Berpikir Ala Guru Amatir

Sisca Kezia Puspita 24 Desember 2017

 

“Ibu Guru!”

(1 bulan-3 bulan menjadi guru)

…adalah panggilan yang asing. Seperti dipaksa menghapus nama di akta kelahiran lalu seluruh orang memanggil itu. Kadang merasa lucu, kadang panggilan itu menyadarkan salah satu status dalam diri “oh, aku guru ya?”. Kadang bertanya kenapa mereka memanggil selengkap itu, bahkan aku tidak pernah memanggil guruku ibu guru atau bapak guru, tanpa nama. Atau bertanya dalam hati kenapa  warga juga memanggilku ibu guru? Sungguh perihal sebutan ini makhluk asing yang masuk secara rutin kedalam telingaku

(4-6 bulan dipanggil “ibu guru”)

Lalu diam-diam aku mulai terbiasa tanpa loading jika menerima panggilan itu langsung merespon. Atau diam-diam menikmati suara anak-anak berteriak memanggilku ibu guru.

Guru…

Aku terbiasa ada di posisi menjadi murid untuk menilai apa itu “guru” apa itu “pendidikan”. Dan ada di posisi mengajar murid-murid, juga panggilan “ibu guru” dimana-mana menjadikan sudutku berotasi. Dulu memperingati hari guru begitu klise dengan nyanyian, membaca puisi atau ucapan terima kasih yang kesannya tidak banyak berbekas dalam diri. Ada di sudut ini, menjadikan memori loncat-loncat pada guru SD ku di Surabaya. Aku adalah anak yang berbeda ketika kelas 1-2 SD, rajin sekolah tapi sering menolak masuk kelas. Jika tidak suka dengan pelajaran saat itu aku memilih menunggu di luar atau bermain di UKS. Tidak menangis dan memberontak, hanya pergi. Ada salah satu guru, dia tidak mengajar di kelasku, tapi selalu menemaniku, mengobrol dan memberiku kertas dan crayon. Dia adalah guru yang memiliki kesan mendalam, khusus untuk sosoknya aku sangat berterima kasih untuknya dimasa lalu sebagai guruku dan di masa kini sebagai seniorku sesama guru. Dia panutanku.

Makhluk dewasa ini lucu, pernah menjadi anak kecil tapi seringkali amnesia akan pikiran dan perasaan anak-anak. Mempelajari anak-anak adalah hal menarik ketika menjdi guru. Dalam dunia individunya dan sistem sosialnya.

Menjadi guru, ada dalam dunia muridnya juga dunia administratif lalu dunia sistem pendidikan di negara tercinta ini. Menjadi guru bukan perkara menulis di papan tulis, menjelaskan, memberi tugas lalu selesai. Semua yang terlihat di permukaan akan terlihat jauh berbeda kalau kita mencoba untuk menyelam lebih jauh.

Aku bukan dari background pendidikan guru dan hanya mempelajari peran guru melalui pelatihan singkat selama 6 minggu. Bukan menjadikan ini pemakluman inkapabilitasku dalam beberapa hal tapi memang menjadi pendidik itu butuh ilmu, tidak sekedar diketahui tapi diinternalisasi.

Ada beberapa hal yang terpikirkan dalam benakku perihal pendidikan dalam kacamata guru amatir dalam tujuh bulan ini:

1. Pendidikan bukan media pemuas kepentingan orang dewasa

“Bu guru, anak saya sekolah yang penting bisa membaca, dia bodoh, tidak mengerti kalau susah-susah pelajarannya”

Ada anak yang dipaksa untuk mengikuti les yang berlebihan,atau mendapatkan peringkat kelas terbaik, atau dengan memenangkan kompetisi tanpa melihat apakah anak senang? Ada pula yang mengkerdilkan kemampuan anaknya puas dengan capaian yang sederhana sedangkan anaknya mampu lebih.

Kepentingan itu berwujud angka, berwujud tekanan yang berlebihan, berwujud keinginan pribadi orang dewasa untuk membentuk dan mengarahkan anak sesuai pengalamannya mendefinisikan terbaik itu apa tanpa melibatkan suara anak. Atau dalam lingkup sistem yang lebih besar; sewujud dengan gaji dan tunjangan (?)

2. Pendidikan menghujamkan nilai kelokalan -- menepis stereotype

Dalam pelajaran profesi, anak-anak aku minta untuk menuliskan profesi favoritnya. Cita-citanya. Dan yang membuatku tertegun adalah tidak ada dari mereka yang menuliskan profesi ‘petani’. Kenapa? Pertanyaan itu langsut mencuat di kepalaku. Sebegitu memiliki kesan negatifkah profesi yang digeluti hampir 90% dari warga? Profesi orangtuanya?

Menghapus stereotype,  menumbuhkan kecintaan akan potensi nilai kelokalan daerah adalah hal lain yang masih harus kupelajari sampai sekarang. Percayalah gurunya inipun bukan dewa positif yang melihat semuanya baik-baik saja, tapi mencekoki mereka dengan skeptisnya dunia bukan solusi yang tepat.

Menunjukkan petani profesional yang mampu mengelola kebun dan lahan dengan baik melalui  pemanfaatkan teknologi, atau ikut bekebun dan membantu menanam tanaman lokal adalah beberapa cara yang coba guru amatir ini lakukan. (Ada ide lain?)

3. Pendidikan bukan money machine

“Bu guru, anak saya marahi saja kalau malas. Anak saya harus pintar, biar pintar cari uang”

“ Siapa yang tidak suka uang? Anak-anak saja suka uang.”

Tapi dari sekian banyak percakapan bertopik ‘uang’ percakapan ini yang paling menohok:

Murid    : “Bu guru harga kamera kita (re:kamu) berapa?”

Aku        : “Gratis” (Jawaban bercanda

Murid    : “Tidak ada bu guru. Hidup itu susah. Semua butuh uang. Kita (re:kamu) orang Jakarta pasti kaya, di desa tidak bu”

JLEB. Ini percakapan yang paling tidak aku sukai, pertama membuat jurang desa kota, kedua membuat jurang ekonomi, ketiga dia menganggap kota dan kaya adalah hal baik lawan dari itu buruk.

Aku        : “Radit juga kaya”

Murid      : “Tidak bu guru”

Aku        : “Kaya itu tidak selalu uang bentuknya. Kemarin bisa tau ada banyak planet, pluto tidak masuk planet kenapa, ilmunya sudah banyak jadi kaya kan?”

Murid      : “Beda bu guru”

Aku        : “Radit punya banyak uang, satu karung, kalau dicuri bisa hilang semua. Kalau ilmu tidak akan hilang kecuali otaknya rusak. Pilih mana?”

Ketika anak sudah dilibatkan dalam proses mencari nafkah, maka hidup mereka sudah tidak sedamai pola pikir anak-anak lagi. Menjadikan belajar begitu berorientasi uang meninggikan nilai ekonomi menjadikan nilai curiosity dan ilmu menurun.

Perlukah mesin waktu untuk menjadikan orang dewasa ini (aku khususnya) mengembalikan rasa dan pemikiran anak-anak agar memahami kebutuhan mereka? Tapi pada akhirnya aku menemukan cara yang menyenangkan yaitu ketika behasil membuat anak-anak berani mengeluarkan semua sudut pikir dan rasa yang dimilikinya melalui dialog.

“Ibu Guru!” adalah panggilan termerdu dari anak-anak muridku :)

      


Cerita Lainnya

Lihat Semua