Mama, Bapak, Sa Terima Buku Raport!

Tsani Nur Famy 30 Desember 2017

Ada yang kental berbeda dari bulan Desember kali ini dengan bulan Desember yang saya jalani di tahun-tahun sebelumnya. Selain karena saat ini saya sedang berada di penempatan tugas sebagai Pengajar Muda, di Desember ini ada satu momen yang bertahun-tahun lalu setiap akhir semesternya saya alami sebagai peserta didik namun sekarang berbeda. Kini saya bertanggung jawab sebagai seorang guru kelas di hari penerimaan buku raport! Selepas pelaksanaan Ulangan Akhir Semester (UAS) seminggu sebelumnya, anak-anak murid saya di SDN Ampimoi sudah tidak sabar untuk hari penerimaan buku raport. Ada siswa yang bersemangat perihal hari penerimaan buku raport, adapula yang merasa cukup gelisah menyambut hari tersebut. “Ibu, Ibu hitung tong pu nilai tempo kah? Supaya tong pu Mama Bapa ambil lihat tong pu nilai.” (Ibu bisakah hitung nilai kami cepat-cepat? Supaya Mama dan Bapak bisa mengambil dan melihat perolehan nilai kami). Kata Fales Manobi salah satu siswa kelas 6. “Ibu.. A pu nilai tara baik kah Ibu? A takut sekali kalau nilai tara baik tu nanti sa dapat pukul Mama dong dirumah.” (Ibu.. Nilai saya kurang baik ya, Bu? Saya takut sekali kalau nilai saya kurang baik, nanti Mama hukum saya sewaktu dirumah). Kata Julma Teresia Sembai salah satu siswa kelas 5 saya. Melihat salah tingkah-nya anak-anak murid saya ketika menyambut akhir semester dan hari penerimaan raport, saya jadi teringat ketika dahulu saya masih duduk di bangku sekolah. Sewaktu masih di Sekolah Dasar tepatnya. Tidak bisa dipungkiri, jantung saya akan berdegup lebih kencang ketika akhir semester tiba. Kalau dipikir sekarang, entah apa yang saya khawatirkan di usia semuda itu. Mungkin diantaranya adalah takut nilai saya kurang memuaskan, tidak cukup membuat kedua orang tua saya menyunggingkan senyum lebar di hari itu, atau takut akan munculnya rasa malu karena performa saya selama semester tersebut kalah baik dari teman-teman sekelas saya. Padahal jika nilai saya kurang memuaskan pun, orangtua saya tidak akan memberikan hukuman apapun. Juga tentunya meski nilai saya kurang baik sekalipun, teman-teman sekelas saya masih akan berteman dengan saya di semester berikutnya. Sama halnya ketika saya melihat gerak-gerik salah tingkah anak-anak murid saya sewaktu menyambut hari penerimaan raport tempo hari. Saya menjelaskan bahwa hasil yang telah diperoleh di semester ini adalah nilai terbaik yang telah anak-anak murid saya upayakan selama enam bulan kebelakang, serta jikapun dirasa masih kurang memuaskan dapat diperbaiki di semester depan dengan semangat belajar yang lebih ditingkatkan lagi. Beberapa hari sebelum hari H, kami mendekorasi ruangan kelas yang akan dipakai untuk penerimaan raport serta melatih beberapa penampilan dari siswa-siswi SDN Ampimoi yang akan ditampilkan dihadapan orangtua atau wali murid sebelum penerimaan buku raport. “Ibu! Siapa dapat ranking 1 di kelas 5 eee?” Tanya Tepanus Reba salah satu murid kelas 5 saya. “Ah Tepanus! Yang jelas tu bukan koo!” Sambar Saipul Taliba yang juga murid kelas 5 saya. “Yang jelas bukan koooo juuuga!” Balas Tepanus lagi kepada Saipul. Bukannya baku rebut atau baku hantam, keduanya malah tertawa terbahak-bahak sambil bergandengan menyadari bahwa mereka tidak mungkin berada diposisi ranking 1. Karena penasaran dengan apa yang ada dibenak keduanya, saya pun melempar pertanyaan iseng namun cukup dalam. “Hee kam dua, memangnya ranking 1 itu artinya apa eee?” Tanya saya. Keduanya saling memandang. “Nggg… Ibu, pokoknya kalau ranking 1 itu hebat! Pintar! Tara dapat pukul Mama Bapak dirumah.” Jawab Saipul dengan percaya diri. Kemudian saya melempar pertanyaan iseng kedua. “Baru, kalau ko dapat ranking 5 bagaimana? Atau kalau ko tara dapat ranking bagaimana kah?” Tanya saya lagi. “Hmm… ah itu sa habis sudah Ibu. Sa bodok betul kalau tara dapat ranking. Baru nanti sa dapat pukul dirumah.” Jawab Saipul lagi, sementara Tepanus mengamati percakapan kami. Keesokannya di hari penerimaan raport, orang tua dan wali murid sudah tidak terkejut ketika melihat tidak ada nama-nama murid dengan perolehan ranking kelas tertera di papan tulis. Karena sebelumnya, dengan Pengajar Muda pendahulu saya pun, sistem ranking tidak diberlakukan. Namun kali ini saya menjelaskan kepada orang tua dan wali murid yang datang bahwa setiap anak memiliki keunikan, kecerdasan, dan kemampuan yang berbeda-beda. Intinya semua anak, istimewa. Maka dari itu, dengan melihat dan bertanya pada Pengajar Muda lainnya mengenai cara mengemas hari penerimaan raport menjadi suatu momen yang berkesan, menyenangkan, dan dapat dikenang sebagai hari yang baik. Sebagai wujud apresiasi untuk anak-anak yang telah dengan penuh semangat mengikuti kegiatan belajar-mengajar selama satu semester kebelakang, jadilah anak-anak memiliki ranking nya sendiri. Ada yang dianugerahi sebagai siswa yang rajin piket, siswi yang manis dan sayang Ibu Guru, siswa yang jago main bola, siswi yang ceria disekolah, siswa yang rajin pimpin doa, siswi yang rajin membimbing adik kelas kecil, siswa yang jago menggambar, dan bentuk predikat apresiasi lainnya. Di satu sisi, ada rasa khawatir yang saya takutkan akan terjadi, misalnya akan muncul protes dari orang tua murid atau bahkan dari murid saya sendiri tentang bentuk apresiasi ini. Seperti mungkinkah ada murid yang mulai semester baru nanti tidak mau memimpin doa sebelum dan sesudah belajar karena tidak diberikan apresiasi sebagai anak yang rajin memimpin doa? Atau mungkinkah tidak ada yang mau berlaku manis kepada Ibu Guru karena tidak diberikan apresiasi sebagai anak yang manis? Namun ternyata kekhawatiran saya terobati ketika di hari H anak-anak murid saya dengan tawa gembira menyambut ranking yang diberikan kepada mereka masing-masing. “Ibu, Ibu lihat eee, sa semester depan itu pimpin doa terus setiap hari!” Kata Melisa Arebo seraya melihat temannya Habibi Essa mendapatkan apresiasi sebagai siswa yang rajin memimpin doa. “Iyo, bagus itu Mel! Ko tahun depan pimpin doa terus eee, bergantian dengan Habibi dan yang lain!” Balas saya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua