PEWOWI!!!

Sisca Kezia Puspita 27 Desember 2017

 

Membahas emosi terkadang menjadi kata yang dihindari layaknya berkata kotor dan tidak senonoh. Mungkin karna efek pasca pembahasan yang membuat suasana menjadi kikuk. Atau karena jarang membiasakan untuk jujur dalam menyikapi perihal insting manusia ini sehingga gagap untuk diverbalkan? Padahal emosi membantu manusia megenali dan mengekspresikan amarah, sedih, bahagia, cinta dan wujud lainnya.

Kontemplasi memahami emosi ini hadir bermula dari satu kata: pewowi. Dalam bahasa tolaki arti pewowi adalah 'bodoh'

Pada apel pagi, aku pernah membahas satu kata. Satu kata yang haram disebut di sekolah. PEWOWI atau BODOH. Kata itu seringnya terlontar serupa seringnya pengucapan kata ganti saya dan kamu. Aku berkata kepada mereka bahwa aku sudah beberapa bulan mengajar mereka. Aku merasa senang, mereka merupakan anak yang pandai karena selalu bersemangat datang ke sekolah dan mengejar-ngejar ku untuk mendapatkan tantangan latihan tambahan di rumah.

Aku         : "Ibu saja yang mengajar kalian, tau kalian pintar kenapa ibu sering dengar kalian saling menyebut teman kalian pewowi? Senang atau tidak jika orang lain mengatakan bodoh?"

Mereka       : "Tidak suka."

Aku        : "Kalau tidak suka, jangan lakukan hal yang sama ke teman kalian. Kalau kalian mengatakan itu kalian tidak membiarkan teman-teman kalian pintar. Kalian mau kan teman-teman kalian pintar juga? Biar salah, namanya juga belajar. Mulai sekarang tidak ada lagi kata bodoh!"

Hal yang paling membuat aku kesal adalah ketika mereka saling berkelahi dan berteriak kata bodoh. 

Pelan-pelan sekali mereka berproses mencoba itu, ditegur, minta maaf, ditegur, membantah, ditegur, dicuekin. Sampai pada akhirnya aku mendengar percakapan mereka. Aku di kamar, membaca buku, mereka bermain di luar rumah.

A             : “Itu heh, wowi mu!” (re: Itu disana, kamu bodoh!)

B             : “Tidak boleh bilang pewowi!”

Lalu temanya diam.

Aku mah apa atuh denger gitu aja senang sekali sambil senyum-senyum sendiri di kamar.

Akhirnya rantai perpewowian ini mengantarkan aku pada salah satu percakapan yang sangat berkualitas dengan beberapa anak ketika pulang sekolah menuju rumah. Percakapan membahas emosi.

Murid 1                : “Bu guru, saya suka bilang ke saya sendiri bodoh, bodoh, bodoh!”

Aku        : “Kenapa?”

Murid 1: “Kalau saya tidak bisa atau salah mengerjakan soal”

Aku        : “Tidak apa-apa salah, yang penting mau mencoba, sudah mau mencoba itu baik”

Murid 1                : “Saya suka pukul-pukul kepala bu guru!”

Aku                      : “HAH? Kenapa sampai pukul kepala?”

Murid 1              : “Karna saya merasa marah dengan diri saya sendiri, saya bodoh”

Muid 2               : “Iya bu guru, saya juga pernah mau cakar pipi bu”

Aku                 : “Kalau kalian tidak tahu cara mengerjakan soal tanya ke ibu, boleh marah boleh kesal tapi jangan pukul dan cakar diri sendiri, nanti kalian sakit. Kalian tidak bodoh”

Setelah itu kami membahas bagaimana cara menghargai diri dengan tidak menghina diri, dengan tidak melukai diri sendiri, lalu kalau kesal dan marah apa yang harus dilakukan. Perjalanan menuju rumah diisi dialog panjang yang sangat berkualitas dengan mereka. Aku begitu menikmati setiap kejujuran yang diutarakan.

Emosi merupakan bagian dari diri manusia yang terkadang luput untuk diperhatikan. Kemampuan emosional mungkin bisa dimulai dari; (1) mengenal emosi apa yang dirasakan, sebelum tahu (2) bagaimana mengekspresikan dan mengelolanya.

Kenapa? Mengenal emosi berarti anak dengan penuh kesadaran memahami diri mereka dan menganggap emosi yang muncul sebuah kewajaran. Hal ini baik untuk membuat mereka menjadi lebih percaya diri. Anak yang sudah menerima dan mengenal emosinya sangat membantu mereka dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Pada akhirnya kami sama-sama belajar mengenal makhluk berama emosi dan tidak canggung membahasnya.

Berkat kejadian ini aku terbiasa mulai terbuka dengan emosi yang aku rasakan misal ketika aku menceritakan aku sedih, aku senang, aku takut, dengan alasan dan reaksiku. Aku bepikir jika ingin mengenalkan dan mendengarkan emosi mereka bisa dimulai dari ceritaku dengan emosiku. Dan momen termahal dan terbaik yang pernah mereka berikan adalah mereka membalasnya dengan tidak sungkan mengevaluasiku dengan mengungkapkan emosi mereka ketika sedih, ketika kecewa, ketika marah, dan ketika senang. Kadang mereka menuliskan surat, kadang mengatakannya langsung, apapun caranya saling menampung emosi memberikan efek leleh seleleh-lelehnya padaku secara pribadi.

Entahlah emosi apa yang akan mendominasi diriku ketika masa penempatan ini sampai pada ujungnya. Berharap bisa mengekspresikan dan mengelolanya dengan baik  :’) 


Cerita Lainnya

Lihat Semua