Menilai Penilaian

Sisca Kezia Puspita 24 Desember 2017

“Bu guru, begini bu guru?”

“Bu guru, jelek beh ini bu guru”

Memasuki bulan ketiga menyadarkan hal yang paling sering mereka lakukan ketika aku beri intruksi berupa pertanyaan konfirmasi benar atau tidak apa yang mereka kerjakan. Betul dan salah menjadi suatu hal yang penting. Penilaian yang biasa mereka bilang “bu guru kasih dapat” (re: bu guru, minta nilai).

Percakapan umum lain yang dilontarkan orangtua ke anaknya ketika pulang sekolah

‘Dikasih dapat berapa di sekolah?’

‘Dikasih dapat senyum dengan soema'(re:tawon).

‘Hah?  Siapa yang ajar?’

‘Ibu guru Sisca.’

‘Bu guru Sisca senyum?’

‘Bukan. Dikasih dapat senyum di buku dengan gambar soema.’

Lalu topik guru baru suka menilai dengan gambar binatang sering diulang-ulang ketika orang-orang di desa berkumpul dan bercerita.

Aku tidak berniat mencatut kalimat dengan nama dan tahun di akhir kalimat untuk mencari dukungan teoritis ilmiah, hanya ingin berbagi rasa dan pemikiran saja.

Selain memikirkan bagaimana membuat suasana belajar menjadi menyenangkan mungkin memikirkan evaluasi untuk menilai pekerjaan mereka menjadi tantangan lain. Melihat anak-anak sebegitu khawatir ketika salah dan ‘berbeda’ dengan merepetisi pertanyaan pekerjaan mereka betul atau salah di setiap mencatat, setiap selesai mengerjakan satu nomor soal, bahkan di setiap huruf (untuk kelas 1 dan 2) betul-betul mengusik. Bukan. Bukan karena mereka akhirnya lebih lama mengerjakan satu hal. Bukan juga karena kelas jadi ribut. Sungguhlah tanpa menipu dan mendramatisir tapi suara-suara mereka itu sudah menyatu dalam keseharianku semacam aneh kalau tidak mendengar celoteh tanpa arah mereka. Hal yang mengusik itu datang ketika mereka begitu banyak mengambil porsi untuk dibentuk, bukan berusaha membentuk diri dengan percayai kemampuan sendiri.

‘Menilai’ menjadi justifikasi dan bahan ledekan sesama mereka ketika sesi mengambil nilai. Maka secara spontan untuk kelas kecil saya memilih menggambar hal unik yang memicu mereka menyelesaikan pelajaran hari itu dengan baik, atau di kelas besar aku akan lama menulis catatan di buku tulis mereka mana yang perlu mereka perbaiki.

Mengapresiasi proses sebelum hasil menjadi isu penting.

Belakangan aku mendengar kata-kata “yang penting anak-anak bisa membaca, menulis dan berhitung lalu diberi ijazah, maklum bu ini kan daerah terpencil, wajar kalau anak-anak kemampuannya berbeda dengan yang ada di kota. Jangan samakan bu guru.”

Anak-anak pada akhirnya membuktikan bahwa  mereka berhak mendapatkan lebih dari itu. Sesederhana mereka membelalakan mata mengetahui hal baru, lalu bertanya banyak hal. Sesederhana perubahan mereka yang tadinya meminta dituliskan dan dikerjakan tugasnya oleh temannya menjadi menolak keras ketika diberi tahu dengan mengatakan

“Jangan kasih tau saya, nanti saya tidak pintar-pintar.”

Sesederhana mereka memilih mengerjakan tantangan soal dibandingkan keluar main (re: istirahat). Sesederhana mereka meminta tambahan latihan menulis untuk dikerjakan di rumah. Celoteh anak yang selalu aku asosiasikan kedalam kerinduan mereka untuk belajar, untuk memuaskan banyak rasa ingin tahunya tanpa dogma, tanpa penilaian yang mengkerdilkan mereka, atau sakitnya cubit dan pukul. Nyatanya belajar tidak sesederhana dan setipis lembar ijazah.

 

Wowalatoma, Agustus 2017


Cerita Lainnya

Lihat Semua