 Juli 2015

Menjadi pengajar muda sungguh sangat beruntung karena bisa belajar banyak dari kearifan warga lokal di daerah yang masih menjaga prinsip-prinsip yang mereka pegang teguh. Selain kearifan lokal mulai dari bahasa, tata cara hidup, hubungan erat keluarga, adat istiadat dan yang paling menarik adalah seni budaya.

Meskipun saya bukan orang berlatar belakang seni tetapi saya sangat senang (ingat, hanya senang) melihat seni budaya Indonesia, karena banyak ragamnya dan unik. Belum lagi ditambah dengan aroma-aroma kemistisan atau adat yang kuat dari setiap pertunjukan seni budaya tersebut.

Beruntungnya saya menjadi pengajar muda di Kabupaten Maluku Tenggara Barat karena di Kabupaten ini masih banyak Desa-desa yang masih memegang teguh adat istiadat dan kebudayaan daerahnya (meskipun belakangan saya mendapat informasi dari salah satu tetua adat, kadar kemistisannya sudah mulai pudar) tetapi setidaknya proses kebudayaan ini masih tetap berjalan dan dirawat untuk tetap melestarikan salah satu kekayaan Nusantara.

Disuatu momen ketika saya pulang ke kampung halaman tempat saya belajar dan mengajar (setelah sekian lama, terkatung-katung di Kota karena tidak ada kapal menuju Desa) saya beruntung (kembali) karena satu hari setelah saya di Desa ada informasi bahwa Desa tetangga yaitu Desa Wadankao akan mengunjungi Desa kami yaitu Desa Adodo Molu. Menurut cerita para tetua adat Desa kami memang erat hubungannya sebagai adek dan kakak bahkan sampai ada prasasti bukti dari keeratan hubungan adik dan kakak yaitu prasasti “batu adik kakak” batu ini menunjukan bahwa ada tiga Desa yang memiliki hubungan erat sebagai adik dan kakak, Desa Wadankao, Desa Adodo Molu dan Desa Wulmasa, di kecamatan Molumaru.

Kunjungan dari Desa Wadankao adalah untuk mempererat hubungan saudara agar tidak terlupakan, adat berkunjung ini memang menjadi acara rutin tahunan sebagai wujud silaturahmi saudara kandung kepada saudara lainnya (amat penting bukan makna dari kegiatan adat ini, mempererat tali silaturahmi dan menguatkan hubungan persaudaraan). Entah kenapa saya semakin senang bisa menyaksikan tradisi yang amat kaya ini.

Kunjungan persaudaraan ini dikemas menjadi unik tidak semata-mata kunjungan karena tamu (Desa Wadankao) harus mau mengikuti permintaan dari tuan rumah, misalnya jalur kedatangan sudah ditentukan dengan simbol bendera dan kain tenun Tanimbar pada gerbang utama Desa. Selain itu Desa Wadankao sebagai tamu akan memberikan persembahan tarian adat yang terkenal masih mistis itu yaitu tarian Tnabar Ila’a yang akan di tarikan oleh para laki-laki Desa Wadankao. Dengan sebelumnya wajah dan tubuh mereka di buburi oleh oli sehingga seperti pasukan perang (tetapi sayangnya mereka tidak menggunakan pakaian adat). Aroma kemistisan sangat tersa ketika tarian dimulai, pada proses jalan menuju tempat yang ditentukan setiap orang dilarang untuk melewat atau memotong jalan gerombolan penari, karena bila kita melewat atau memotong jalan tersebut maka akan dipastikan kita akan hilang pergi ke hutan dan tidak akan kembali atau akan meninggal seketika (menurut sumber yang dapat dipercaya; warga dan Tetua Adat).

Sebagai kompensasi setelah tarian dan kunjungan selaesai, kami (Desa Adodo Molu) harus menjamu baik warga Desa Wadankao sebagai saudara yang berkunjung, maka Desa Adodo harus memberikan tumpangan menginap dan makan mereka hingga esok hari terjamin (ah, mesra bukan persaudaraannya). Mungkin hal seperti ini akan sulit kita temukan di kota-kota (kalian pasti tahu alasannya kan). Semoga adat dan budaya ini masih terus dijalankan dan akan menjadi suguhan yang menarik untuk orang-orang yang sudah mulai luntur wawasan ke-Indonesiannya seperti saya.

“Sekali lagi saya amat beruntung bisa menjadi bagian program pembelajaran yang amat berharga ini sebagai upaya peningkatan pemahaman akar rumput agar kita bisa lebih bangga menjadi Indonesia”

Jarot Dwi Handoko

Pengajar Muda Angkatan X Maluku Tenggara Barat


Cerita Lainnya

Lihat Semua