Papanya Akbar: Pembuka Gerbang Pendidikan Lalomerui

Sabar Artiyono 24 Desember 2017

Andrea Hirata pernah menulis “begitu banyak hidup orang berubah lantaran sebuah pertemuan”. Dan kini saya mengamininya.

Rabu malam, saya ditemani rintik-rintik gerimis datang ke rumah mamanya Abel. Sudah jadwalnya belajar komputer. Bengkel rumahnya terlihat sepi. Sepertinya banyak orang yang masuk bekerja di tambang. Hanya ada laki-laki paruh baya yang sedang merokok di kursi merah. Saya menyapanya lalu bercerita tentang komputer mulai dari aplikasi Words dan Excell.

Awalnya, saya, mamanya Abel, dan pria itu hanya bertukar pikiran tentang aplikasi komputer. Maklmum, saya dan mereka terpaut perbedaan zaman. Jadinya soal aplikasi memang jauh berbeda. Kenyataannya, bukan obrolan itu yang lebih menarik. Melainkan cerita pria dengan celana pendek itulah yang menjadi menu utama pada obrolan itu.

“Jadi dulunya bagaimana Pak bisa sampai di sini (Lalomerui)?” tanya saya sembari mengarahkan kursor di monitor.

“Karena dulu tidak bisa magang di Jepang, saya bekerja di Routa,” tuturnya dengan tegas. Tetapi banyak cerita yang tertimpun dari jawaban itu. Semua mulai terbuka saat saya menanyakan bagaimana pernikahannya dia dengan warga sini.

Pria ini, papanya Akbar, merupakan orang Raha (harus menyeberang Kendari agar sampai kampungnya). Semenjak lulus SMA, dia bekerja di Routa. Takdir Tuhan sudah begitu. Hingga akhirnya dia menikah dengan warga sini pada saat usia 21 tahun. Managernyalah yang menjadi wali pernikahan pada saat itu.

“Saat saya menikah, banyak orang yang bertanya-tanya, orang manakah sebenarnya saya, baru saya, orang lain yang menikah dengan warga sini,” jelasnya.

Dari pernikahannya inilah akhirnya dia bisa membawa adik iparnya, Bu Ros, untuk bersekolah di Raha. Buah pernikahan itu tidak hanya cucu-cucu, melainkan semangat belajar dari keluarganya. Bu Ros merantau semenjak lulus SD hingga lulus diploma. Wanita inilah yang kemudian tercatat sebagai orang pertama yang berani keluar untuk bersekolah. Pintu pendidikan itu terbuka dengan pengalaman ini. Hingga akhirnya mertuanya yang sekaligus tokoh adat di sini menyelohkan banyak anaknya ke tingkat yang lebih lanjut. Hingga akhirnya salah satu anggota keluarganya, Bu Ros, berani merintis pendidikan di kampungnya. Wanita yang kini menjadi GTT ini menginisiasi sekolah yang awalnya adalah pindah dari kolong rumah. Kini, sudah ada gedung bernama SD Negeri Lalomerui.

“Dulu saya hanya mengajar Bahasa Indonesia, karena tidak ada yang mengerti,” tutur Bu Ros mengenang masa lalunya.

Siapa sangka, pernikahan ini membawa rantai yang begitu besar bagi Lalomerui. Begitulah kekuatan sebuah pertemuan, kita tidak bisa menebak ujungnya akan ke mana. Termasuk pertemuan dengan papanya Akbar. Jika tidak bertemu dengannya langsung malam itu, saya mungkin juga hanya sekedar tahu bahwa dia seorang pedagang yang bolak-balik Kendari-Lalomerui.

 

Salam,

 

Sabar Artiyono 


Cerita Lainnya

Lihat Semua