"Kalau Ibu tara mengajar tu.. Ibu pu gaji putus!"

Tsani Nur Famy 17 April 2018

                “Tuhan tak menjanjikan bahwa langit akan terus biru.. Namun Ia ada disampingmu.”

Begitulah kira-kira alunan lagu yang saya dengar di pagi hari itu. Kemarin hari Minggu, harinya Tuhan, semua orang berduyun-duyun pergi sembahyang ke gereja jemaatnya masing-masing. Hari ini hari Senin, seperti pagi ini, juga pagi-pagi biasanya, saya yang tinggal dirumah Bapa Gembala (Pendeta) otomatis mendengar alunan lagu rohani yang diputar berulang pagi ini.

                Jenuh. Halnya dalam hidup sehari-hari, kejenuhan bukan tidak mungkin datang menghampiri. Sama seperti rasa lainnya yang seringkali baku ganti menerpa.  Ia tidak memilih untuk datang hanya kepada orang dewasa, ia dapat pula datang kepada manusia-manusia kecil yang mungkin belum mengerti bagaimana mengenali dan menerjemahkannya. Kepada anak-anak murid saya di Sekolah Dasar Negeri Ampimoi, bukan mustahil adanya pula rasa jenuh itu datang.

                Pagi itu biasa-biasa saja, saya berangkat dari rumah menuju ke sekolah yang terletak di darat. Menjumpai beberapa murid yang juga sedang berjalan menuju kearah yang sama. “Pagi Ibu!” sapa mereka, oke, seperti biasanya. Seperti biasanya saya pun membalas sapaan tersebut dengan energi yang sama dengan energi mereka pagi ini.

                Disekolah, terlihat dari kejauhan murid-murid sudah cukup ramai. Ada yang berlarian di rerumputan, berkejaran, bermain karet, memanjat pohon pinang, ada yang hanya duduk-duduk saja melihat teman-teman lainnya yang cukup dapat dijadikan tontonan menarik. Saya melihat ke sekeliling, oke, mungkin hari ini saya hanya mengajar sendiri di sekolah terkait belum terlihatnya tanda-tanda guru kontrak akan mengajar di sekolah hari ini.

                “Maci, mari ajak lain supaya masuk kelas, tong pimpin dulu.” Kata saya kepada Mariasi, petugas keamanan kelas 6, yang artinya, “Maci, ayo panggil teman-temanmu supaya semua masuk ke kelas, kita berdoa dulu.” Dengan ekspresi sumringahnya yang khas, seperti Maci yang biasanya, ia mengangguk satu kali dan langsung mengubah mode dirinya yang tadinya bicara dengan suara normal menjadi mode suara toak. “WOOOOEEIIIII, kam semua masuk! Tong pimpin doloo! Kitong belajar!”

                Saya sedang merapikan tas didalam kelas sambil menunggu anak-anak masuk satu persatu, sampai tak beberapa lama kemudian, Mariasi yang tadi terlihat segar muncul kehadapan saya dengan wajah keringatan dan ngos-ngosan. “Aih, kenapa kah Maci?” tanya saya. “Sa osah Ibu. Dorang tramau masuk kelas, dong lari-lari terus. Talinga tatutup setang suanggi jadi, babingung seeee.” (Saya kehabisan nafas, Bu. Mereka tidak mau masuk kelas, mereka berlarian terus. Sepertinya telinga mereka ditutup oleh setan (suanggi), nakal sekali).

                “Coba Maci sama-sama dengan Regina dan Kristina supaya dorang dengar untuk masuk ke kelas.” Saya mencoba memberikan alternatif kepada Maci supaya mengajak petugas keamanan lain supaya ia tidak kelelahan dalam upaya menertibkan teman-temannya. Kemudian, beberapa anak laki-laki kelas 6 masuk ke kelas. Ialah Fales dan teman-temannya, mungkin kalau zaman saya sekolah dulu, mereka ini bisa disebut sebagai ‘Fales and the gank’ geng anak laki-laki yang doyan bikin suasana ramai. Kadang ramai yang menuju kebermanfaatan dalam KBM, kadang ramai yang sekedar ramai tak karuan dan bukan pada waktunya.

