Lahirnya Pahlawan

Trisa Melati 16 November 2012

 

Sabtu, 10 November 2012

Apakah arti pahlawan bagimu?

Hari ini, tiga anakku dari SDN 10 Rambang, Kabupaten Muara Enim mengikuti Lomba Cerdas Cermat SD se-Sumatera Selatan di Palembang. Konon, ini pertama kalinya putra-putra dari talang Airguci dikirimkan untuk perlombaan di ibukota provinsi.

Kita semua tentu tahu peringatan apa hari ini: Hari Pahlawan. Begitu pun lomba ini, diadakan oleh HMPD UNSRI dalam rangka memperingati Hari Pahlawan. Hari ini, aku menyaksikan perjuangan sesungguhnya dari orang-orang yang pantas menyandang gelar “pahlawan”.

Sehari sebelumnya

Malam Jumat, sekitar pukul 11--terus menerus hingga pukul 3 dini hari—hujan badai mengguyur Airguci, menyisakan rawang (banjir) yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Padahal hari sebelumnya di tempat yang sama aku lihat air sungai agak dangkal. Sekarang, batas antara tanah dengan tebing sungai sudah tidak terlihat lagi, rata dengan air. Seluruh kebun di belakang tergenang air, seperti sebuah danau kecil.

Kebun saja sudah banjir seperti itu, apalagi jalanan. Laporan dari orang yang sudah melalui jalan dari dusun menuju talang ini, air menggenangi (sebagian bahkan berarus) jalanan hingga hampir sedengkul, di samping lumpur yang luar biasa liat dan membuat banyak kendaraan selip atau terjebak dalamnya. Aku bergidik ngeri membayangkan kami harus membatalkan keberangkatan karena tidak bisa keluar talang. Aku sudah membayangkan kemungkinan terburuknya jika kendaraan memang tidak bisa lewat, aku siap berjalan kaki 8 km hingga dusun (jalanan aspal) jika diperlukan. Pertanyaannya, apakah anak-anak bersedia berjuang seperti itu?

Lombanya besok pagi. Kami sengaja berangkat sehari sebelumnya untuk menghindari batal berangkat karena jalanan jahat[1]. Belum lagi, jarak dari desa kami ke Palembang 4 jam lebih. Jika lomba dimulai jam 7 pagi, artinya kami harus berangkat pagi sekali. Kami memang sudah berencana berangkat siang, bukan pagi, supaya anak-anak masih bisa mengikuti kegiatan sekolah hari itu. Sudah diantisipasi saja belum tentu kami bisa berangkat siang ini. Sambil mengajar, tak henti-henti aku berharap siang nanti jalanan sudah cukup kering untuk bisa dilewati.

Siang tiba. Seusai sholat Jumat, mobil sudah siap di tempat yang kami janjikan. Begitu pula 3 murid yang akan menjadi peserta: Josef, Amin, dan Doni. Begitu pula Pak Ef yang akan menemaniku sebagai guru pembimbing mereka. Begitu pula orang tua dan wali mereka. Begitu pula masyarakat Airguci lainnya yang tidak ingin ketinggalan kesempatan melepas pahlawan mereka ke ibukota provinsi.

Aku tersenyum lebar, menahan air mata. Mari kita lalui tantangan dari jalan berlumpur ini!

Sehari sebelum sehari sebelumnya

Kepala sekolah memberikan dana untuk mengikuti perlombaan ini.

Ini hal yang luar biasa! Biasanya, sangat susah meminta kepala sekolah kami mengeluarkan dana untuk kegiatan murid. Apalagi, selama ini kami yang notabene kelas jauh tidak pernah diberi kesempatan untuk mewakili sekolah mengikuti perlombaan.

Kami tidak perlu mencemaskan biaya pendaftaran, biaya transportasi, dan biaya akomodasi. Aku tidak perlu memberatkan orang tua murid yang penghasilannya tidak seberapa ini. Yang terpenting, kami merasa keberadaan dan kemampuan kami di kelas jauh ini sudah diakui dan direstui kepala sekolah. Syukurlah.

