Ibuuu, ada yang potong leher !

Atikah Risyad 8 Februari 2018

Seperti biasa, lonceng sekolah yang terbuat dari besi tua serta pemukul besinya saya bunyikan di pagi itu, menandakan sudah saatnya kegiatan di sekolah dimulai, semuanya masuk berkumpul di satu ruangan kelas , berdoa bersama, mengawali kegiatan di sekolah.

Jika sudah mendengar bunyi lonceng begitu, anak-anak akan ada yang langsung berteriak, “Masuuuuuuk!”. Ada yang bertanya, “Berbariskah langsung masuk kelas ibu?” Saya pun menjawab, “Langsung masuk sudah, lapangan basah.” Anak-anak pun berlarian masuk ke dalam kelas 5, kelas tempat biasa kami berdoa bersama di pagi hari. Di kelas ini, semua siswa berkumpul. Meskipun sempit, disesuaikan saja, ada yang berdiri, ada yang ngeleseh, dan ada yang di atas kursi.

Setelah berdoa, anak-anak saya bagi menjadi 3 kelas dengan menunjuk penanggung jawabnya masing-masing, sementara menunggu guru-guru lain yang belum datang. Anak kelas 1 dan 2 bergabung di satu kelas, kelas 3 dan 4 di satu kelas, begitupun dengan kelas 5 dan 6. Kelas rangkap seperti ini biasa dilakukan, jika guru-guru yang lain berhalangan hadir ke sekolah.

Anak-anak pun patuh dan masuk ke kelas sesuai dengan yang ditentukan. Hari itu pelajaran serempak Matematika untuk semua kelas. Saya mulai mengajar dari satu kelas ke kelas lain bergantian memberikan penjelasan materi, contoh soal, dan tugas.

Seperti anak-anak pada umumnya, anak-anak di Wooi memang banyak yang super kinestetik, jika tidak ditugaskan apa-apa pasti akan berkeliaran kemana mana, apalagi jika tidak ada yang mengawasi.

Jadilah, waktu itu saya masih masuk di kelas 1 dan 2 memberi penjelasan materi tentang angka. Tiba-tiba ada anak kelas 6 yang melapor, “Ibuu, ibuu, laki-laki kelas 6 dong ada lari ke bawah, dong bilang ada potle ibu.” Kemudian saya bingung dan bertanya, “Potle itu apa?” Mereka menjawab, “Potong leher ibu.” Saya pun kaget luar biasa mendengar hal tersebut, “Maksudnya? Siapa yang dipotong lehernya? Atau ada yang bunuh diri? Dimana?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut saya lontarkan pada anak-anak yang melapor.

Namun belum sempat terjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tiba-tiba anak laki laki kelas 6 yang dimaksud berlarian datang kembali ke sekolah. Kemudian saya menertibkan mereka masuk di kelas kembali dan bertanya, “Kenapa lari-lari ke bawah, ada bikin apa?” Lalu mereka menjawab, “Dong bilang ada potle lagi, baru tong ikut kejar ibu.”

Saya pun kembali bingung, “Maksudnya ini apa potong leher?” Lalu ada anak yang bilang, “Potle itu kalo kena kitong, kitong pu leher langsung putus ibu. Dong kejar kitorang di hutan, baru dong kasih putus kitong pu leher dengan badan. Tong pu badan ditanam di hutan, baru kepala dibawa untuk bangun jembatan, ibu.” Saya pun kaget namun sedikit tidak percaya, “Ooo, iyokah? Baru tadi kalian kejar ada ketemu dengan yang potong leher itu? Ada liat orang pu leher yang su putus?” Anak-anak saling tatap kemudian menjawab “Tara dapat ibu, dong pu lari kencang apa.” Seketika anak-anak lain berhamburan berlarian dari sekolah,  ada yang langsung masuk ke kelas saya dengan muka yang sangat pucat pasi, ada yang menangis, ada yang berteriak, ada yang langsung kabur pulang, dan ada yang ikut berlarian ke bawah dengan masyarakat lain yang lengkap membawa beraneka senjata tradisional mulai dari jubi, panah india, hingga kalawai. Seketika sekolah langsung chaos, tak terkendali. Saya kaget, takut bercampur bingung menghadapi situasi ini karena saya tidak memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Di saat itu, di pikiran saya, bagaimana caranya agar anak-anak dan diri saya sendiri aman, tidak ada yang terkena bahaya. Kemudian saya memanggil anak-anak yang sudah berhamburan di luar kelas untuk berkumpul kembali di kelas, “Ayo, ayo semuanya kita masuk kembali ke kelas, ayo ajak semua teman-temannya.” Namun ada mama-mama yang menjawab, “Dong su pulang semua ibu, dong takut ada potle lagi.” Saya menjawab, “Tarapapa mama, yang ada saja.” Selang beberapa menit, anak-anak yang masih tersisa di sekolah pun dikumpulkan di satu kelas, kebanyakan yang tersisa adalah murid-murid perempuan, karena kebanyakan yang laki-laki ikut berlarian ke bawah. Saat itu saya minta anak-anak tenang terlebih dahulu, jangan panik. Lalu ada anak yang berkomentar, “ Ibu, tong pulang sudah, nanti potle dapat kitong.” Saya pun menjawab “Sabar dulu, tenang dulu, kita berdoa dulu sebelum pulang biar nanti aman di jalan.” Setelah itu saya minta anak-anak untuk berdoa bersama dengan sebenar-benarnya, meminta perlindungan dari Tuhan agar selalu aman. Saat itu, bisa dikatakan adalah doa terkhusyuk yang dilakukan anak-anak yang pernah saya lihat, mungkin karena mereka benar-benar dalam situasi ketakutan. Selain itu saya juga ingatkan kepada anak-anak untuk pulang dengan hati-hati dan tidak perlu berlari-larian.

