Sabeta si Ulat Sagu

Tsani Nur Famy 20 Januari 2018

Dulu (saya hampir lupa tepatnya kelas berapa, mungkin ketika saya duduk di bangku kelas 4 SD), saya memiliki satu acara televisi kesukaan yang setiap pulang sekolah akan saya ‘tongkrongi’ sembari ngemil mie kremes yang ditaruh di wadah berupa mangkok kecil. Nama acaranya “Jejak Petualang”, pembawa acaranya adalah Riyanni Djangkaru, dan saya jelas nge-fans sama Kak Riyanni. Biasanya, Ibu saya akan duduk disamping saya untuk sama-sama menonton Kak Riyanni membawakan acaranya. Di usia yang masih bocah, jika saya ditanya mengapa saya gemar menonton Kakak satu itu dan acara yang ia bawakan, maka saya akan menjawab dengan jawaban yang sama. Saya kagum dengannya karena ia seorang perempuan muda yang berani. Daridulu, bagi saya berani adalah sebuah kata yang jauh lebih bermakna dibanding kata cantik. Entah kenapa ya kata cantik yang dijadikan perbandingan, mungkin karena umumnya jika membahas tentang sosok perempuan pasti kata cantik dengan otomatis ter-link dipikiran, wajar-wajar saja karena kata tersebut mengandung sifat Feminin. Well, semua perempuan pada dasarnya cantik dan semua perempuan bisa menjadi cantiknya sendiri. Tapi untuk menjadi berani dan pergi menjelajahi alam bebas, bagi saya yang masih bocah pada saat itu pun, adalah sesuatu yang berbeda levelnya dari sekadar mengagumi perempuan cantik. Itu bukan sesuatu yang biasa. Selain karena konten acaranya memang seru, karena pada dasarnya acara jalan-jalan ke alam bebas dan juga berisikan liputan mengenai kekayaan budaya Indonesia. Terselip keinginan di diri saya untuk menjadi seperti Kak Riyanni yang berani. Bisa dibilang pada saat itu saya sempat melihatnya sebagai seorang rolemodel. Iseng, sempat saya bilang kepada Ibu saya, “Ma, aku mau jadi kayak gitu pas udah gede. Kepengen naik gunung lewatin hutan, tinggal sama orang-orang suku di pedalaman.” Respon yang saya dapat tepat setelah itu adalah, “Hush, anak perempuan kok pengennya jarambah (baca: berpetualang dalam Bahasa Sunda).” Meski di tahun-tahun berikutnya saya tidak menekuni kegiatan bermain di alam bebas (maklum bukan sinetron yang segalanya langsung jadi), namun 14 tahun kemudian terhitung dari masa itu, disinilah saya. Tinggal di salah satu Kepulauan di Timur Indonesia. Berkehidupan di tempat yang orang bilang merupakan daerah 3T. Di kampung yang sama sekali belum terjamah oleh listrik, saluran air PDAM, maupun signal telepon. Yes, I lived in a remote area kind of place. Long story short, it’s quite challenging but I feel alive here. Di suatu sore di bulan Januari ini, kami pergi untuk tokok sagu di darat sebelah rumah laut kami. Ada saya, Mama, Bapak, dan Dion adik saya. Lagi, Bapak memutuskan untuk mengambil Sabeta (Ulat Sagu bakar). Entah kenapa kali ini terasa spesial karena ulat bukan hanya disusun dan ditusuk seperti sate tetapi dibungkus daun pisang dan dibakar seperti membuat pepes jika di Jawa. “Kakak Ibu harus makan Sabeta banyak sore ini eee!” Bapak bilang. Saya biasanya hanya mencicip satu-dua sate Ulat Sagu, tapi tetiba saya teringat kembali episode yang saya ceritakan diatas, episode dimana dulu saya selalu menonton acara Jejak Petualang dan muncul lah ingatan tentang satu scene dimana pada saat itu Riyanni Djangkaru yang saya kagumi menikmati Ulat Sagu hidup-hidup dan menikmati pula Ulat Sagu bakar. Sambil duduk bercerita saya menceritakan kembali pada keluarga piara saya tentang saya di masa kecil yang dahulu pernah ingin tinggal jauh di pedalaman dan makan Ulat Sagu. “Kalau begitu sudah toh, memang Tuhan su gariskan Kakak Ibu pu takdir hidup datang jauh dari Jawa sana untuk tinggal di Papua ini, baru makan Sabeta sama-sama dengan kitong!” Bapak piara saya, Jorgen Raunsai, dengan cepat menanggapi cerita saya. Saya berpikir kembali, iya ya, bisa se-ajaib itu hidup yang Tuhan gariskan. Mungkin, saya bukan hanya sekadar bilang pada Ibu saya sambil menonton televisi bahwa saya ingin merasakan makan Ulat Sagu di pedalaman Indonesia belasan tahun lalu. Tentu bukan sepenuhnya keberuntungan, tapi dengan berbagai proses dan upaya, disinilah saya membayar rasa keingintahuan Tsani kecil yang dulu ingin merasakan berkehidupan bersama masyarakat lokal di pedalaman Indonesia dan makan Ulat Sagu itu. Be careful of what you wishing for, God heared it. And in this case I can tell, I am grateful for such precious experience.


Cerita Lainnya

Lihat Semua