Seminggu sebelumnya

Aku hanya bisa menyebut ini keberuntungan. Memang aku beruntung. Di kala aku mencari peluang agar muridku bisa merasakan “kompetisi yang sebenarnya”, Adhi Rahman Prana memberitahuku bahwa murid-muridnya di kelas induk SDN 3 Rambang akan mengikuti Lomba Cerdas Cermat SD se-Sumatera Selatan.

Walaupun cakupan lomba itu sebetulnya untuk seluruh provinsi, entah bagaimana publikasi yang dilakukan oleh panitianya sepertinya tidak menjangkau seluruh SD atau kabupaten. Mungkin Adhi beruntung karena SD-nya terletak di jalan aspal. SD-ku yang letaknya di jalan jahat pastilah tidak masuk jangkauan panitia. Makanya aku bilang diriku beruntung, karena Adhi temanku. Kalau bukan karena Adhi, aku pasti tidak akan mengetahui adanya perlombaan ini.

Tentu saja “kusabet” kesempatan itu dengan membujuk kepala sekolahku mengirimkan perwakilan dari sekolah kami dan memberi tahu perihal terbebut kepada Pak Ef, guru muda yang sangat berdedikasi mengajar muridnya. Langsung disambut dengan sangat bersemangat oleh Pak Ef.

Sebagai guru, tentu saja kami sudah tahu siapa murid kami yang pantas mewakili sekolah. Hanya untuk memberikan keadilan kepada murid lainnya, kami membuat kuis terbuka dan memilih 3 orang dengan nilai terbaik. Hasilnya tepat seperti yang kami perkirakan. Lucunya, Doni, kelas IV, mendapat nilai tertinggi di kuis, bahkan lebih tinggi dari muridku yang kelas V (kelas VI tidak ikut karena di kelas jauh ini hanya ada sampai kelas V). Setelah ketiganya terpilih, latihan intensif dilakukan setiap harinya, siang dan malam.

Saat itu dukungan dari kepala sekolah belum dapat dipastikan. Tapi kami bersiap-siap saja. Sejujurnya, mengingat catatan sejarah, kami sudah pesimis akan ada dukungan dana dari kepala sekolah. Aku menyampaikan kepada wali masing-masing peserta agar siap menanggung biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsinya sendiri. Mereka tidak keberatan. Mungkin karena kebanggaan mereka mengirimkan anak ke ibukota tidak ternilai.

Kembali ke Hari Ini, 10 November 2012

Aku menatap anak-anakku dengan bangga. Mereka sudah berlatih siang dan malam, mereka berhasil mendapat restu dan dukungan dari kepala sekolah, mereka digantungi harapan seluruh Airguci, mereka berhasil menghadapi tantangan fisik dari jalanan yang ekstrim, mereka berhasil bertahan dari serangan mabuk darat dan AC mobil, hingga mereka berhasil tiba di sini. Mereka duduk bersama peserta-peserta lainnya dari ibukota provinsi—yang tentunya adalah sekolah unggulan.

Lomba terdiri dari beberapa tahap. Penyisihan terdiri dari 2 tahap yang keduanya merupakan tes tertulis. Tahap pertama menggunakan penilaian standar (betul poin 1, salah 0), sedangkan tahap 2 menggunakan sistem penilaian seperti SPMB (betul +4, salah -1). Skor total penyisihan tahap 1 dan 2 digabungkan, dan 9 peserta dengan nilai tertinggi akan mengikuti tahap semifinal.

Tahu hasil dari sekolah kami?

Peringkat ke-27 dan 28 peserta.

Gagal total?

Mungkin, kalau menang adalah target utamanya. Jujur saja, Sejak awal targetku bukanlah “menang”. Aku tidak mau muluk-muluk karena aku bisa mengukur kemampuan anak-anakku sendiri. Lewat mengikuti lomba ini, tujuanku adalah menunjukkan “dunia yang sebenarnya” kepada anak-anak. Mereka jadi tahu seberapa jauh ketertinggalan mereka dibandingkan peserta dari sekolah lainnya, kesenjangan antara sekolah di “kota” dengan “daerah”. Dan dengan pengetahuan itu, kuharap mereka akan berusaha lebih untuk memperkecil jarak itu. Ibaratnya mengetahui ada langit di atas pucuk pepohonan. Aku ingin meninggikan standarku, dan standar mereka.

Itu salah satu pesan Pak Anies Baswedan saat pelatihan intensif PM IV: “kita harus meninggikan standar.”

Doni misalnya, terbiasa dengan keadaan di mana dia selalu menjadi juara kelas, dengan kemampuan akademik jauh di atas teman-teman sekelas bahkan kakak kelasnya. Tapi toh dibandingkan SD lainnya di Sumatera Selatan, kemampuannya belum seberapa.

Namun aku tidak menutup mata bahwa prestasi anak-anakku hari ini luar biasa.

Kami mungkin satu-satunya peserta yang harus memelas kepada kepala sekolahnya supaya diberikan rekomendasi dan dukungan dana. Kami mungkin satu-satunya yang harus berjuang melawan tanah liat dalam perjalanan kami ke Palembang. Anak-anakku mungkin satu-satunya peserta yang datang dari talang, dari kelas jauh. Anakku mungkin satu-satunya peserta yang malam sebelumnya begitu terpukau oleh listrik yang terus-terusan menyala di Palembang, karena di tempat tinggalnya listrik adalah barang mahal. Anakku mungkin satu-satunya peserta yang tidak memiliki buku paket[2] dalam pembelajarannya di sekolah. Lebih hebat lagi, 2 dari 3 anggota tim kami adalah kelas IV, melawan peserta lain yang mayoritas kelas VI.

Aku tidak menyebutkan ini sebagai pembenaran. Aku pun mengajarkan pada anak-anakku bahwa kita tidak perlu minta dispensasi atas kekurangan kita. Kemiskinan, keterpelosokan, dan keterbatasan bukan alasan kita untuk menyerah pada kebodohan. Jangan minta dimaklumi terus-menerus. Jangan mau jadi anak bawang.

Setelah aku coba menganalisis perolehan nilai mereka pada tahap 1, sebetulnya kemampuan kognitif anak-anakku cukup menjanjikan karena nilai mereka masih di atas beberapa sekolah lain, terutama jika mengingat mereka masih kelas IV dan V.  Aku menyampaikan pula hal ini kepada mereka. Satu atau dua  tahun lagi, jika mereka dan gurunya konsisten dengan semangat ini, aku yakin mereka bisa masuk 9 besar.

Semoga anak-anakku mendapatkan banyak pembelajaran hari ini.

Seusai menyaksikan sepotong babak semifinal, anak-anakku kembali berjuang melawan mabuk darat dan dinginnya AC, pulang. Kami tiba di kota Prabumulih pukul 6 sore, disambung perjalanan naik motor menuju talang Airguci di kecamatan Rambang. Aku membayangkan saat itu peserta lainnya mungkin sudah tiba di rumah mereka masing-masing dengan aman, atau mungkin ada yang merayakan kemenangan mereka di restoran, atau semacamnya. Sementara anak-anakku masih harus bertarung dengan kegelapan tanpa listrik, jalanan tanah liat, becek berlumpur yang tidak pelak membuat motor yang mereka tumpangi tergelincir.

Nak, kalian benar-benar pahlawanku.

[1] Di talang kami, jalan masih berupa tanah liat. Ketika musim hujan, seringkali akses ke luar terputus karena jalan tidak bisa dilewati, entah karena banjir ataupun lumpur yang liat. Kadang mobil 4WD pun tidak sanggup melewati area ini, apalagi kendaraan penduduk talang yang “hanya” Carry dan motor bebek.

[2] Untuk belajar, mereka memanfaatkan RPUL dan RPAL yang disumbangkan oleh Universitas Trunojoyo


Cerita Lainnya

Lihat Semua