Setelah semua murid pulang, saya pun membereskan semua barang-barang, mentup semua pintu kelas dan ruang guru. Dari sekolah saya menuju ke tempat mama-mama yang sedang duduk-duduk membicarakan hal yang sedang terjadi. Saya pun bertanya kepada mama-mama tersebut, “ Mama, siapa yang potong leher mama? Ada yang meninggalkah?” Mama-mama pun menjawab sambil menertawakan muka kebingungan saya, “Hahaha tarada ibu, katanya nenek nyora ada lihat potle di gunung sana waktu mau ke kebun, dong pu bekas kaki besar-besar apa. Itu bapak-bapak dorang ada kejar ke bawah sana, dong lari cepat sekali ibu, dong bisa hilang-hilang. Tatatau dong manusia kah suanggi.” Saya pun bertanya kembali, “Su seringkah ada begini-begini mama?” Mama mejawab, “Jii, jarang ibu, dulu itu su pernah juga. Tapi kalo yang ini, dong lari dari Woinap, lanjut ke Kanaki, baru dong lanjut kesini. Di Kanaki itu su ada 2 yang mati ibu. Ini dong mau cari lagi kesini.” Saya penasaran dan bertanya lagi, “Kenapa dong bunuh-bunuh sembarang begitu mama?” Mama kembali menjelaskan, ”Itu ada yang suruh ibu, biasa begitu kalo ada mau bangun jembatan. Nanti dong pu kepala putus itu, ditanam di jembatan biar semakin kuat dan kokoh jembatannya.” “Tuhaaaan, jahat apa, dong su gilakah apa?” Mama-mama pun tiba-tiba berpesan saat saya sudah mau pamit pulang, “Ibu hati-hati sudah, nanti dong dapat ibu, ibu pu leher putus lagi. Ibu tara bisa kembali ke ibu pu kampung. Hahaha.” Saya kaget sambil menjawab, “Aih mama, jangaan sampee. “

 

Saya pulang masih dengan kebingungan karena cerita-cerita yang kurang masuk akal, tapi biar sudah, yang penting anak-anak sudah aman, saya pun aman. Memang di hari itu, atmosfer kampung pun terasa berbeda, para bapak-bapak dan pemuda pemuda selalu siaga dengan senjata tajam. Anak-anak pun tidak ada yang berani bermain-main di luar, semuanya diam di dalam rumah, jalanan pun jadi sepi. Ini juga berefek ke hari-hari sekolah berikutnya, anak-anak jadi sedikit yang datang ke sekolah karena takut dengan potle. Namun sekarang ini sudah menjadi candaan belaka bagi anak-anak untuk menakut-nakuti karena bukti nyatanya tidak terlihat, hanya cerita-cerita saja. Dan ternyata memang cerita tentang potong leher ini sudah lama melegenda di Papua, Yapen pada khususnya.

Dari kejadian ini saya belajar, bagaimana menghargai kepercayaan orang lain, belajar memahami sesuatu yang sulit untuk dipahami serta belajar tenang sambil menenangkan orang lain.

Hati-hati, jangan nanti sambil baca ini, di belakang ada potle yang muncul. HAHAHAHA

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua