Tentang Belajar dan Hidup

Tsani Nur Famy 14 Oktober 2017

“Ibu.. A mau pi les sore, tapi A pu Bapa bilang sebentar sore kitong pi molo. Jadi Bapa bilang A tara usah ikut les.” –Nelci Suri Jubelina Menanti, Kelas 3.

(Ibu! Saya ingin pergi les nanti sore, tapi Bapak bilang sore ini kami pergi menyelam tangkap ikan, jadi Bapak bilang saya tidak usah ikut les nanti sore)

 

“Ibu guru, Nene ada bilang Ibu ajar les kitong di sekola boleh. Kalau belajar sambil dayung-dayung ke Warenup, jalan ke Karoaip, sambil bermain tu A pu Nene tara suka. Nene bilang belajar itu tara bisa sambil bermain jadi Ibu ajar kitong badiam di kelas sudah.” –Fioleta Amamehi, Kelas 4.

(Ibu guru, Nenek saya bilang, kalau mengajar kami les itu hanya boleh di sekolah. Kalau belajar sambil dayung ke pulau kecil (Warenup), jalan-jalan ke kampung sebelah (Kampung Karoaipi), atau sambil bermain, Nenek saya tidak senang. Kata Nenek, belajar itu tidak bisa sambil bermain, jadi Ibu mengajar di kelas saja)

 

“Ibu! Kalau dorang melawan tu Ibu pukul sudah! Mama bilang kalau dong melawan tu, Ibu pukul dong pu kapala sampe picah. Karena dong terlalu melawan. Dorang tu macam babingung-babingung begitu Ibu, Ibu pukul sudah toh!” –Alvianti Waimbo, Kelas 4.

(Ibu! Kalau mereka (teman-teman) tidak menurut sama Ibu, Ibu pukul saja! Mama saya bilang kalau tidak menurut dengan Ibu, Ibu berhak pukul bahkan sampai kepalanya pecah pun tidak apa-apa. Karena mereka keterlaluan sudah tidak menurut seperti orang bodoh, makanya Ibu pukul saja)

 

“Ibuuuu. Baca-baca sambil menyanyi-menyanyi di tengah laut boleh Ibu! Kitong dayung sudah e!” –Melisa Arebo, kelas 6 dan Kristina Aprila Arebo, kelas 1.

(Ibuuu. Belajar sambil menyanyi di tengah laut bisa kan, Bu? Kita dayung ya!)

 

“Ibu! Kitong mau baca-baca tapi sambil cari bia-bia boleh, toh?” –Pilep Valdio Worumi, kelas 5 dan Ruben Demianus Menanti, kelas 3.

(Ibu! Kami mau belajar tapi sambil mencari kerang-kerang bisa, kan?)

____________________________________________________________

  Celoteh dan ungkapan di atas adalah beberapa yang sering sekali saya dengar dari anak-anak murid saya di SD Inpres Teluk Ampimoi atau SDN Ampimoi.

  Saya yakin teman-teman sesama Pengajar Muda maupun alumni Pengajar Muda pernah mengalami tantangan yang hamper serupa. Adalah sebuah tantangan tersendiri untuk mengenalkan sebuah konsep yang ada di luar dari yang biasanya sudah diterapkan atau sudah berjalan dalam jangka waktu yang lama. Salah satunya adalah membawa dan memperkenalkan pemahaman akan belajar yang menyenangkan, terutama membawa dan memperkenalkannya di daerah.

   Perlu di akui bahwa sistem pendidikan yang ada saat ini sudah cukup baik, terutama pelaksanaannya jika di kota-kota besar. Adanya perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi menjadi suplemen penting dalam perkembangan pola pikir dan memberikan pengaruh dalam penyebaran nilai-nilai yang positif. Namun, apa kabar nya pendidikan di daerah? Di daerah pun sudah terjadi perkembangan ke arah yang positif. Tapi disamping itu, perlu kita akui pula bahwa ‘yang terjebak’ dalam cara-cara dan pemahaman yang lama pun masih ada.

   Ada 1001 tantangan di dunia ini. Hidup dimanapun dan sebagai apapun. Sama seperti menjadi seorang Pengajar Muda. Sebagai Pengajar Muda, tentunya ada tantangan-tantangan yang ditemui saat bertugas. Misalnya saat berhadapan langsung dengan orang-orang yang pro dan yang kontra akan kedatangan Pengajar Muda atau mendengar langsung pendapat dari orang-orang yang memiliki perspektif beragam terutama mengenai pendidikan.

   Seperti kutipan celotehan dan ungkapan dari beberapa orang anak murid saya yang seringkali saya dengar. Misalnya ada orang tua atau wali murid yang kurang sependapat dengan pendekatan dan metode pembelajaran yang menjadi tools saya sebagai Pengajar Muda. Salah satunya dengan mengadakan pelajaran tambahan di sore hari namun dengan cara yang cukup santai. Bisa sembari berbincang-bincang santai di pinggir pantai, bertanya materi pelajaran yang masih dirasa membingungkan sambil berburu Bia (kerang), atau sambil mendayung ke tengah laut lalu bertanya apa saja tentang apapun yang membuat anak murid saya penasaran. Karena sesungguhnya belajar itu tidak terbatas di ruang-ruang kelas. Anak-anak serta wali murid perlu memahami bahwa ilmu pengetahuan tidak dibelenggu oleh tembok dan bangunan sekolah. Dunia ini luas dan dunia ini sendiri adalah gudang dari ilmu. Disamping yang kontra, tentunya ada pihak-pihak yang pro terhadap pendekatan ini. Contohnya orang tua atau wali murid yang menunjukkan lokasi yang dapat digunakan sebagai tempat belajar yang nyaman atau sukarela mengizinkan anak-anaknya memakai perahu untuk mendayung saat les di sore hari bersama Pengajar Muda.

