info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Hujan di Bulan Oktober

Dyah Ayu Kusumaningrum 11 April 2018
Hari ini hujan turun sejak subuh. Deras. Sehingga matahari pun memilih menarik selimutnya kembali. Ia enggan untuk keluar menyapa orang-orang yang sedang kedinginan. Hujan adalah salah satu lambang kuasa Tuhan. Bagaimana mungkin air bisa jatuh sekian mil jauhnya dari permukaan bumi, terbentuk dengan begitu cepatnya, orang-orang menyebutnya condensation-coalescence bottleneck. Selogis apapun sains berteori, bagiku tetesan hujan itu tetap misteri. Hujan bagi sebagian orang adalah berkah, anugerah dan keistimewaan. Tak hanya petani, keluarga Annelida pun ikut menari ketika hujan datang. Biji-biji Areca catechu yang kebingungan mencari air, semai Borassus flabellifer yang mulai dewasa, mereka tertawa kala hujan tiba. Tuhan juga mengistimewakan hujan sebagai satu waktu yang paling baik untuk berdoa. Tapi tahukah, bagi sebagian yang lain, hujan adalah ironi. Dan aku termasuk ke dalam sebagian yang lain itu. Karena ketika hujan, sekolah menjadi sepi, sepi sekali. Hanya ada aku dan dua anjing yang sedang berteduh. Memilukan. Murid-muridku tidak datang. Aku duduk termenung di ruang kelas, memandangi kursi-kursi kosong yang berjajar sedikit berserakan. Biasanya, mereka sudah ramai berbincang-bincang, bersenda gurau, lalu ketika aku masuk, mereka langsung menyanyikan kidung Tuhan. Tapi, tidak untuk hari ini. Aku keluar kelas, hujan masih bersuka ria, berjatuhan, terhempas pada dahan-dahan pohon mangga, meluncur diantara batang-batang pinang, dan melompat menggenangi bunga-bunga liar yang aku tanam di depan halaman sekolah dua bulan lalu. Lonceng kudentangkan, menjadikan itu tanda bahwa sekolah masih berjalan. Aku berharap. Tapi kudapati kursi masih tetap kosong. Aku menunggu. Berjalan limbung. Kepala sekolah memberiku tanda untuk pulang. Aku menolak dan kembali masuk ke kelas. Rintik-rintik hujan, suaranya menentang kesunyian pagi itu. Lalu, sesaat kemudian, satu muridku datang, tanpa tedeng apapun. Basah. Senyumku mengembang. Tak lama berselang, murid kedua dan ketiga datang. Aku tak bisa berhenti tersenyum, perlambang bahagia tak terkira. "Ibu, minta maaf e telat, hujan jadi", Depit menghampiriku. Kau tahu? Aku bahagia. Hatiku mengembang. Dan sekarang aku mengerti, kebahagiaan terbesar seorang guru bukan pada gaji bulanan yang ia terima, kenaikan pangkat yang ia dapat, tetapi muridnya. Makhluk-makhluk kecil berkaki mungil itu adalah pencipta rasa suka tak terkira. "Tara papa, tunggu yang lain dulu e", aku menyahut. Aku masih menunggu, sampai terkumpullah hampir 30 orang! Mereka datang berbasah-basahan, tanpa aling-aling. Ada juga yang berlindung dengan daun pisang, pada terpal bekas, handuk, payung, ataupun diantar orangtuanya. Luar biasa! Aku merasa menang. Mereka berhasil menepis skeptis. Butir-butir hujan itu ternyata telah membawa doaku mengangkasa, menyampaikannya kepada Tuhan. Anak-anak itu bagiku adalah oase di tengah gurun pasir. Dan kudapati oase itu tidak hanya sekedar fatamorgana, tapi sebuah realita bahwa semangat itu masih ada. Semangat perubahan itu ada di pelosok pesisir utara pedalaman Papua. Akhirnya, pagi ini kami tetap belajar bersama deras hujan di bulan Oktober.

Cerita Lainnya

Lihat Semua