                “Ibu! Sa tramau piket, tramau berdoa, tramau belajar!” teriak Fales di garda terdepan, diikuti oleh anak-anak buahnya dibelakang. Seperti hari yang biasanya, selalu ada celah dimana Fales and the gank dapat di handle dengan pas, gumam saya dalam hati. ”Baru, kalau begitu ko maunya hari ini bikin apa? Trabikin apa-apa kah?” geng ini terdiam. “Coba ko lihat, kelas trabaik, belum bersih e? Supaya belajar tu enak bersih bagaimana?,” lanjut saya lagi. Respon anak-anak ini beragam, ada yang acuh tak acuh, ada menanggapi dengan ekspresi wajah malas-malasan. Namun, piket setiap harinya haruslah tetap berjalan dan petugas di hari tersebut perlu bertanggung jawab akan kewajibannya.

                Termasuk Fales, anak laki-laki yang memang dari awal memilih piket di hari Senin mulai terlihat bergerak. Saya pun berjalan kearah kelas 3-4, untuk melihat situasi dan kondisi anak murid lainnya. Sampai tetiba, ketika baru saja setengah jalan kesana, terdengar suara hantaman keras dari dalam kelas 5-6. “BRAAAKKKKK!” Suara itu sontak mengagetkan seisi sekolah. Iya, sekolah kami memiliki bangunan yang cukup terbatas, hanya tiga buah ruangan kelas dan satu ruang guru yang sudah tidak efektif digunakan dan berakhir menjadi gudang.

                “Suara apa kah, Ibu?!” teriak Marina kaget, seorang murid perempuan yang kebetulan berada didekat saya. Saya sontak langsung membalikkan badan kembali kearah kelas 5-6. Disana terlihat Fales sedang membanting kursi ke atas meja untuk kesekian kalinya, diikuti oleh teman-temannya yang lain. Saya muncul tepat dipintu ketika itu terjadi. Saya tidak kaget, dan mereka tidak pula kaget. Seolah-olah adegan itu memang sudah direncanakan. “Ibu!! Ibu lihat niii aaah dong anak laki-laki ini nakal betuuul dong tramau piket baik-baik dong bikin berisik-berisik sampai bikin kursi meja picah (pecah) kah?!” anak-anak perempuan merespon tindakan anak-anak laki-laki dengan mengadu kepada saya. Saya hanya terdiam, tentu mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan oleh Fales dan teman-teman bukanlah hal yang kami sama-sama ingin lihat.

                Masih terlalu pagi, anak-anakku yang tercinta. Bahkan sebelum rasanya nyawa saya terkumpul sepenuhnya pagi ini, namun tantangan baru yang belum pernah saya hadapi kini jelas didepan mata sedang terjadi. It’s happening. Bisa dibilang diantara kedelapan tempat penugasan di Yapen ini, anak-anak murid saya di SDN Ampimoi lah yang menurut teman-teman sepenempatan lebih bisa untuk dikondisikan. Saya pun mengaminkan hal tersebut, selain karena jumlah mereka yang tidak banyak sehingga dapat dipantau dengan jelas. Juga kepribadian dan daya tangkap pelajaran mereka secara individu yang memang menyenangkan, pun jarangkali membuat pengajarnya kesulitan membuat murid-muridnya memahami materi yang disampaikan. Lirik lagu rohani yang saya dengar tadi pagi tiba-tiba terngiang dipikiran saya, Tuhan tak menjanjikan bahwa langit akan terus biru.

                “Ada apa Fales?” tanya saya langsung ke sumbernya. “Kitong piket Ibu!” jawabnya lantang sambil terus mengangkat bangku dan membantingnya ke meja, tersirat ketidaksetujuannya dan penolakannya disana. “Ibu ada paksa ko untuk laksanakan piket kah?” saya berjalan mendekat kepada ia yang sedang panas hatinya. “Tidak ada Ibu!” jawabnya lagi, namun masih, terpaksa. “Oke baik, belum mau piket, belum mau berdoa, belum mau belajar. Ada murid-murid dikelas 1 sampai kelas 4 sana yang tunggu Ibu untuk mengajar, Ibu kasi tinggal kam semua dulu. Kalau sudah siap untuk belajar, boleh panggil Ibu.” Saya kembali menuju ke kelas 3-4, keluar dari kelas 5-6. Dijalan terdengar riuh-rendah suara anak-anak perempuan yang terdengar memprotes tindakan anak-anak laki-laki. Juga suara-suara ketidaksetujuan para anak laki-laki.

                Hari itu saya memilih untuk fokus mengajar dikelas 1 sampai kelas 4. Mereka menyaksikan adegan tidak disangka-sangka itu tadi pagi. “Ibu, dong itu terlalu melawan sekali. Ibu pukul sudah..,” (Ibu, mereka keterlaluan berani melawan sama Ibu. Ibu pukul saja..) kata Fioleta, disela-sela saya mengajar dikelasnya. “Ibu pukul untuk? Kam semua itu bukan Ibu pu anak toh, lagipula pukul untuk apa, nanti ko kesakitan baru lari menangis lagi.” (Gunanya Ibu memukul itu untuk apa? Kalian semua bukan anak kandung Ibu, untuk apa Ibu pukul. Nanti malah kalian lari menangis kesakitan) jawab saya. “Hahahaha Ibu ni…” respon Fioleta lagi.

                Saya sedang menjawab pertanyaan murid dikelas 3-4 ketika Fales and the gank berlarian dan muncul bolak-balik dipintu kelas 3-4. Distraksi, bagi murid dikelas yang saya ajar. “Heh kelas 6! Aleee, jangan begitu booleeh, trausah ganggu kitong mau belajar.” Protes Beni, siswa kelas 3 saya yang terlihat kurang nyaman dengan suara gaduh yang dibuat geng anak laki-laki tersebut. Cari perhatian, bagi saya yang sudah hafal tindak-tanduk dan tingkah polah setiap anak murid saya.

                “Sudah siap belajar?” tanya saya pada Erwin, salah satu anggota geng anak laki-laki kelas 6. “Tramau belajar Ibu!” jawabnya. “Iyo sudah, Ibu sudah pernah bilang kalau belajar itu kesadaran diri sendiri toh.” Jawab saya. Tiba-tiba berlarian lah anak-anak kelas 5 dari kelasnya menuju kearah saya, “IBUUUUU. Ibu, Glen bilang, kalau Ibu tara mengajar itu.. Ibu pu gaji putus!” teriak Pilep. Kemudia saya menghampiri Glen dan menjawab rasa penasarannya, "Glen, Ibu itu relawan, bukan guru kontrak. Jadi trada cerita Ibu tra mengajar ko baru Ibu pu gaji putus, karena Ibu memang relawan, mari sini Ibu jelaskan apa artinya itu relawan."

Sontak anak-anak perempuan disekitar saya beraksi, ada yang berteriak membalas perkataan Glen, ada yang mengingatkan kepada anak kelas 6 bahwa perilakunya sudah diluar batas.

“Yesus ko, ko berani bicara begitu sama Ibu tu.. ko dirumah trapernah orangtua ajar baik-baik kah?”,

 “Ibu, dong itu su terlalu melawan sekali Ibu. Ibu pukul dong keras pakai rotan sudah,”

 “Heh! Ko pu guru itu cuma satu, baru?! Kalo Ibu trada itu ko mau dengar siapa?! Babingung tratau sopan! Kam lihat, pulang tu sa lapor kam semua pu Mama Bapa dirumah eee supaya dorang lipat kam semua!”

Dan selanjutnya, Glen yang terlanjur merasa dihakimi oleh lingkungannya, berlari pulang kerumah sambil menangis. Terlanjur  merasa bersalah dan malu dengan saya, atau mungkin merasa bahwa ia memang keterlaluan dan kata-kata dari teman-temannya tidak sepenuhnya salah. Di titik ini saya membiarkan ia pulang, membiarkan ia berpikir tentang tindakannya tadi.

Setelah keadaan yang tadinya tegang sudah menurun ketegangannya. Saya tetap melanjutkan KBM di kelas 1 sampai 4. Ya, saya menyimpan kelas 5 dan 6 di akhir hari selepas KBM di empat kelas lainnya selesai. Karena ada, pelajaran penting bagi murid-murid kelas 5 dan 6 hari ini. Setelah kami duduk bersama didalam kelas tentang apa yang sudah terjadi hari ini dan sama-sama membedah alasan mengapa hal itu bisa terjadi, sampai pada mencari solusi bersama, pada akhirnya muncul lah kata-kata ini, "Ibu, minta maaf Ibu." Kata Melisa, kelas 6, seraya menghampiri saya. "Minta maaf untuk teman-teman yang lain Ibu."

Maaf, bukan sebuah kata ajaib yang dapat menyelesaikan segala hal dalam satu kali ucapan. Bukan permintaan maaf yang mudah dilontarkan yang saya harapkan anak-anak murid saya dapatkan dari pembelajaran ini. "Kalau memang minta maaf, Ibu tunggu kam semua pu aksi untuk perbaiki diri, mulai lepas dari sekolah siang ini eee. Stuju kah tidak?"

"Setujuuuu Ibu!"

 

               

                 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua