Merdeka dalam Kolaborasi

FidellaAnandhita Savitri 24 Agustus 2015

"Bu Della, gimana ya kalau kita buat pawai akbar gabungan SD, SMP, SMA?"

Di pagi hari yang cerah di awal Agustus, Pak Udin, guru kelas 5, menanyakan pendapat saya mengenai usulnya tersebut. Karena di desa ini adem ayem saja menyambut HUT RI ke-70, Pak Guru berjiwa nasionalis ini ingin melakukan sesuatu untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan.

"Ide bagus, Pak! Lebih bagus lagi kalau kita mulai gerak. Kapan nih kita mau ajak teman-teman guru SMP-SMA? Secepatnya kalau bisa" sahut saya. Kata orang, sebaik-baiknya ide adalah yang dieksekusi. Jadi, mari beraksi!

Diskusi kami ternyata mengundang perhatian guru-guru lain. Dalam sekejap kami sudah berkumpul untuk rapat kecil-kecilan, membahas mengenai ide pawai pelajar ini.

Tak berlama-lama, siang hari sepulang sekolah, kami bergerak mengajak guru-guru SMP dan SMA untuk ikut terlibat. Respon mereka sangat antusias. Maklum, pawai gabungan seperti ini baru pertama kali diadakan di desa. Biasanya, tiap sekolah membuat sendiri-sendiri acara 17an.

Ditambah, adanya dukungan dari tokoh masyarakat yang kebetulan sedang mampir saat kami bertandang ke SMP membuat guru-guru makin bersemangat.

2 hari kemudian, terbentuklah kepanitiaan 17 Agustus. Proposal dan undangan pun disusun. Setelah semua siap, kami mulai bergerak mencari dana dan melakukan sosialisasi pada warga.

Tak disangka, dana terkumpul dengan cepat. Dalam 2 hari, target rencana anggaran sudah tercapai. Warga desa sangat antusias patungan untuk menyukseskan acara ini. Suasana terasa lebih hidup dengan kesibukan kerja bakti untuk persiapan pawai, mulai dari kostum sampai hiasan merah-putih.

Hari pelaksanaan pun tiba, dan ternyata berjalan lebih dari yang diperkirakan. Mengetahui pihak sekolah sukses mengadakan acara untuk pelajar, pihak desa tidak mau ketinggalan. Diadakanlah lomba-lomba untuk umum. Melihat sekolah dan desa membuat acara, pihak kecamatan pun mulai tergerak untuk merancang pertandingan olahraga antar desa.

Menyaksikan ini semua membuat saya tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Mungkin kelihatannya sederhana. 'Hanya' pawai dan lomba-lomba. Tapi ini menjadi ajang pembuktian bahwa kita berhak merdeka dalam kolaborasi. Acara bisa sukses terlaksana secara mandiri tanpa tergantung birokrasi. Ketika semua bergerak untuk terlibat, tidak ada yang mustahil. Partisipasi sekecil apapun berarti.

"Harapan kita ke depan, warga lebih banyak terlibat dan acara ini bisa digarap lebih serius lagi dari jauh-jauh hari", jelas Pak Tris, guru yang menjadi anggota tim pendanaan, saat berkeliling dari rumah ke rumah untuk melakukan sosialisasi.

Saya mengamini sepenuh hati. Mario Teguh pernah berkata "Satu sendok sibuk lebih baik dari sepuluh kursi goyang". Bayangkan kalau lebih banyak lagi kolaborasi antar 'sendok-sendok sibuk' di desa ini. Pastinya, akan lebih banyak perubahan yang tercipta.


Cerita Lainnya

Lihat Semua