Mengenal Waktu

Tsani Nur Famy 7 Februari 2018

 

Kampung kecil bernama Kampung Ampimoi, tidak lebih dari 66 kepala keluarga tinggal didalamnya. Saya berpendapat bahwa kehidupan disini berjalan dengan santai. Aktifitas dan kegiatan warga tidak terlalu beragam, polanya cukup sama dari hari ke hari; bangun pagi sekitar pukul 06.00 WIT, duduk-duduk di para-para rumah sambil mengobrol, anak-anak bersiap ke sekolah, anak-anak sekolah sementara orangtua ada dirumah, siangnya sebagian warga terlihat pergi ke dusun dan kebun-kebun mereka, di hari tertentu perahu-perahu pergi menjual sagu ke kota, pada musimnya mama-mama pergi tokok sagu, sore hari anak-anak pergi les dan bermain, sebagian warga menjual sayur hasil dari kebun, ketika matahari terbenam dan hari sudah gelap terlihat asap mengepul dari dapur rumah-rumah pertanda orang didalamnya sedang menyalakan kayu bakar entah untuk memasak atau sekedar memanaskan air di belangah, ketika hari sudah gelap terlihat beberapa rumah yang diterangi dengan lampu yang berasal dari daya genset rumah mereka dan sebagian yang sedang kosong minyak tinggal bersama hening dan gelap gulita, pada pukul 20.00 WIT kehidupan pun seakan berhenti karena kampung kami sudah pergi tidur begitupula dengan warga didalamnya.

Delapan bulan lalu, di waktu awal saya mengajar di SDN Ampimoi yang merupakan SD penugasan saya, saya menemukan suatu hal yang saat itu cukup membuat saya, heran. Konsep waktu masih begitu kabur disini. “Mama, ke dusun kah? Pi jam berapa eee? (Mama pergi ke kebun jam berapa?)” Tanya saya suatu waktu, lalu dijawab dengan “Ah, nanti Kaka. Macam siang-siang matahari su tidak terlalu terik begitu.” Darisitu saya hanya dapat mengambil kesimpulan, mungkin sekitar jam 2 siang menuju jam 3 sore.

Begitupula ketika bersama-sama membuat kesepakatan kelas di minggu awal saya mengajar. “Ko masuk sekolah pagi itu jam berapa kah?” Tanya saya pada murid kelas 5 dan 6. “Ngg.. Jam 6 kah ibu?” Jawab anak-anak. Hmm, pagi betul, bahkan sekolah di Jawa pun masih lebih siang lagi masuk sekolahnya. Pikir saya waktu itu karena menganggap bahwa apa yang anak-anak bilang benar adanya. “Betul jam 6 kah? Pagi betul eee.” Tanggap saya. “Aleeee, tidak eee Ibu dong tipu! Dong tara tau waktu jadi!” Sanggah Melisa murid kelas 6 saya. “Jadi jam berapa kalau begitu Mel?” Tanya saya lagi. “Jam setengah 8 Ibu!”

Ya, tentunya ada beberapa murid yang sudah mengenal waktu. Meskipun belum mengamalkannya dalam berkehidupan sehari-hari. Sebagian besar murid akan memasang wajah bingung ketika saya menanyakan perihal waktu. “Ah.. jam berapa eee.. Sa tara tau Ibu,” begitulah respon yang seringkali saya dapat diawal masa-masa mengajar saya di penempatan.

Aneh, iya. Tentunya bukan hal yang umum bagi saya untuk berada dalam lingkungan masyarakat yang belum menggunakan konsep waktu yang ‘pada saat itu umum’ bagi saya dalam kehidupan sehari-harinya. Mengingat dari kecil saya dibesarkan di lingkungan yang segalanya berkaitan dengan waktu. Semuanya jelas. Ada waktu untuk beribadah, ada waktu untuk bangun tidur, waktu untuk mandi, untuk makan, sekolah, jam pelajaran, jam istirahat, dan lain-lain. Ketika sudah beranjak dewasa, perihal waktu dalam sehari menjadi lebih ketat lagi. Ada waktu untuk kuliah, waktu yang dianggarkan untuk mengerjakan tugas, waktu yang disisihkan untuk bersantai, jam masuk kerja, jam istirahat kantor, jam pulang kantor, waktunya untuk berakhir pekan, waktu untuk bertemu teman, waktu untuk bersama keluarga, dan sebagainya.

Meskipun terkadang saya merasa hidup saya seperti dikejar-kejar oleh waktu. Namun tidak dapat dipungkiri dengan adanya konsep waktu sangat membantu saya dalam kehidupan sehari-hari saya. Mudahnya, saya “tahu saya mau mengerjakan apa dan kapan”.

Tentunya, saya pun paham betul bahwa kehidupan saya yang biasanya tidak dapat disamakan dan dijadikan perbandingan dengan tata cara hidup di lingkungan tempat tinggal saya saat ini di penempatan. Beginilah tata cara hidup di penempatan saya, ya, berbeda, dan tidak masalah sama sekali. Namun, melihat manfaatnya, saya mencoba untuk mengenalkan konsep waktu dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah bersama dengan anak-anak.

“Julma, sekarang su jam berapa e? Istirahat selesai berapa menit lagi e?” Tanya saya pada Julma Sembai kelas 5. “Jam 10 Ibu, istirahat selesai 30 menit lagi Ibu ini lihat.” Jawabnya sambil menunjukkan jam tangan miliknya. Ya, dalam beberapa bulan ini saya seringkali sengaja bertanya pada anak-anak perihal waktu meskipun saya sudah tahu karena saya pun memakai jam tangan. “Ibu lihat, a pu Bapa ada beli jam dari Serui,” kata Juliance Ruamba di suatu siang. “Aleee, bagus apa eee. Ance su bisa baca jam sekarang berarti eee” balas saya. “Sa bilang Bapa beli supaya sa bisa tau jam seperti Ibu di sekolah.” Balasnya lagi.

Saya akui, memang lebih “canggih” masyarakat dan anak-anak saya yang bisa menilai dan mengenal waktu dari arah matahari, dari pasang-surut nya air laut, dan dari gejala-gejala alam lainnya. Namun, saya yakin bahwa bermanfaat pula ketika mereka menguasai pula konsep waktu pada umumnya. Semoga, ilmu sederhana ini dapat terus diamalkan dan disebarkan oleh anak-anak saya sebagai agen pembawa nilai-nilai positif kepada keluarga, adik-kakak, dan lingkungan sekitar mereka. Semoga.


Cerita Lainnya

Lihat Semua