 Setiap daerah memiliki porsi kebutuhan yang berbeda-beda. Di penempatan tugas saya, di Kampung Ampimoi yang terletak di Timur Kabupaten Kepulauan Yapen misalnya. Sebagian besar dari anak-anak murid saya memiliki kecerdasan kinestetik yang luar biasa. Sehingga kebutuhan untuk beraktifitas yang melibatkan kemampuan fisik untuk bergerak cukup besar. Kegiatan belajar-mengajar melalui kegiatan praktek dengan lokasi outdoor nyatanya jauh lebih “ampuh” jika dibandingkan dengan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.

   Terdapat pula pola kehidupan masyarakat yang cukup mempengaruhi proses belajar anak-anak. Beberapa masyarakat di Kampung Ampimoi memiliki dusun (kebun) yang terletak di gunung-gunung di belakang kampung dan menjadikan kegiatan berkebun sebagai seumber mata pencaharian. Sebagian pula bermodalkan Kalawai (alat tajam), kaca Molo (kacamata renang), benang nilon, jaring, dayung dan perahu semang untuk menangkap ikan dan hewan laut lainnya sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Orang tua atau wali murid dari anak-anak murid saya di SDN Ampimoi adalah mereka yang saya sebutkan di atas; mereka yang pergi ke gunung untuk berkebun di dusun, juga mereka yang pergi ke laut untuk berburu ikan dan hewan laut lainnya. Anak-anak pun seringkali ikut dengan orang tua maupun wali mereka ke dusun di gunung atau ke tengah laut. Kembali lagi, belajar tidak terbatas di ruang kelas dan ilmu pengetahuan tidak dibelenggu oleh tembok bangunan sekolah. Ilmu pengetahuan bukan hanya seputar ilmu eksakta, adapula ilmu tentang kehidupan yang bisa didapat melalui pengalaman.

   Menurut saya pribadi, belajar itu berarti hidup dan hidup itu sendiri adalah proses belajar yang tidak dapat berhenti, Ketika anak-anak mengikuti kegiatan orang tua atau walinya masuk ke gunung atau pergi ke tengah laut, ilmu pengetahuan berada di sekitar mereka menunggu untuk ditangkap oleh mata dan dicerna oleh otak anak-anak. Saat itu, orang tua baik Pengajar Muda hadir sebagai mediator antara ilmu dan anak.

   Sebuah tantangan pula, untuk memperkenalkan dan menanamkan bahwa mendidik dapat dilakukan dengan menggunakan kelembutan. Saya percaya bahwa tidak ada satu manusia pun termasuk anak-anak murid saya yang dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi “nakal”. Lingkungan adalah salah satu fondasi yang mendasari proses tumbuh kembang anak sehingga membentuk anak itu sendiri. Meskipun, perlu menjadi pertimbangan pula bahwa ada adat-istiadat dan kebiasaan di masyarakat yang sudah jauh lebih dahulu ada kemudian diserap menjadi norma kehidupan. Bukan tidak mungkin pula kebiasaan tersebut berbeda dengan nilai-nilai baru yang masih sangat muda dan baru banyak berkembang di era ini. Di daerah penempatan, saya masih menemui adanya pemahaman mengenai arti manis penuh kebaikan di ujung kayu atau rotan yang masih di amini oleh masyarakat. Anak-anak perlu memahami bahwa mereka tidak memiliki hak untuk menerima tindakan apapun jika berupa kekerasan. Termasuk dalam proses belajar-mengajar. Melalui pembiasaan berkehidupan sehari-hari yang positif, secara perlahan anak-anak murid di SDN Ampimoi mulai paham bahwa tidak terdapat korelasi antara kegiatan belajar-mengajar dan kayu rotan. Anak-anak dengan pemahaman ini adalah agen-agen yang akan menyampaikan dan menyebarkan nilai serta paham yang positif kepada orang tua dan wali mereka masing-masing di rumah.

   Saya pribadi sebagai Pengajar Muda tidak punya kekuatan yang cukup untuk mentransformasi perspektif seseorang seorang diri, apalagi untuk mengubah perspektif banyak orang dalam jangka waktu yang cukup singkat. Ditambah oleh faktor lainnya, misalnya berhadapan dengan norma kehidupan yang sudah melekat di suatu masyarakat yang unik dan memiliki ke-khas-an nya tersendiri. Namun pernyataan di atas tidak berarti segala usaha akan berakhir nihil. Klise, tapi kita bisa memulai dengan menunjukkannya melalui prinsip yang kita pegang dan sikap yang kita tunjukkan di hadapan masyarakat terutama di hadapan anak-anak murid di sekolah (maupun saat di luar sekolah).

  Percayalah bahwa kebaikan itu seperti virus yang dapat menyebar kemudian menular ke sekitarmu!


Cerita Lainnya

Lihat Semua