Sudah Kerasan di Desa?

VassilisaAgata Yuwana Adam 24 Agustus 2015

“Gimana? Sudah kerasan belum di sini?”

Pertanyaan itu selalu diajukan kepadaku. Entah untuk basa-basi atau untuk menguji pendatang sepertiku yang hanya setahun berada di tempat terpencil. Sudahkah nyaman dengan makanan lokal, panas yang menggigit, air sungai yang harus diakrabi setiap hari.

Saya tidak pernah berbohong ketika menjawab, “Kerasan kok!” Saya selalu gembira berada di desa, menceburkan diri di air sungai hitam yang menyegarkan, minum air hujan. Membeli sayur di pasar adalah kemewahan, membeli buah di tukang buah adalah kesalahan. Ketika ikan dengan mudah bisa didapat di pasar, pun jamur tumbuh subur siap disayur, eksotisme apalagi yang harus saya keluhkan?

Hanya setahun yang kuhabiskan di sini. Menyamankan diri dengan kondisi di desa sungguh terasa sangat mudah. Karena setelah ini, keseharian di desa hanya menjadi cerita, minimal diabadikan dalam foto dan dibanggakan melalui cerita.

“Wah, kalau saya sih sudah bosan.” Warga setempat tak jarang menjawab sinis. Entah berusaha jujur atau menyindir saya yang begitu mudahnya merasa betah. Bagi mereka tak ada setahun tinggal di desa. Bagi mereka adalah seumur hidup dalam kekurangan. Keseharian mereka di sini bukan eksotisme yang layak diobralkan oleh orang kota. Tidakkah saya malu hanya bisa menumpang di rumah orang, menumpang mencicipi nikmat dari kerja keras mereka di alam liar? Lalu hanya saya yang diam-diam bersyukur?

Lain kali ketika ditanya, mungkin saya akan menjawab.

“Hidup di desa berat. Tidak ada listrik, sinyal harus dicari. Ikan jarang ada, nyamuk dan agas selalu datang. Kadang nasi berlimpah, lauknya hanya kecap dan cabai. Baru saja duduk di rumah, anak-anak sudah ribut mengajak saya ke hulu dan hilir. Tidak ada yang mengatakan hidup di desa itu mudah.

Tapi di kota berenang saja harus bayar, di sini sungai ada di belakang rumah. Tiang listrik lebih banyak daripada pohon, di sini hutan selalu menjadi peneduh jalan. Sayur mayur harus mencari di pasar, di sini sayur ditanam siap dimakan. Durian dijual hingga seratus ribu, di sini bisa tiga sepuluh ribu. Di kota, jalan kaki ditertawakan, di sini jalan kaki memudahkan menjelajah ladang. Rumput liar habis dibabat, di sini semak liar tumbuh dengan bunga yang cantik. Malam di kota hanya diterangi lampu buatan, di sini, bintang, bulan, kunang-kunang selalu ada.

Jika ada terlalu banyak kebahagiaan yang saya rasakan, haruskah saya merasa tidak kerasan?”


Cerita Lainnya

Lihat Semua