Menanam Lontar di Langit

Jonathan Alfrendi 31 Desember 2017
Anak-anak yang berada di luar Jawa, ketika bersekolah mereka seperti berada dalam dunia lain. Katakanlah, anak-anak yang hidup di bagian tengah atau timur Indonesia seperti NTT, Bima, Banggai, Konawe, Ambon, dan Papua merasa terasing ketika mereka memilih bersekolah. Misalnya, pendidikan dasar yang seyogyanya menumbuhkan kegembiraan bagi anak justru seringkali menjauhkan mereka dari realitas sosial. Isi kurikulum cenderung dibuat berdasarkan realitas Jawa, realitas kota, dan pola pikir daratan. Padahal Indonesia tak hanya Jawa. Indonesia miliki banyak desa, dusun dan pulau-pulau. Anak yang tiap hari hobi mancing ikan, jago iris tuak, doyan panjat pohon, juga suka berenang di embung, akan merasa kewalahan tatkala berada di sekolah mempelajari rumus segitiga, atau bilangan prima. Apalagi jika pemerintah mewajibkan pelajaran bahasa inggris di sekolah dasar. Aduuh.., belum tentu cocok dengan kebutuhan bagi anak Flores, Halmahera, Rote, terutama daerah pelosok. Justru dari merekalah kita mesti belajar berbahasa Indonesia yang baik. Kualitas bahasa Indonesia mereka amat baku dan enak didengar. Walau baru satu semester berada di pulau Raijua, Kabupaten Sabu Raijua membuat saya belajar banyak hal. Seperti melatih mengucap bahasa Indonesia yang baku, juga mengenal mentalitas anak-anak asal Raijua. Siswa saya di Raijua jago dalam mancing ikan, berenang, bermain bola kaki, membuat petasan dari busi bekas juga lihai menangkap gurita. Hal yang tidak diajarkan oleh kurikulum, diktat, juga ujian nasional. Kurikulum hanya ajarkan ketrampilan berwawasan global tapi menumpulkan realitas sosial anak di kepulauan. Anak yang kesehariannya bermain di laut, berteman dengan gelombang setibanya di ruang kelas ia merasa terasing saat guru mengajarkan diktat yang penuh dengan materi “langit”. Artinya, materi yang asing bagi kehidupan anak. Seperti, menghafal negara-negara di eropa, nama raja-raja pada kerajaan prakemerdekaan, atau bilangan kubik, misalnya. Atau menjelaskan cara menanam padi bagi siswa yang tinggal di daerah yang bertanah kering, tandus, seperti Raijua adalah cara terbaik untuk menumpulkan kebudayaan mereka. Raijua berada di NTT, paling tenggara Indonesia, sekitar sepuluh jam dari Rote. Raijua merupakan daerah pesisir, minim air bersih namun terkenal akan kesuburan pohon lontar. Orang Raijua menjadikan lontar sebagai pohon kehidupan. Sejak kecil anak diajari untuk makan dan minum serta membuat ragam perkakas dari lontar. Selain dari lontar, orang Raijua juga mengandalkan laut sebagai sumber kehidupan. Kebanyakan orang Raijua bekerja sebagai petani rumput laut, dan nelayan. Tak heran, siswa saya banyak yang mahir pancing ikan, berenang di laut dan lihai menjerang tumpukan rumput laut. Terus apa hubungannya dengan menanam lontar di langit? Ya tentu saja karna orang Raijua hidup dari lontar dan laut. Anak-anak mereka dibesarkan dari kehidupan itu, tetapi saat mereka datang ke sekolah, ilmu memancing ikan yang baik tak diajarkan, cara bertahan hidup di tanah gersang, juga tak diajari. Kebiasaan akan menyantap lontar, mancing ikan, serta budaya mereka justru tak didukung dalam kurikulum, apalagi buku paket. Sama saja seperti menanam lontar di langit. Sangat mustahil. Semustahil mengharapkan anak-anak Raijia untuk terus lestarikan lontar sebagai sumber panganan bila kurikulum tak perhatikan potensi anak yang tinggal di pelosok. Jangan heran, sepuluh tahun lagi bahkan setelahnya, mereka akan mengganti rimbunan lontar dengan deretan rumah. Saya pun belum bisa berbuat banyak. Pendidikan harus berkorelasi dengan realitas sosial, dan menjadikan anak tumbuh sesuai kodratnya. Saya kerap mengikuti siswa untuk iris tuak dari lontar, sembari mengajarkan mereka untuk terbiasa menggunakan alat pelindung. Juga mengajarkan mereka tentang kesabaran dalam memancing ikan.

Cerita Lainnya

Lihat Semua