Membaca untuk Mengerti Makna

Tsani Nur Famy 30 Desember 2017
Pikiran saya terlempar kebelakang. Mengingat kembali saat-saat dimana pada masa kecil dahulu, ibu mengajak saya dan kakak saya berlatih membaca dengan seringkali membaca tulisan yang ada di baligho, spanduk, dan petunjuk jalan yang ada di kiri-kanan jalan raya ketika kami sedang dalam perjalanan kemanapun kami menuju. Cukup efektif untuk berlatih membaca cepat, saya merasa membaca tulisan sambil berada didalam kendaraan adalah sesuatu yang menantang karena saya harus selesai membaca sebelum mobil berlalu dan melewati media berisikan tulisan tersebut. Saya kembalikan lagi pikiran saya ke saat ini. Mungkin hal diatas merupakan salah satu hal sederhana yang membuat seorang anak bisa membaca. Anak melihat hal-hal, secara berulang, dan secara sadar atau tidak sadar hal tersebut melatih kemampuan membaca anak. Menambah pengetahuan dan wawasannya. Jumat 1 Desember 2017 lalu, tes kelayakan membaca dan menulis bagi siswa-siswi kelas VI dilaksanakan di Distrik Teluk Ampimoi. Diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Yapen, terdapat 6 Sekolah Dasar yang mengikuti tes tersebut yakni SD Negeri Ampimoi, SD Negeri Karoaipi, SD YPK 1 Randawaya, SD Negeri Randawaya, SD YPK 2 Wareroni, dan SD Negeri Bareraipi yang keenamnya berada di wilayah Distrik Teluk Ampimoi. Bapak Reba yang merupakan Kepala Sekolah dari SD Negeri Karoaipi lah yang beberapa waktu sebelumnya menyampaikan kabar bahwa kami, guru di SDN Ampimoi, wajib mengantarkan peserta ajar kelas VI kami untuk mengikuti tes tersebut. Tentu kami dengan senang hati menyambut berita tersebut, karena sepuluh orang siswa dan siswi kelas VI di SD kami seluruhnya telah lancar membaca dan dapat menulis dengan baik. Beberapa anak dikelas VI merespon dengan percaya diri dan mantap untuk mengikuti tes. Beberapa anak menyambut pengumuman ini dengan semangat, ditambah lagi bersemangat karena tahu akan beramai-ramai pergi ke pusat distrik untuk mengikuti tes bersama teman-teman sekelasnya. Adapula, sebagian kecil anak lainnya yang merasa ragu, tiba-tiba merasa kurang percaya diri karena akan dihadapkan dengan penguji dari Dinas Pendidikan dan bertemu dengan banyak murid kelas VI lainnya dari kelima SD lain yang ada di wilayah Distrik Teluk Ampimoi. “Ibu! Tong pakai seragam rapih-rapih kah besok?,” Tanya Charles Darwin Paiki alias Erwin salah satu siswa kelas VI saya. “Iyo, ko ada sepatu, dasi, dengan topi toh? Khusus untuk besok pakai sudah e?,” jawab saya. “Supaya apa Ibu?,” tanyanya lagi. “Supaya ko tambah-tambah ganteng toh!,” jawab saya sembari bercanda. Erwin pun tertawa, menggaruk-garuk kepalanya yang saya yakin tidaklah gatal, disusul oleh tanggapan usil yang datang dari teman-temannya yang lain. Keesokannya, baru saya melihat anak-anak kelas VI saya berseragam cukup lengkap. Pada hari-hari biasanya saat datang ke sekolah, penampilan anak-anak cukup beragam. Ada yang pakai sepatu atau sandal, ada pula yang datang dengan kaki kosong (tidak memakai alas kaki). Ada yang mengenakan seragam kemeja putih, ada yang hadir cukup dengan kaos tim sepak bola kesayangannya. Sementara bagi saya, hal tersebut bukan menjadi masalah. Selama anak-anak merasa nyaman ketika belajar, dapat melompat dan berlarian saat waktu rehat, serta dapat menjadi dirinya sendiri tanpa merasa terdikte oleh apa yang mereka kenakan. Kenapa bisa begitu? Sudah cukup lama saya mengamini ide ini. Ada masa-masa dimana ketika zaman sekolah dulu, saya merupakan murid yang bertanya-tanya tentang esensi penyeragaman. Meskipun pada akhirnya saya pun tahu bahwa terdapat pula nilai-nilai baik didalamnya dan sejak kapan konsep “penyeragaman” ini diterapkan. Diperkuat lagi semasa duduk dibangku perkuliahan. Namun terjawab oleh tempat dimana saya menimba ilmu sebagai mahasiswa, yang menekankan bahwa keberagaman (dalam bentuk apapun) patut dihargai. Termasuk tentang bagaimana cara seseorang ingin merepresentasikan dirinya melalui apa yang ia kenakan. Tentunya selama tidak melanggar norma yang ada, tidak menganggu orang lain, khususnya datang untuk menimba ilmu. Begitupun saat ini, ada perasaan tenang yang berbeda ketika melihat anak-anak nyaman menjadi diri mereka sendiri dengan apa yang saat ini mereka miliki. Tes membaca dan menulis berlangsung kurang lebih selama 2 jam. Kesepuluh anak-anak kelas VI SDN Ampimoi melewati tes dengan aman. Meskipun ada beberapa anak yang menyatakan bahwa mereka sempat merasa tegang saat di tes langsung oleh “Bapak dorang dari Dinas”. Namun dibalik kelincahan mereka dalam hal menulis dan membaca, tidak dapat dipungkiri, masih ada yang perlu kami asah secara terus menerus. Seperti judul diatas, anak-anak perlu untuk bukan hanya lincah menulis dan membaca, namun penting pula untuk dapat lincah dalam memahami makna dari apa-apa yang mereka tulis dan mereka baca. “Baru, tadi yang Bapak dorang ada tes itu ko baca apa kah, Erwin?” tanya saya lagi pada Erwin saat ia keluar dari ruang tes. “Ah, itu Ibu, sa ada lupa-lupa sedikit, tapi sa ada ingat juga. Itu tentang orang yang pi melaut,” jawabnya sambil terlihat mengingat-ngingat teks yang ia baca saat tes berlangsung. “Iyo su baik itu, ko ingat-ingat lagi macam begimana dia pu cerita. Nanti di sekolah ko cerita ulang e?” timpal saya. “Jiiii Ibu! Ah, sa malu sampe. (Ih Ibu, saya malu ah)”, katanya manja. “Su tau tujuannya bisa baca untuk apa toh?” Tanya saya lagi. “Tau Ibu, supaya mengerti apa yang tong baca, jadi bisa kasih suara orang lain supaya dong tau juga,” jawabnya mantap. “Itu sudah toh!” timpal saya lagi, mengiyakan. Tentu, harapan besar dari kita semua bahwa anak-anak memiliki bekal dasar agar dapat siap dalam menghadapi tantangan yang disajikan selama mereka menjalani kehidupan. Terutama saat ini, semakin terasa bagi saya yang sedang dalam masa penugasan tentang seberapa krusialnya hal diatas. Seiring berjalannya waktu, dengan upaya yang dapat diupayakan, semoga.

Cerita Lainnya

Lihat Semua