Si "Bandel"
Trisa Melati 26 November 2012
Sore itu masjid Nurul Islam di talang Airguci jauh lebih ramai daripada biasanya. Suasana di dalam cukup panas, rupanya babak final cerdas cermat islami sedang berlangsung. Dua regu lawannya, bahkan kedua teman seregunya, diam seribu bahasa, kepayahan menjawab soal babak final yang cukup sulit ini, namun Juli masih bersemangat mengangkat tangannya dan menjawab soal-soal yang diberikan.
Pikiranku tertarik mundur pada obrolanku dengan ibu-ibu kira-kira sebulan yang lalu, sewaktu musim hujan belum tiba.
Sore itu kudapati sumur di dekat rumah semua sudah mengering. Aku mendatangi salah satu rumah warga yang mempunyai sumur bor, di sana tidak pernah kekurangan air bersih. Setidaknya sejauh ini. Seperti biasanya, jamku mandi sore adalah jam “sibuk” di mana ibu-ibu lain juga melakukan aktivitas rumah tangganya, seperti nyabun (mencuci baju), mencuci piring, dan mandi. Percakapan pun terjadi di antara kami.
Ibunya Deri, salah satu muridku, adalah salah satu yang mandi di sana, karena rumahnya dekat sekali dengan sumur bor. Otomatis aku melaporkan perkembangan anaknya di kelas, sambil tetap membilas sabun dari tubuhku.
“Yuk, Deri pintar paling[1], kemarin ulangan matematikanya paling bagus di kelas.”
Ibunya Deri menjawab dengan bahasa dusun yang kental yang kira-kira artinya seperti ini, “Iya Bu, terima kasih, Deri selalu bilang dia senang sekali diajar oleh Bu Trisa.”
Aku menjawab lagi bahwa justru aku yang kagum dengan semangat Deri dalam menerima pelajaran di kelas. “murid saya yang jantan rajin-rajin dan pintar gale, Yuk...Deri, Josef, Juli...” aku melanjutkan
Tiba-tiba Ibu-ibu itu diam dan berpandangan heran. “Juli? Juli siapa?”
“Juli... Juli Saputra.”
“Oooh... Dolek.”jawab salah satu ibu.
“Au[2], Dolek.” Aku mengiyakan, hampir lupa bahwa muridku yang satu itu punya panggilan khusus di talang ini.
“Ohh... Dolek pintar ya?” kata ibu-ibu yang lain dengan pandangan ragu.
“Au... nilainye dekde[3] bagus nian, tapi dia satu-satunya yang tuntas gale[4]. Yang lain masih ada yang tuntas (KKM) di satu pelajaran tapi idak di pelajaran lain.”
Ibu-ibu masih berpandangan, seolah-olah tidak percaya kata-kataku, atau mungkin aku salah menyebutkan orang.
“Dia kan harusnya sekelas Tari. Tinggal kelas setahun, dia. Dulu dia memang kurang.” Ibunya Tari (kelas VI), menjelaskan.
“Ooh... sekarang dia hebat, Yuk.” Aku tersenyum.
Juli, anak cerdas ini, adalah anak yang pertama kali menyambutku di talang Air Guci ini dengan pantun khasnya. Sekali lihat, aku bisa melihat bakat “bandel” anak ini. Aku punya firasat dia adalah anak yang memiliki masalah dengan belajar sambil duduk diam. Sewaktu awal mengajar, aku sempat “bermasalah” dengannya karena dia tidak bisa diam dan dia mengajak teman sebangkunya untuk ikut “tidak diam”. Pada akhirnya aku mengubah posisi duduk di kelas yagn tadinya konvensional (baris dari depan ke belakang) menjadi bentuk huruf U. Alhasil murid bisa lebih mudah fokus, terutama karena mereka merasa mendapatkan perhatian yang sama.
Kini, aku bisa bilang Juli adalah bukti nyata bahwa anak yang bandel (baca: aktif) sebetulnya adalah anak yang “kelewat” pintar. Pikirannya berjalan sebagaimana kinestetiknya, susah untuk dihentikan. Meskipun kadang dia terlihat tidak fokus pada pelajaran, tapi ketika ditanya ulang dia bisa menjawab jauh lebih lancar dari kawan lainnya. Anak ini punya bakat spesial. Dalam hati aku agak iba, mungkin ada andil guru sebelumnya sehingga dia mesti tinggal kelas. Bagaimana mungkin anak sepintar ini bisa sampai tidak naik kelas? Dia tidak punya kesulitan dalam menyerap pelajaran. Mungkin saja gurunya yang terdahulu memang jarang masuk kelas sehingga jarang memberikan perhatian pada muridnya. Padahal, Juli ini termasuk tipe pencari perhatian. Ketika dia diberi perhatian dan kepercayaan, dia bersemangat melakukan segala sesuatu.
Makin hari aku makin terpukau dengan kemampuan anak ini.
Dia sering mengejutkanku lewat jawaban-jawaban yang aku yakin tidak terpikirkan murid lain. Daya ingatnya hebat, makanya nilai IPA dan IPSnya bagus. Begitu pula dengan istilah-istilah dalam pelajaran agama, PKn, dan Bahasa Indonesia. Semuanya dia ingat.
Dia kelihatannya benci matematika. Dia kelihatan sama sekali tidak mau berusaha memahami matematika. Aku masih belum tahu bagaimana cara menarik perhatiannya.
Aku bahkan menjagokan dia untuk mengikuti Olimpiade Sains Kuark (OSK) nanti. Sayangnya, agak sulit membuat dia konsisten mempelajari sesuatu karena dia mudah bosan, dan motivasinya untuk “belajar” sedikit. Tentu saja ini tantangan buatku, dan malah membuatku makin bersemangat. Aku memang belum bisa menemukan gaya belajar yang cocok untuknya. Dia senang dijagokan, dia senang diberi peran penting atau tanggung jawab. Sepertinya dia senang menjadi pusat perhatian.
Sebagai anak yang aktif, dia juga senang belajar melalui permainan dan aktivitas interaktif lainnya. Dia betah memandangi majalah aktivitas berjam-jam.
Ah ya, aku bersyukur muridku hanya 7 orang, sehingga aku bisa fokus menyelami keahlian masing-masing anak. Aku tidak sabar untuk melihat sosok-sosok mereka 10 tahun lagi.
Dan Juli, teruslah beri kami kejutan.
[1] =sangat
[2] =iya
[3] =tidak
[4] =semua
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda