Surat dari Panglero

Tsani Nur Famy 20 Januari 2018

“Hei ko badiam semua, kitong dapat suraaaaaat!” Seru Habibi Herson Essa murid kelas 5 saya di SD Negeri Ampimoi. “He? Surat dari?” Tanya Pilep Valdio Worumi dengan ekspresi melongo khasnya, iya, alis yang tetiba meninggi dan menurun. “Dari murid-murid SD Negeri Panglero!” Jawab saya memecah kebingungan keduanya. “SD Parero kah Ibu? Parero tu dong ada dimana eee?” Sambar Tepanus Elieser Reba sigap seperti biasanya. “Pang-le-ro bah. Panglero! Coba ko ulang baik-baik,” tanggap saya lagi. “Ooooo… Panglero. Tapi itu dimana Ibu? Distrik Yapen Barat kah?” Layang Sapa, saya menyebutnya. Inisiatif menghubungkan anak-anak murid saya di SDN Ampimoi, Distrik Teluk Ampimoi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua dengan orang-orang yang ada diluar lokasi kami melalui bersurat. Kenapa berbentuk surat? Tentunya karena belum ada jangkauan signal telepon di Kampung kami. Selain itu, bukankah sangat seru berhubungan dengan orang nan jauh disana melalui menulis dan berbalas surat? Ada sensasi menyenangkan yang lebih dibandingkan berkomunikasi via telepon genggam. “Aaaaah kitong pu sahabat pena kirim surat toh Ibu? Tapi Panglero itu dimana eee?” Julma Teresia Sembai salah satu siswi saya yang cekatan bertanya. “Mari duduk baik-baik dulu semua baru Ibu kasi ko cerita!” Seru saya. Bersama Thio A. Dwiprasetya kawan sesama Pengajar Muda XIV yang bertugas di SD Negeri Panglero, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan lah Layang Sapa di layangkan perdana di awal tahun 2018 ini. Sebelumnya, beberapa teman dekat saya di Bandung dan sekitarnya sudah lebih dahulu mengirimkan kartu pos untuk beberapa anak murid di Ampimoi. Melihat keseruan dan gembiranya anak-anak murid saya pada saat menerima kartu pos dari teman-teman di Bandung maka saya mengajak Thio untuk ber-layang sapa ketika mengetahui sebelumnya ia melakukan hal serupa dengan rekan Pengajar Muda lainnya. “Semua dengar Ibu tenang eee. Tantangan! Satu, bentuk kelompok berisi tiga orang. Dua,  tentukan kapten kelompok dan ambil peta yang ada di meja buku. Tiga, cari Pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Selatan, dan cari Sungai Musi!” Seru saya memberikan instruksi yang diulang sebanyak dua kali. Semua anak bergerak mengerjakan instruksi yang saya berikan. Butuh waktu setengah jam bagi anak-anak saya menemukan Pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Selatan, dan Sungai Musi yang dicari. Namun, begitulah hakikatnya menjadi Pengajar Muda, kesabaran ekstra sudah pasti menjadi modal utama. “Sudah Ibu!” Teriak Erasmus Apiawi kapten kelompok terakhir yang akhirnya menemukan lokasi yang dimaksud. “Ini toh Ibu? Dong ada tu, tulisannya S. Musi, S itu sungai toh Ibu?” Tanyanya berturut-turut. “Jiii, jauh apa eee. Dong kirim surat dari sini (menunjuk Sumatera) ke sini (Papua) kah Ibu?” Tanya murid lainnya. “Su naik pesawat lima kali, baru naik kapal lagi, baru naik perahu lagi mungkin hahahaha!” Sambar Fales Manobi, tengil seperti biasanya. “Ahem, mungkin tidak lima kali pesawat juga Fales, bisa dua kah tiga kali. Iyo eee, surat datang jauh apaa. Su bisa cara membalas surat toh? Su pernah membalas surat untuk Kakak dari Bandung toh? Sekarang mari tong sama-sama balas teman-teman dari SD Negeri Panglero pu surat, sepakat?” Tanya saya. “Sepakaaat” seru anak-anak murid saya di kelas 5 dan 6.     Surat dari murid di SDN Panglero sudah memiliki penerimanya masing-masing. Namun karena sebagian anak belum mendapatkan sahabat pena dari Panglero, maka mereka menulis surat untuk calon sahabat pena di SDN Panglero sana. “Ibu, tulis tanggal dulu toh?” “Ibu, kalau tanya begini tu sopan kah tidak eee?” “Ibu, dorang (dia orang) makan papeda kah tidak eee?” “Kalau sa tanya dong (dia) di Sumatera itu pantainya bagus kah tidak, itu boleh kah Ibu?”   Dan semua pertanyaan anak-anak diatas hampir selalu saya jawab dengan “Tanya sudah!” Iya, seperti saya yang biasanya membiarkan mereka bertanya apapun, maka kali ini adalah kesempatan untuk mereka bertanya pada anak-anak Sumatera tentang segala yang ada disana. Tentang apakah ada pantai seperti Pantai Arareni dengan air garam berwarna hijau emerald-nya, seperti yang ada di Tanjung Teluk Ampimoi. Ataupun tentang apa kendaraan yang teman-teman di Sumatera gunakan untuk bisa sampai di sekolah, mendayung perahu kah seperti kami di Yapen ini? Biarlah pertanyaan anak-anak Ampimoi terlebih dahulu berkelana menaiki kapal kargo dan pesawat bersama ratusan surat lainnya dari Timur Indonesia ke Barat Indonesia sana. Sesampainya di Sumatera, tentu kami menunggu balasan pertanyaan penuh rasa penasaran kami yang akan dijawab oleh anak-anak Panglero!


Cerita Lainnya

Lihat Semua